Surau.co. Jual beli dalam Islam bukan sekadar urusan untung dan rugi. Ia adalah ibadah yang menyatukan dunia dan akhirat. Dalam setiap pertukaran barang dan uang, Islam menanamkan nilai-nilai luhur: kejujuran, keadilan, dan amanah. Sayangnya, di tengah hiruk-pikuk pasar modern, nilai-nilai itu kian mahal—bahkan lebih mahal daripada emas itu sendiri.
Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menegaskan pentingnya kejujuran dalam setiap transaksi. Ia bukan sekadar etika, tetapi ukuran ibadah yang menentukan keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam kitab tersebut:
“Dua orang yang berjual beli memiliki hak memilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan keadaan barang, maka diberkahi jual belinya. Namun jika mereka berdusta dan menyembunyikan cacat, maka keberkahan jual belinya akan hilang.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa kejujuran adalah ruh dari jual beli. Tanpa kejujuran, transaksi hanya menjadi permainan angka tanpa berkah. Ibn Ḥajar menambahkan, keberkahan bukan sekadar bertambahnya harta, tetapi tumbuhnya ketenangan dan ridha Allah di dalamnya.
Ketika Dagang Menjadi Ibadah
Bagi sebagian orang, pasar hanyalah arena mencari keuntungan. Namun bagi seorang muslim, pasar adalah ladang pahala. Rasulullah ﷺ sendiri pernah menjadi pedagang. Beliau tidak hanya menjual barang, tetapi juga menanam nilai-nilai kebenaran.
Selain itu, beliau menunjukkan bahwa berdagang dengan hati yang bersih sama sucinya dengan beribadah di masjid.
Dalam Bulūgh al-Marām juga disebutkan sabda beliau:
“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada.”
(HR. al-Tirmiżī)
Bayangkan, seorang pedagang yang jujur ditempatkan sejajar dengan para nabi dan syuhada. Ini bukan pujian biasa, melainkan penghargaan spiritual yang luar biasa. Karena itu, berdagang dengan jujur bukan hanya soal etika bisnis, tapi jalan menuju kedekatan dengan Allah.
Sayangnya, zaman kini sering membalik nilainya. Timbangan dimanipulasi, kualitas disembunyikan, dan iklan dibungkus dusta. Keuntungan memang terlihat besar, tetapi hati menjadi kering. Ibn Ḥajar mengingatkan, rezeki yang datang lewat kebohongan tidak akan membawa ketenangan—ia seperti makanan lezat yang menyisakan sakit setelah ditelan.
Gus Mus pun pernah berpesan dengan gaya khasnya,
“Yang membuat rezeki berkah itu bukan banyaknya, tapi jujurnya. Kalau makan dari hasil menipu, jangan harap doamu cepat sampai.”
Keberkahan yang Tidak Dapat Dibeli
Kejujuran adalah modal yang tak bisa digadaikan dengan uang. Dalam jual beli, kejujuran menumbuhkan kepercayaan, sementara kepercayaan mendatangkan keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mudah dalam berjual beli, mudah dalam membeli, dan mudah dalam menagih.”
(HR. al-Bukhārī)
Sikap samḥah—lapang, ringan tangan, dan tidak serakah—menjadi inti akhlak berdagang. Di tengah dunia yang penuh kompetisi, sifat ini memang tampak lemah. Namun justru di sanalah letak kekuatan seorang mukmin.
Karena itu, berdagang bukan sekadar mengejar keuntungan materi, melainkan menebar rahmat di antara sesama manusia.
Selain itu, dalam setiap transaksi yang lembut dan jujur, Allah menanamkan ketenangan batin. Sementara keuntungan yang diperoleh dari tipu daya hanya meninggalkan kegelisahan yang panjang.
Kita sering lupa bahwa keberkahan tidak muncul dari kecerdikan, tetapi dari kebersihan hati. Seorang pedagang yang menimbang dengan jujur, meski untungnya kecil, tetap lebih mulia daripada yang menipu demi laba besar.
Ketika Dunia Menawarkan Emas, Pilihlah Nilai yang Kekal
Kini, di era digital, jual beli menjadi semakin mudah. Namun kemudahan itu juga membawa risiko. Foto bisa dimanipulasi, testimoni bisa dibeli, dan kata “amanah” sering menjadi hiasan semata.
Oleh sebab itu, prinsip-prinsip Bulūgh al-Marām terasa semakin relevan: kejujuran adalah kemewahan sejati.
Nabi ﷺ mengingatkan:
“Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
(HR. Muslim)
Kalimat ini tegas sekaligus menggugah. Menipu bukan hanya dosa, tetapi juga pengkhianatan terhadap identitas keislaman.
Karena itu, pedagang muslim sejati tidak sekadar mengejar untung, melainkan ridha Allah. Ia menjadikan kejujuran sebagai jalan hidup, bukan sekadar strategi bisnis. Dalam setiap transaksi, ia selalu bertanya pada hatinya: Apakah Allah ridha dengan jual beliku hari ini?
Gus Mus kembali menegaskan dengan kalimat yang tajam,
“Orang jujur itu rezekinya tak pernah habis. Yang habis itu rasa cukupnya.”
Kata-kata itu menampar sekaligus menuntun: kejujuran bukan soal siapa yang paling pintar berdagang, tetapi siapa yang paling tulus dalam mencari ridha Tuhan.
Menjadi Pedagang yang Menebar Berkah
Kejujuran dalam jual beli bukan hanya tanggung jawab pribadi, tetapi fondasi peradaban. Ketika pedagang jujur semakin banyak, pasar pun berubah menjadi tempat yang penuh keberkahan.
Selain menumbuhkan kepercayaan, ia juga menanam keadilan dalam hati masyarakat.
Setiap timbangan yang benar, setiap harga yang adil, dan setiap janji yang ditepati adalah ibadah yang dicatat oleh malaikat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun ke surga.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Menjadi pedagang yang jujur memang tidak selalu mudah. Dunia akan terus menggoda dengan keuntungan cepat. Namun, pada akhirnya, emas tidak akan menyelamatkan kita di akhirat, sementara kejujuran akan menerangi jalan menuju surga.
Karena itu, marilah kita dagang dengan hati. Jadikan setiap transaksi sebagai zikir, setiap pelanggan sebagai amanah, dan setiap keuntungan sebagai sarana berbagi. Sebab, kejujuran bukan sekadar etika dagang—ia adalah ibadah, cahaya, dan jalan menuju Tuhan.
* Sugianto al-Jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
