Surau.co. Makanan halal dalam Islam bukan hanya tentang boleh atau tidaknya sesuatu dimakan. Ia adalah soal kesadaran, tentang bagaimana setiap suapan yang masuk ke tubuh menjadi bagian dari ibadah. Dalam Islam, makan bukan sekadar mengisi perut, tapi juga menumbuhkan jiwa.
Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, karya Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, menjelaskan betapa pentingnya menjaga makanan agar tetap halal dan baik (ḥalālan ṭayyiban). Halal adalah urusan hukum, sementara ṭayyib adalah urusan hati dan niat. Keduanya tak bisa dipisahkan.
Dalam kitab tersebut, Ibn Ḥajar menukil sabda Nabi ﷺ yang menjadi dasar penting dalam muamalah makanan:
«إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا»
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa Allah tidak hanya melihat apa yang kita makan, tapi juga dari mana dan bagaimana kita mendapatkannya. Makanan yang halal dan baik bukan hanya menjaga kesehatan jasmani, tapi juga menenangkan ruhani.
Fenomena Makan Tanpa Kesadaran
Di zaman modern, makanan datang begitu cepat dan mudah. Kita bisa memesan apa pun hanya lewat ponsel, tanpa tahu bagaimana prosesnya, dari mana asalnya, dan siapa yang membuatnya. Di sinilah ujian besar bagi seorang muslim: menjaga kehalalan di tengah kemudahan.
Makanan halal dalam Islam bukan hanya soal label di bungkus, tapi kesadaran untuk tidak memberi makan tubuh dengan sesuatu yang mencemari jiwa. Ibn Ḥajar menjelaskan bahwa makanan haram dapat menutupi hati dan menghalangi terkabulnya doa. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits lain yang diriwayatkan beliau dalam Bulūgh al-Marām:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا}»
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul: ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan benar.’”
(QS. al-Mu’minūn [23]: 51, HR. Muslim)
Makanan yang halal adalah sumber keberkahan, sedangkan makanan haram menjadi sumber gelapnya hati. Orang yang makan dari hasil yang tidak jujur, walau sedikit, seakan menanam duri di kebun doanya sendiri. Gus Mus pernah menulis, “Kadang yang membuat doa tidak naik ke langit bukan karena lidahmu kotor, tapi karena nasi yang kau makan bukan dari rezeki yang halal.”
Menjaga Diri di Tengah Godaan Dunia
Kehidupan modern menawarkan begitu banyak kemudahan, namun juga godaan yang halus. Label “halal” bisa dicetak di mana saja, tapi hakikat kehalalan tidak sesederhana itu. Ia menuntut kejujuran produsen, kesadaran konsumen, dan tanggung jawab spiritual setiap orang.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits yang juga dikutip dalam Bulūgh al-Marām:
«كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ»
“Setiap daging yang tumbuh dari (makanan) haram, maka neraka lebih layak baginya.”
(HR. al-Tirmiżī)
Hadits ini tegas namun penuh peringatan. Setiap suapan bukan hanya soal gizi, tapi juga soal nasib akhirat. Makanan yang haram menumbuhkan daging, tapi juga menanam beban dosa.
Di sisi lain, makanan halal yang diperoleh dengan usaha jujur membawa ketenangan. Setiap butir nasi yang dibeli dengan keringat yang halal menjadi doa dalam diam. Ibn Ḥajar menjelaskan, rezeki yang halal membawa barakah — bertambah bukan karena banyak, tetapi karena membawa keberkahan dalam kehidupan.
Maka, makanlah dengan hati yang bersyukur. Rasakan bahwa setiap suapan adalah amanah. Makanan halal bukan sekadar tentang “boleh dimakan”, tapi tentang bagaimana kita menyucikan diri dari yang syubhat dan haram.
Menyantap dengan Tanggung Jawab Ruhani
Islam mengajarkan keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Ketika seseorang makan, yang diberi makan bukan hanya tubuhnya, tapi juga ruhnya. Karena itu, makanan halal dan ṭayyib menjadi pondasi bagi ketenangan batin.
Rasulullah ﷺ mengajarkan etika makan dengan begitu lembut. Ibn Ḥajar meriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām:
«يَا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ»
“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari bagian yang dekat denganmu.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Etika sederhana ini bukan sekadar sopan santun, tetapi latihan ruhani agar manusia tidak makan seperti hewan yang hanya menuruti lapar. Dengan mengucap “Bismillah”, seseorang mengingat bahwa makan adalah ibadah.
Gus Mus pernah berseloroh, “Makan itu tidak sekadar mengisi perut, tapi mengisi hati. Karena dari makanan yang halal, lahir doa-doa yang ikhlas.”
Setiap kali menyantap makanan halal, sebenarnya kita sedang menjaga hubungan dengan Allah. Tubuh menjadi kuat, hati menjadi lembut, dan doa mengalir tanpa penghalang.
Halal: Jalan Sunyi Menuju Ketenangan
Makanan halal tidak hanya membentuk tubuh yang sehat, tetapi juga membangun masyarakat yang bersih dari ketamakan. Dalam dunia yang serba cepat, menjaga kehalalan adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakjujuran.
Memilih makanan halal artinya menjaga integritas diri. Ketika seorang muslim menolak keuntungan dari jalan yang curang, atau memilih usaha yang jujur meski kecil hasilnya, di situlah letak kemuliaan.
Karena pada akhirnya, makanan halal bukan hanya soal rezeki, tapi juga soal keberkahan hidup. Dalam setiap suapan yang halal, ada ketenangan. Dalam setiap rezeki yang jujur, ada doa yang cepat dikabulkan.
Dan mungkin, seperti kata Gus Mus, “Halal itu tidak hanya tentang apa yang masuk ke perut, tapi juga tentang apa yang keluar dari hati.”
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
