Surau.co. Syukur dalam Islam bukan sekadar ucapan “alhamdulillah” di bibir. Ia adalah sikap batin yang melihat cahaya di balik kegelapan, menemukan nikmat di tengah derita, dan belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang mampu melihat kebaikan dalam segala hal.
Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menempatkan syukur sebagai bagian dari akhlak keimanan yang paling tinggi. Ia bukan hanya reaksi atas kesenangan, melainkan bentuk pengakuan hati bahwa semua datang dari Allah, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām:
«مَنْ لَا يَشْكُرِ النَّاسَ لَا يَشْكُرِ اللَّهَ»
“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. at-Tirmiżī)
Hadits ini menunjukkan bahwa syukur tidak bisa berhenti pada langit. Ia harus juga menjejak di bumi — diwujudkan lewat ucapan, tindakan, dan penghargaan terhadap sesama.
Fenomena Zaman: Banyak Nikmat, Tapi Sedikit Syukur
Kita hidup di masa ketika segalanya tampak mudah: makanan datang cepat, hiburan tak ada habisnya, dan informasi mengalir deras. Namun anehnya, banyak orang justru merasa kosong. Kelimpahan tak otomatis menghadirkan kebahagiaan; karena yang hilang bukan nikmatnya, tapi rasa syukurnya.
Syukur dalam Islam tidak hanya hadir ketika kita mendapat apa yang diinginkan, tapi juga ketika menerima apa yang tidak diharapkan. Ibn Ḥajar menafsirkan, syukur adalah “i‘tirāf al-qalb bi ni‘mah Allāh wa isti‘māluhā fī ṭā‘atihi” — pengakuan hati atas nikmat Allah dan menggunakannya untuk ketaatan kepada-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām:
«انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ»
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada yang di atas kalian. Hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.”
(HR. Muslim)
Dalam dunia media sosial, hadits ini seperti teguran lembut yang sangat relevan. Betapa sering kita membandingkan hidup kita dengan orang lain — dan lupa betapa banyak nikmat yang diam-diam kita punya.
Gus Mus pernah menulis, “Kita sibuk menghitung yang belum ada, sampai lupa bersyukur atas yang masih tersisa.” Itulah sebabnya, syukur bukan hanya ibadah, tapi juga terapi batin.
Menemukan Nikmat di Tengah Ujian
Syukur bukan berarti menolak kesedihan. Ia justru mengajarkan kita bagaimana menangis dengan penuh makna. Dalam setiap luka, ada pesan rahasia dari Allah. Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām menukil sabda Rasulullah ﷺ yang meneguhkan hati orang beriman:
«عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ… إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ»
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena semua urusannya adalah kebaikan. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur — dan itu baik baginya. Jika mendapat kesulitan, ia bersabar — dan itu juga baik baginya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa hidup seorang mukmin selalu berada dalam lingkaran kebaikan — baik dalam tawa maupun air mata.
Dalam gaya Gus Mus, “Syukur itu bukan berarti kamu harus bahagia terus, tapi kamu tahu bahwa kesedihan pun datang dengan izin Tuhan yang mencintaimu.”
Kadang, ujian justru menyingkap rahmat yang tak terlihat. Sakit mengajarkan sabar, kehilangan mengajarkan ikhlas, dan kekurangan mengajarkan syukur.
Syukur yang Terwujud dalam Perbuatan
Banyak orang merasa sudah bersyukur hanya karena mengucapkan “alhamdulillah.” Padahal, syukur sejati menuntut tindakan nyata. Ia harus hidup dalam perilaku — bagaimana kita menggunakan waktu, rezeki, dan tenaga.
Ibn Ḥajar menulis dalam Bulūgh al-Marām, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا، وَيَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا»
“Sesungguhnya Allah ridha kepada seorang hamba yang ketika makan ia memuji-Nya, dan ketika minum ia memuji-Nya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menggambarkan syukur yang hidup dalam keseharian. Tidak perlu menunggu momen besar untuk bersyukur — bahkan sesuap nasi dan seteguk air bisa menjadi ibadah yang membuat Allah ridha.
Gus Mus sering berpesan, “Kalau kamu tidak bisa jadi orang kaya, jadilah orang yang pandai bersyukur. Karena orang yang bersyukur itu tak pernah miskin di hatinya.”
Belajar Syukur Lewat Luka dan Kekurangan
Banyak orang baru belajar bersyukur setelah kehilangan. Padahal, nikmat sejati sering tersembunyi di balik hal-hal kecil yang kita anggap biasa. Udara yang dihirup tanpa rasa sakit, langkah yang masih bisa dijalani, atau orang-orang yang masih setia menemani — semuanya adalah anugerah yang tak ternilai.
Syukur dalam Islam bukan tentang menunggu nikmat besar, tapi mengenali nikmat kecil sebelum ia pergi.
Allah berfirman:
﴿لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ﴾
“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian.”
(QS. Ibrāhīm [14]: 7)
Ayat ini tidak hanya janji, tetapi juga hukum kehidupan. Syukur memperluas nikmat, bukan karena Allah memberi lebih banyak, tetapi karena hati menjadi lebih mampu melihat kebaikan.
Refleksi: Syukur Adalah Cara Allah Menenangkan Jiwa
Syukur bukan tanda tidak punya masalah, melainkan kemampuan untuk tetap menemukan alasan bahagia meski sedang terluka. Ia bukan hanya ibadah lisan, tapi cara berpikir, cara merasa, dan cara hidup.
Gus Mus menulis, “Orang yang bersyukur itu tidak berarti hidupnya tanpa derita. Tapi ia tahu bahwa derita pun bisa menjadi nikmat jika dibawa kepada Allah.”
Maka, di tengah kesulitan apa pun, mari belajar bersyukur. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
