Ibadah
Beranda » Berita » Batalkah Wudhu Jika Menyentuh Wanita? Tinjauan Komprehensif dalam Fikih Islam

Batalkah Wudhu Jika Menyentuh Wanita? Tinjauan Komprehensif dalam Fikih Islam

Batalkah Wudhu Jika Menyentuh Wanita?
Batalkah Wudhu Jika Menyentuh Wanita? Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Wudhu (bersuci dengan air untuk menghilangkan hadas kecil) adalah salah satu syarat sah shalat dan beberapa ibadah lainnya. Keabsahan wudhu sangat bergantung pada terhindarnya dari hal-hal yang membatalkannya. Salah satu isu yang paling sering menjadi perdebatan dan menimbulkan keraguan pada kalangan umat Islam adalah, “Batalkah wudhu jika menyentuh wanita?”

Perbedaan pandangan (khilafiyah) dalam masalah ini bukanlah sebab ketidaklengkapan dalil. Melainkan karena perbedaan metodologi dalam menafsirkan teks suci Al-Qur’an dan Hadis. Berikut tinjauan komprehensif mengenai isu ini berdasarkan pandangan empat mazhab fikih utama—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali—serta menelaah dalil-dalil yang digunakan masing-masing.

Dasar Utama Perbedaan : Tafsir Ayat Al-Qur’an

Titik tolak perbedaan pendapat ulama terletak pada penafsiran salah satu bagian dari firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 43, yang juga terdapat dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6, mengenai hal-hal yang mewajibkan tayamum (pengganti wudhu/mandi):

Terjemahannya: “…atau kamu telah menyentuh perempuan…”

Kata kunci dalam ayat ini adalah “Lamastumun Nisaa’. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan makna al-lams (menyentuh) dalam konteks ayat ini: apakah ia bermakna sentuhan fisik secara harfiah, ataukah ia adalah kiasan (kinayah) untuk hubungan intim (jima’).

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Tafsir Al-Lams sebagai Kiasan (Mazhab Hanafi)

Sebagian ulama, yang di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, serta menjadi pegangan utama Mazhab Hanafi, menafsirkan kata al-lams di sini sebagai kiasan yang berarti jima’ (hubungan seksual).

Hujah (Argumen) Mazhab Hanafi:

  • Aspek Bahasa (Kinayah): Dalam tradisi bahasa Arab Al-Qur’an, kata-kata yang bermakna sentuhan, seperti al-lams (لَمْس) atau al-mass (مَسّ), seringkali digunakan sebagai kiasan yang merujuk pada hubungan seksual, karena dianggap tidak etis untuk disebutkan secara eksplisit.
  • Hadis Amaliyyah (Praktik Nabi): Dalil terkuat mereka adalah hadis dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha:
    “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Al-Albani dan Syekh Ahmad Syakir).
    Jika sentuhan kulit/ciuman membatalkan wudhu, mustahil Nabi melakukannya lalu langsung shalat tanpa berwudhu kembali.
  • Kesimpulan Mazhab Hanafi: Sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan TIDAK MEMBATALKAN WUDHU, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, kecuali jika sentuhan tersebut menyebabkan keluarnya mani atau madzi.

Tafsir Al-Lams sebagai Makna Hakiki (Mazhab Syafi’i)

Ulama lain, yang menjadi pegangan Mazhab Syafi’i, menafsirkan kata al-lams sesuai makna hakikinya, yaitu sentuhan kulit secara langsung.

Hujah (Argumen) Mazhab Syafi’i:

  • Aspek Bahasa (Hakikat): Mereka berpegangan pada makna harfiah al-lams adalah menyentuh. Mereka berdalil bahwa jika maksudnya adalah jima’, maka akan lebih sesuai jika disebutkan secara eksplisit atau dengan kinayah yang lebih jelas.
  • Prinsip Kehati-hatian: Dalam fikih, jika ada dua tafsiran (hakiki dan majazi/kiasan), maka mengambil makna hakiki lebih berhati-hati (ihtiyat) dalam masalah taharah (bersuci) untuk memastikan ibadah sah.
  • Penafsiran Lamastumun Nisaa’: Ayat ini menyebutkan dua hadas besar: kembali dari tempat buang air (ghaa-ith) yang merupakan hadas kecil (mewajibkan wudhu) dan Lamastumun Nisaa’. Mazhab Syafi’i menganggap Lamastumun Nisaa’ adalah hadas tersendiri yang membatalkan wudhu, di luar jima’ yang mewajibkan mandi.
  • Kesimpulan Mazhab Syafi’i: Bertemunya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram secara langsung (tanpa penghalang) MEMBATALKAN WUDHU secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.

Pendapat Moderat (Mazhab Maliki & Hambali)

Dua mazhab lainnya, Maliki dan Hambali, mengambil jalan tengah dengan berupaya menggabungkan dalil Al-Qur’an dan Hadis. Mereka membatasi batalnya wudhu hanya pada sentuhan yang disertai adanya nafsu.

