Khazanah
Beranda » Berita » Jihad: Melawan yang di Dalam Diri

Jihad: Melawan yang di Dalam Diri

Pemuda menatap bayangannya di sungai menjelang subuh, simbol jihad melawan nafsu dalam Islam.
Gambaran perjuangan batin seorang muslim melawan diri sendiri; reflektif, damai, dan penuh makna spiritual.

Surau.co. Jihad dalam Islam kerap disalahpahami sebagai perang melawan musuh di medan tempur. Padahal, Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām karya Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menegaskan makna yang jauh lebih luas: jihad melawan hawa nafsu, kesombongan, dan diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, musuh terbesar kita bukan orang lain, melainkan diri sendiri. Ia bersembunyi di balik pikiran, menyusup dalam niat, dan sering menipu lewat keinginan yang tampak baik. Nabi ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Ḥajar:

“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang melawan dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah.”
(HR. Ahmad)

Hadits ini menegaskan bahwa jihad tidak sekadar peperangan lahiriah, melainkan perjuangan batin yang jauh lebih berat. Musuh di luar bisa terlihat, tetapi hawa nafsu yang bersembunyi di dalam diri sering lebih berbahaya.

Gus Mus pernah berpesan, “Kadang kita sibuk menaklukkan dunia, tapi lupa menaklukkan diri. Padahal dunia itu kecil, sedang dirimu luas sekali.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Jihad yang Tak Menumpahkan Darah

Dalam Bulūgh al-Marām, Ibn Ḥajar menjelaskan bahwa jihad bukan hanya perang bersenjata, melainkan segala bentuk perjuangan di jalan Allah: jihad menuntut ilmu, jihad melawan ketidakadilan, dan jihad memperbaiki diri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah perjuangan seseorang melawan hawa nafsunya dan keinginannya.”
(HR. Ibn al-Najjār, dikutip dalam Bulūgh al-Marām)

Hadits ini tampak sederhana, namun maknanya dalam. Betapa sering manusia kalah oleh dirinya sendiri: lidah lebih cepat marah daripada berzikir, hati lebih mudah iri daripada bersyukur, dan mata lebih sering mencari kekurangan orang lain ketimbang melihat keindahan ciptaan Allah.

Melawan diri sendiri adalah jihad tanpa darah, tetapi penuh luka — luka dari pengendalian, dari kesabaran, dan dari keinginan yang harus diredam demi kebaikan. Namun justru dari luka itulah tumbuh kemuliaan sejati: ketika seseorang berhasil menundukkan egonya di hadapan Allah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Fenomena Zaman: Jihad yang Tersembunyi

Kini, di era media sosial, jihad terbesar mungkin bukan di medan perang, melainkan di layar ponsel. Setiap orang berhadapan dengan godaan baru: jihad menahan jari dari menulis kebencian, jihad melawan dorongan untuk pamer, dan jihad menjaga hati dari iri terhadap kebahagiaan orang lain.

Jihad di zaman ini bukan lagi soal senjata, melainkan tentang menjaga keikhlasan di tengah hiruk pikuk dunia maya. Ibn Ḥajar mengingatkan dalam Bulūgh al-Marām bahwa amal tanpa niat yang lurus hanya menjadi fatamorgana — tampak besar di mata manusia, tapi kosong di hadapan Allah.

“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim, dikutip Ibn Ḥajar dalam pembukaan Bulūgh al-Marām)

Niat adalah medan jihad paling sunyi. Tidak ada yang tahu kecuali Allah. Seorang guru, penulis, atau aktivis mungkin tampak berjuang di jalan Allah, namun jika niatnya hanya mencari pengakuan, jihadnya berhenti di tepuk tangan manusia.

Oleh karena itu, jihad hari ini adalah menjaga hati agar tetap bersih, agar agama tidak dijadikan alat pamrih duniawi.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Melawan Nafsu: Jihad Seumur Hidup

Perjuangan melawan hawa nafsu bukanlah tugas sesaat, tetapi perjalanan seumur hidup. Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana dicatat Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām:

“Seorang mujahid sejati adalah yang berjihad melawan dirinya demi Allah.”
(HR. al-Tirmiżī)

Melawan diri sendiri adalah jihad paling berat, karena lawannya bukan orang lain, melainkan keinginan yang melekat di hati. Nafsu tidak bisa dibunuh, tetapi harus dikendalikan dengan kesadaran dan ketulusan.

Gus Mus pernah mengingatkan dengan lembut, “Yang paling sulit itu bukan menaklukkan orang lain, tapi menaklukkan rasa ingin dianggap benar.” Itulah jihad yang sesungguhnya — jihad yang berlangsung dalam diam, namun bergaung hingga ke langit.

Setiap kali seseorang menahan amarah, ia sedang berjihad. Saat memilih diam daripada membalas, ia sedang menang dalam peperangan batin. Dan ketika tetap berbuat baik meski disakiti, di situlah kemenangan spiritual sejati muncul.

Jihad yang Menghidupkan Hati

Tujuan akhir jihad bukan kemenangan duniawi, melainkan ketenangan batin. Bukan untuk menguasai, tapi untuk membersihkan diri. Hanya hati yang tenang yang mampu merasakan makna sejati jihad — perjalanan kembali kepada Allah dalam keadaan bersih.

Jihad melawan diri menumbuhkan kelembutan. Ia mengajarkan rendah hati karena manusia sadar betapa banyak kekurangannya. Ia juga menumbuhkan kasih karena kita tahu setiap orang sedang berjuang melawan dirinya masing-masing.

Dengan demikian, jihad bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan. Tanpa jihad melawan diri, iman akan mudah retak, dan hati kehilangan arah.

Refleksi: Jihad sebagai Cermin Diri

Ketika seseorang menatap cermin, ia sebenarnya sedang melihat musuh yang paling nyata: dirinya sendiri. Dari sanalah jihad bermula — menundukkan pandangan dari kesombongan, menahan lidah dari kebencian, dan membersihkan hati dari dengki.

Jihad sejati bukan perang berdarah, melainkan peperangan sunyi dengan ego. Ia tidak menghasilkan piala, tetapi menghadirkan ketenangan. Ia tidak membuat terkenal, tetapi mendekatkan manusia kepada Tuhan.

Dan mungkin benar kata Gus Mus, “Jihad itu bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menjadi manusia yang lebih baik.”

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement