Surau.co. Jenazah dalam Islam bukan hanya tentang kematian, tapi juga tentang pelajaran hidup. Setiap kali kita melihat seseorang dibawa ke liang lahat, seharusnya hati kita tidak hanya berduka, tapi juga merenung: apa yang sebenarnya sedang Allah ajarkan lewat kepergian itu?
Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī mengumpulkan banyak hadits yang membahas tata cara mengurus jenazah, bukan semata-mata teknis pemulasaraan, tetapi juga makna spiritual yang mendalam di baliknya. Islam tidak sekadar mengajarkan bagaimana menghormati jenazah, tetapi juga bagaimana yang hidup mengambil pelajaran darinya.
Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām:
«أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ»
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (kematian).”
(HR. at-Tirmiżī)
Kematian adalah pengingat paling lembut sekaligus paling jujur. Ia tak bisa ditunda, tak bisa ditawar, dan tak bisa disuap. Ketika seseorang meninggal, waktu berhenti untuknya, tapi bagi yang hidup, detik-detik justru baru dimulai — waktu untuk memperbaiki diri sebelum panggilan yang sama datang.
Kematian yang Sering Diabaikan di Tengah Kehidupan yang Sibuk
Di zaman sekarang, manusia seolah begitu pandai hidup, tapi lupa cara mempersiapkan mati. Hidup dikejar dengan agenda, target, dan pencapaian; namun kematian hanya dianggap jeda yang jauh di ujung jalan. Padahal, jenazah mengingatkan kita bahwa setiap napas adalah hitungan mundur menuju pertemuan dengan Allah.
Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām menukil hadits Rasulullah ﷺ:
«كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ»
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.”
(HR. al-Bukhārī)
Kata-kata ini bukan ajakan untuk menjauh dari dunia, tapi pengingat agar kita tidak terlalu melekat padanya. Dunia hanyalah tempat singgah, bukan rumah abadi.
Gus Mus pernah menulis dengan nada lembut, “Orang mati itu tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya pindah rumah, sementara kita masih sibuk membangun rumah yang akan segera kita tinggalkan.”
Mengurus Jenazah, Mengurus Hati Sendiri
Dalam Islam, mengurus jenazah bukan hanya kewajiban sosial, tapi juga ibadah. Dari memandikan, mengafani, hingga menshalatkannya — semua adalah wujud kasih terakhir kepada sesama manusia. Ibn Ḥajar menjelaskan dalam Bulūgh al-Marām bahwa penghormatan kepada jenazah adalah penghormatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحْسِنْ كَفَنَهُ»
“Apabila salah seorang di antara kalian mengafani saudaranya, hendaklah ia memperbagus kafannya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini tampak sederhana, tapi mengandung kehalusan akhlak yang luar biasa. Islam mengajarkan untuk tetap memperlakukan jenazah dengan hormat, seolah-olah ia masih hidup. Tidak hanya dalam doa, tapi juga dalam tindakan.
Mengafani dengan rapi, mengubur dengan lembut, dan tidak tergesa-gesa dalam pemakaman adalah wujud cinta yang terakhir. Bahkan, saat seseorang sudah tak bisa membalas, Islam tetap mengajarkan kasih yang tulus.
Doa yang Menghidupkan yang Telah Tiada
Setelah seseorang menjadi jenazah, tali kasih antara yang hidup dan yang mati tidak terputus. Doa menjadi jembatan antara dua dunia. Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām menukil sabda Rasulullah ﷺ:
«إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini mengajarkan bahwa hubungan cinta yang tulus tidak berakhir di liang lahat. Doa anak, ilmu yang diwariskan, dan sedekah yang terus mengalir akan menjadi “nafas abadi” bagi yang telah pergi.
Dalam pandangan Gus Mus, “Doa itu bukan hanya ucapan, tapi wujud cinta yang menembus batas dunia.” Maka, setiap kali kita mendoakan orang yang telah tiada, sejatinya kita sedang membalas kebaikan yang pernah mereka tanamkan dalam hidup.
Jenazah yang Mengingatkan Kita untuk Hidup Lebih Baik
Melihat jenazah bukan seharusnya menimbulkan ketakutan, tetapi kesadaran. Bahwa kita semua akan tiba di titik yang sama, tanpa harta, jabatan, atau gelar. Hanya amal baik yang menemani.
Dalam Bulūgh al-Marām, Ibn Ḥajar meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ yang menggambarkan hakikat kehidupan dan kematian:
«يُتْبَعُ الْمَيِّتُ ثَلاثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ»
“Yang mengikuti jenazah ada tiga: keluarga, harta, dan amalnya. Dua akan kembali, dan satu akan tetap bersamanya: keluarga dan hartanya pulang, sementara amalnya tetap menemaninya.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Betapa sering kita lupa bahwa amal adalah satu-satunya teman sejati. Ketika dunia selesai bagi kita, amal baik akan tetap ada, menemani perjalanan panjang menuju akhirat.
Gus Mus pernah berkata, “Orang mati tidak butuh tangisanmu, ia butuh kebaikanmu yang terus kamu lakukan.”
Belajar Hidup dari yang Sudah Tiada
Kematian bukan akhir, tapi pintu menuju kehidupan yang hakiki. Setiap jenazah yang kita lihat, setiap tanah kubur yang kita injak, sesungguhnya sedang mengajarkan pelajaran berharga: bahwa hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan kebencian, kesombongan, dan kesia-siaan.
Jenazah adalah cermin yang jujur — mengingatkan bahwa yang abadi hanyalah amal baik. Dari mereka yang telah pergi, kita belajar untuk hidup lebih benar, lebih lembut, dan lebih bersyukur.
Gus Mus menulis dengan penuh perenungan, “Setiap orang yang mati meninggalkan pesan. Hanya saja, kita sering terlalu bising untuk mendengarnya.”
Maka, mari kita hidup dengan cara yang pantas untuk mati dengan tenang.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