Amalan Sunnah Harian Sesuai Dalil Dari Al-Qur’an dan Hadist

  • Mazhab Maliki

Pandangan: Sentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu jika ada taladzdzuz (kenikmatan, syahwat, atau kelezatan). Rinciannya:

  • Jika menyentuh tanpa niat syahwat atau tidak merasakan syahwat, wudhu tidak batal.
  • Sentuhan yang disertai syahwat membatalkan wudhu karena dianggap sebagai pemicu keluarnya madzi (cairan pra-ejakulasi) yang jelas membatalkan wudhu, atau karena sentuhan itu sendiri merupakan fasad (perusak) kesucian.
  • Dalam mazhab Maliki, sentuhan dapat membatalkan wudhu bagi kedua belah pihak yang bersentuhan.
  • Mazhab Hambali

Pandangan: Sentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu jika terdorong atau ada syahwat (nafsu). Rinciannya:

  • Jika sentuhan tersebut adalah sentuhan biasa (seperti bersentuhan saat berjalan, tanpa sengaja, atau tanpa syahwat), maka wudhu tidak batal.
  • Mereka menganggap sentuhan dengan syahwat sebagai hadas karena potensinya memicu keluarnya madzi, namun mereka membedakannya dengan sentuhan tanpa syahwat untuk mengakomodir hadis Aisyah tentang Nabi yang mencium istrinya tanpa berwudhu lagi. Mereka menafsirkan hadis Aisyah sebagai sentuhan yang tidak disertai syahwat yang membatalkan wudhu.

Semua mazhab sepakat bahwa menyentuh wanita mahram (seperti ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi) tidak membatalkan wudhu. Ha ini karena sentuhan tersebut tidak berpotensi menimbulkan syahwat yang haram. Perselisihan ini hanya berlaku untuk sentuhan antara laki-laki dan perempuan non-mahram. 

Dalil Tambahan dari Hadis

Selain hadis Aisyah tentang mencium istri, terdapat hadis lain yang juga menjadi pertimbangan ulama:

  1. Hadis Aisyah tentang Tidur di Depan Nabi:
    “Aku tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara kedua kakiku berada di kiblatnya. Apabila beliau hendak sujud, beliau menyentuh kakiku, lalu aku menariknya. Jika beliau berdiri (dari sujud), aku meluruskannya kembali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
    Hadis ini menunjukkan sentuhan kulit antara suami-istri tidak membatalkan wudhu Nabi, karena beliau melanjutkan shalat tanpa berwudhu lagi. Ini adalah dalil kuat bagi Mazhab Hanafi dan yang menganggap tidak batal secara mutlak, atau batal hanya dengan syahwat.
  2. Hadis Abdullah bin Umar:
    “Ciuman seorang laki-laki kepada istrinya, atau sentuhannya dengan tangannya masuk dalam kategori mulamasah. Dan siapa saja yang mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka dia wajib wudhu.” (Riwayat oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih).
    Hadis ini menjadi penguat bagi Mazhab Syafi’i, yang menafsirkan mulamasah sebagai sentuhan fisik yang membatalkan wudhu.

Perlu memahami bahwa ulama dari masing-masing mazhab memiliki metodologi ilmu hadis (musthalah hadis) dan ilmu ushul fikih yang kuat dalam memilih, menafsirkan, atau mentarjih (menguatkan) salah satu riwayat tersebut.

Raih Kebahagiaan Dengan Qana’ah

Sebaiknya Mengikuti Pendapat Siapa?

Dalam wilayah khilafiyah yang mu’tabar (diakui), seperti masalah ini, seorang Muslim memiliki beberapa opsi yang dianjurkan:

  1. Mengikuti Mazhab yang Berlaku dalam wilayahnya. Mayoritas umat Islam Indonesia adalah pengikut Mazhab Syafi’i. Oleh karena itu, secara umum, fatwa yang berlaku di Indonesia adalah bahwa menyentuh lawan jenis yang bukan mahram tanpa penghalang membatalkan wudhu.
  2. Mengambil Pendapat yang Paling Meyakinkan. Jika seseorang memiliki ilmu yang memadai untuk menelaah dalil-dalil, ia dapat memilih pendapat yang menurut penilaiannya adalah paling kuat (rajih) baginya, seperti pendapat yang menyatakan batal jika syahwat menyertai (Maliki/Hambali) atau tidak batal sama sekali (Hanafi).
  3. Mengambil Sikap Kehati-hatian (Ihtiyat): Sikap paling aman adalah mengikuti pendapat yang paling ketat, yaitu Mazhab Syafi’i, dengan selalu mengulang wudhu setelah bersentuhan dengan lawan jenis (bukan mahram/suami/istri) untuk memastikan ibadah shalatnya sah tanpa keraguan.

Membedakan Hukum Fikih dan Hukum Syariat

Satu hal yang tidak boleh terabaikan, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai batal atau tidaknya wudhu: Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram hukumnya haram. Menurut kesepakatan ulama, kecuali dalam keadaan darurat atau sangat butuh (seperti pengobatan atau tolong-menolong).

Hadis Rasulullah mengingatkan:

“Sungguh, kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Al-Baihaqi).

Kesimpulan: Meskipun menyentuh lawan jenis tanpa syahwat mungkin tidak membatalkan wudhu (menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali). Perbuatan itu sendiri (jika dengan sengaja dan tanpa darurat) tetap melanggar batas syariat.

Penutup

Persoalan “Batalkah Wudhu Jika Menyentuh Wanita?” adalah cermin kekayaan dan keluasan fikih Islam. Perbedaan pendapat dalam masalah ini memberikan kemudahan (rukhshah) bagi umat, sekaligus mendorong kita untuk menghormati ijtihad ulama terdahulu.

Bagi yang mengikuti Mazhab Syafi’i.  Kehati-hatian dalam beribadah adalah dengan memastikan tidak terjadi sentuhan kulit langsung antara lawan jenis yang bukan mahram setelah berwudhu. Bagi yang  berpendapat lain, keyakinan bahwa wudhunya tetap sah harus berdasarkan ilmu. Juga mesti merujuk pada salah satu pendapat ulama yang muktabar. Bukan sekadar mengikuti hawa nafsu. Wallahu a’lam bish-shawab. (Dan Allah Maha Mengetahui yang benar).


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement