Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu: Cahaya yang Menuntun di Gelapnya Zaman

Ilmu: Cahaya yang Menuntun di Gelapnya Zaman

Santri membaca kitab di bawah lampu minyak, simbol ilmu sebagai cahaya yang menuntun di gelapnya zaman.
Seorang santri membaca kitab di malam sunyi, menggambarkan semangat menuntut ilmu dan ketenangan batin dalam mencari cahaya pengetahuan.

Surau.co. Ilmu dalam Islam bukan sekadar kumpulan teori atau data; ia adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan. Para ulama memandang ilmu sebagai warisan para nabi, bukan sekadar alat mencari pekerjaan. Tanpa ilmu, hati manusia berjalan dalam gelap — mungkin melangkah cepat, tetapi kehilangan arah dan makna.

Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menempatkan bab ilmu (kitāb al-‘ilm) di bagian awal kitabnya. Pilihan ini tentu bukan kebetulan, sebab setiap amal, ibadah, dan niat tak akan berarti tanpa dasar ilmu. Dengan kata lain, ilmu menjadi pembuka kebaikan dan penuntun amal dalam setiap langkah kehidupan.

Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Ḥajar:

«مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ»
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memberinya pemahaman yang mendalam dalam agama.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa ilmu sejati bukan hasil kecerdasan semata, melainkan tanda kasih Allah. Orang yang diberi ilmu hakiki bukan hanya pandai berbicara, tetapi memahami kehidupan secara mendalam.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Fenomena Zaman: Banyak Informasi, Sedikit Pemahaman

Kita hidup di masa penuh cahaya buatan, tetapi minim penerangan batin. Banyak orang tahu banyak hal, namun sedikit yang benar-benar memahami maknanya. Kini, istilah “ilmu” sering tertukar dengan “informasi.”
Akibatnya, manusia mudah merasa tahu, padahal belum benar-benar paham.

Ibn Ḥajar menegaskan bahwa ilmu dalam hadits bukan sekadar hafalan, melainkan pemahaman (fiqh) — kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dunia modern melahirkan banyak orang cerdas, namun sedikit yang bijak. Kita bisa mengutip ayat atau hadits dengan cepat, tetapi sering kesulitan mengamalkannya dalam bentuk kesabaran, kejujuran, dan empati.

Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām:

«فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ»
“Keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang lainnya.”
(HR. Abū Dāwūd dan at-Tirmiżī)

Perumpamaan ini menunjukkan bahwa ilmu adalah cahaya yang menuntun ibadah agar tak tersesat. Banyak orang tekun beribadah, tetapi tanpa ilmu ia bisa terjebak dalam kesalahan niat atau keangkuhan spiritual.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Sebagaimana kata Gus Mus, “Ilmu itu seperti lampu. Kalau kau hidup tanpa lampu, mungkin saja kau tetap melangkah — tapi siap-siaplah sering menabrak.”

Menuntut Ilmu: Perjalanan yang Tak Pernah Usai

Menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang tidak pernah berhenti. Orang yang berhenti belajar, sejatinya mulai berjalan mundur. Ibn Ḥajar mengutip sabda Rasulullah ﷺ:

«مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ»
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)

Hadits ini tidak hanya berbicara tentang pahala, tetapi juga menggambarkan perjalanan spiritual. Menuntut ilmu adalah proses menuju kedewasaan iman — kadang melelahkan, kadang membingungkan, tetapi selalu menyembuhkan.

Di masa kini, menuntut ilmu tidak hanya berarti datang ke pesantren atau universitas. Lebih dari itu, ia berarti jujur dalam belajar, berani mengakui ketidaktahuan, dan mau mendengarkan.
Gus Mus pernah menulis, “Ilmu yang tidak membuatmu rendah hati berarti belum benar-benar masuk ke hatimu.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Karena itu, belajar seharusnya tidak menjadikan seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain, tetapi membuatnya lebih dekat kepada Allah dan lebih berguna bagi sesama.

Ilmu tanpa Amal: Cahaya yang Padam

Ilmu sejati tidak diukur dari banyaknya hafalan atau sertifikat, melainkan dari perubahan sikap dan perilaku. Ibn Ḥajar mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal bisa menjadi beban di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:

«أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ»
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mengambil manfaat dari ilmunya.”
(HR. al-Ṭabarānī, disebutkan dalam Bulūgh al-Marām)

Hadits ini mengguncang hati — ilmu tidak boleh berhenti di kepala; ia harus hidup di hati dan tampak dalam amal. Ilmu tanpa amal hanyalah kesombongan yang dibungkus pengetahuan.

Seperti kata Gus Mus, “Orang berilmu yang tidak berakhlak itu seperti petir tanpa hujan: terdengar keras, tapi tidak menumbuhkan apa-apa.”
Ilmu yang sejati justru menumbuhkan kelembutan dan kebijaksanaan. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin dalam kerendahan hatinya.

Ilmu sebagai Cahaya Kehidupan

Dalam Islam, ilmu tidak berhenti pada logika, melainkan menembus hati. Ia bukan hanya tentang “tahu,” tetapi tentang “menjadi.” Orang berilmu sejati bukan yang paling banyak berbicara, melainkan yang paling bijak dalam diamnya.

Allah berfirman:

﴿يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujādilah [58]: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah jalan menuju kemuliaan, tetapi hanya jika diiringi dengan iman. Tanpa iman, ilmu bisa menyesatkan; dengan iman, ilmu menjadi pelita yang menuntun.

Sebagaimana diingatkan Gus Mus, “Ilmu yang sejati bukan membuatmu merasa paling benar, tapi membuatmu takut berbuat salah.”

Refleksi: Menyalakan Cahaya di Tengah Kegelapan

Kegelapan zaman bukan karena dunia kehilangan cahaya, melainkan karena manusia memadamkan pelita ilmunya sendiri. Mereka tahu banyak, tapi lupa memaknai; cerdas, tapi kehilangan kebijaksanaan.

Karena itu, tugas kita bukan sekadar mencari ilmu, tetapi menyalakan cahayanya dalam diri. Biarlah setiap langkah, ucapan, dan tindakan menjadi pantulan dari pengetahuan yang bermanfaat.

Sebagaimana pesan lembut Gus Mus,

“Kalau kau tak mampu menerangi dunia dengan ilmumu, setidaknya jangan padamkan cahaya orang lain dengan kebodohanmu.”

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement