Khazanah
Beranda » Berita » Sedekah: Menyembuhkan yang Memberi dan yang Diberi

Sedekah: Menyembuhkan yang Memberi dan yang Diberi

Pemuda memberi sedekah kepada ibu tua di pasar, simbol kasih dan ketenangan dalam Islam.
Gambaran interaksi tulus antara pemberi dan penerima, melambangkan sedekah sebagai jalan kasih dan kesembuhan spiritual.

Surau.co. Sedekah dalam Islam bukan sekadar memberi harta, tapi juga menyembuhkan hati. Ia adalah bahasa cinta yang paling sunyi antara manusia dan Allah — tindakan sederhana yang mampu menyembuhkan luka yang tak terlihat. Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif, sedekah menjadi ruang tenang di mana manusia kembali belajar tentang kasih, empati, dan keberkahan.

Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menegaskan bahwa sedekah bukan hanya ibadah finansial, tapi juga latihan spiritual. Ia memurnikan hati dari cinta dunia dan menumbuhkan rasa cukup di tengah kekurangan. Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibn Ḥajar:

«الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ»
“Sedekah dapat memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api.”
(HR. al-Tirmiżī, dalam Bulūgh al-Marām)

Hadits ini mengajarkan bahwa sedekah tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tapi juga menjadi penyucian bagi pemberinya. Setiap rupiah yang dikeluarkan dengan ikhlas bukan sekadar menolong orang lain, tetapi juga membersihkan diri dari kerak dosa dan keserakahan.

Ketika Memberi Menjadi Jalan Kesembuhan

Fenomena modern sering memperlihatkan betapa dunia dipenuhi kesenjangan. Di satu sisi, ada yang menimbun kekayaan tanpa rasa cukup, di sisi lain ada yang lapar bukan karena malas, tapi karena dunia tak adil padanya. Di tengah ketimpangan ini, sedekah dalam Islam hadir sebagai jembatan kasih yang menyembuhkan dua pihak sekaligus.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Memberi menyembuhkan hati yang sempit karena harta, dan menerima menyembuhkan hati yang luka karena kekurangan. Ibn Ḥajar menjelaskan bahwa setiap pemberian yang dilakukan dengan ikhlas akan dibalas oleh Allah dengan kelapangan yang berlipat — bukan selalu dalam bentuk materi, tapi dalam bentuk ketenangan dan ridha.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ»
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan Allah tidak menambah bagi seorang hamba yang memaafkan melainkan kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah meninggikannya.”
(HR. Muslim, dikutip Ibn Ḥajar)

Sungguh, dunia manusia sering kali terbalik. Mereka takut miskin karena memberi, padahal di situlah letak kekayaan sejati. Gus Mus pernah menulis, “Yang membuat kita kaya bukan banyaknya harta, tapi sedikitnya rasa ingin memiliki.” Sedekah membebaskan manusia dari belenggu memiliki — karena memberi justru membuat hati memiliki lebih banyak hal yang tak ternilai: kedamaian.

Sedekah yang Menghidupkan Ketenangan

Setiap kali tangan terbuka untuk memberi, sebenarnya hati sedang belajar melepaskan. Sedekah tidak hanya mengalir ke tangan penerima, tapi juga kembali ke hati pemberinya sebagai ketenangan. Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām menukil hadits yang menegaskan hubungan antara sedekah dan perlindungan dari keburukan:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

«دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ»
“Obatilah orang-orang sakit di antara kalian dengan sedekah.”
(HR. al-Bayhaqī)

Hadits ini memiliki makna yang mendalam. Sedekah menjadi bentuk pengobatan yang bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Orang yang sedang diuji dengan penyakit, kesempitan, atau kesedihan, akan menemukan kelegaan luar biasa setelah berbagi.

Dalam bahasa Gus Mus, “Kadang, tangan yang memberi bukan karena kuat, tapi karena ingin sembuh.” Sedekah adalah terapi bagi jiwa yang penat, bagi hati yang terluka, dan bagi pikiran yang kusut oleh urusan dunia.

Bahkan, ilmuwan modern membuktikan bahwa memberi membuat otak melepaskan hormon kebahagiaan seperti dopamin dan oksitosin — hormon yang sama ketika seseorang jatuh cinta. Maka tak heran, orang yang gemar bersedekah tampak lebih tenang dan berbahagia, sebab mereka hidup dengan rasa cukup dan penuh makna.

Memberi dalam Sunyi, Menerima dalam Syukur

Sedekah dalam Islam tidak dinilai dari besar kecilnya harta, tapi dari keikhlasan niat. Rasulullah ﷺ pernah bersabda sebagaimana dikutip Ibn Ḥajar:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ… وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ»
“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya… salah satunya adalah seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan tangan kanannya.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Sedekah yang tulus tidak mencari sorotan, tidak menunggu terima kasih. Ia memberi dengan keyakinan bahwa Allah Maha Melihat. Justru dalam kesunyian itulah sedekah menjadi paling murni.

Bagi yang menerima, sedekah adalah bentuk kasih Allah yang dititipkan lewat tangan manusia. Karenanya, penerima pun harus menerimanya dengan rasa syukur, bukan malu atau rendah diri. Dalam pandangan Islam, orang yang menerima sedekah juga berperan: mereka memberi kesempatan bagi yang lain untuk berbuat baik.

Sedekah adalah pertemuan dua jiwa — satu belajar ikhlas memberi, satu belajar rendah hati menerima.

Sedekah yang Tak Selalu Berwujud Harta

Tidak semua orang mampu memberi uang, tapi setiap orang bisa bersedekah. Dalam Bulūgh al-Marām, Ibn Ḥajar menukil hadits yang memperluas makna sedekah:

«كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ»
“Setiap perbuatan baik adalah sedekah.”
(HR. Muslim)

Senyum yang tulus, waktu yang diberikan untuk mendengarkan, ilmu yang diajarkan, bahkan memindahkan duri dari jalan — semuanya adalah sedekah.

Inilah keindahan Islam: ia membuka jalan kebaikan bagi setiap manusia, tanpa memandang status ekonomi. Gus Mus sering mengingatkan, “Sedekah terbaik bukan yang paling besar, tapi yang paling tulus.”

Ketika dunia terasa keras dan manusia semakin individualistis, sedekah menjadi cara paling lembut untuk menjaga kemanusiaan tetap hidup.

Refleksi: Memberi Adalah Cara Allah Menyembuhkan Kita

Sedekah bukan hanya amal, tapi dialog antara hati dan Tuhan. Ia menenangkan yang memberi, menguatkan yang menerima, dan menghubungkan keduanya dalam lingkaran kasih Allah.

Allah berfirman:

﴿مَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ، فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ، وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ﴾
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. al-Baqarah [2]: 261)

Setiap sedekah adalah benih yang tumbuh di ladang kebaikan. Kadang kita tidak melihat buahnya segera, tapi Allah menjaganya hingga saat yang paling tepat.

Maka, teruslah memberi — bukan karena banyak, tapi karena ingin sembuh. Karena di setiap tangan yang terbuka untuk menolong, di situlah Allah menanam ketenangan yang tak ternilai.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement