Khazanah
Beranda » Berita » Nikah: Ibadah yang Penuh Tawa dan Doa

Nikah: Ibadah yang Penuh Tawa dan Doa

Pasangan muslim duduk di beranda rumah menjelang maghrib, simbol harmoni tawa dan doa dalam nikah Islam.
Gambaran damai rumah tangga Islam di waktu senja, di mana tawa dan doa menjadi nafas kehidupan, melambangkan cinta yang berpijak pada iman.

Surau.co. Nikah dalam Islam adalah ibadah paling manusiawi. Di dalamnya ada cinta, tawa, tangis, pengorbanan, dan harapan. Tidak ada ibadah lain yang begitu dekat dengan kehidupan manusia seperti pernikahan. Ia bukan sekadar penyatuan dua hati, melainkan perjanjian suci antara dua jiwa di hadapan Allah.

Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menempatkan bab nikah sebagai bagian penting dalam hukum Islam. Dari pernikahanlah lahir ketenangan, kasih sayang, dan generasi yang menjaga agama. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ»
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah ia menikah. Sebab, itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan diri.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Hadis ini menjelaskan mengapa Islam mendorong pernikahan: bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi juga untuk menjaga kesucian hati dan menumbuhkan ketaatan. Ibn Ḥajar menegaskan bahwa nikah adalah ibadah sosial sekaligus spiritual.

Cinta yang dibingkai dalam pernikahan berubah menjadi amal bernilai ibadah. Setiap tatapan kasih, setiap senyum lembut, bahkan setiap kesabaran dalam menghadapi ujian rumah tangga, semuanya menjadi ladang pahala yang terus mengalir.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Tawa yang Bernilai Pahala

Rumah tangga Islami bukan rumah tanpa masalah, melainkan rumah yang di dalamnya tawa tetap hidup meski cobaan datang silih berganti. Karena itu, Islam mengajarkan keseimbangan antara tanggung jawab dan keceriaan. Dalam setiap langkah, pasangan suami-istri belajar untuk tetap tersenyum, meski dunia kadang terasa berat.

Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana dikutip dalam Bulūgh al-Marām:

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(HR. al-Tirmiżī)

Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kebaikan seseorang tidak berhenti pada seberapa khusyuk ia beribadah di masjid, tetapi juga terlihat dari seberapa lembut ia memperlakukan keluarganya di rumah.

Karena itu, suami yang menyapu rumah, istri yang mendengarkan keluh kesah suaminya, atau pasangan yang tertawa karena hal-hal kecil — semua itu bagian dari ibadah. Dalam tawa mereka, ada cinta yang menenangkan hati dan menghidupkan rumah.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Gus Mus pernah berkata: “Rumah tangga itu tempat belajar menjadi manusia. Di sanalah kita belajar tentang sabar, tentang kasih, tentang bagaimana menertawakan hidup tanpa kehilangan arah.”

Tawa bukan tanda main-main, melainkan bukti bahwa cinta masih hidup. Ia menjaga rumah dari dinginnya kesunyian, menyembuhkan luka yang tak terlihat, dan menumbuhkan kehangatan yang abadi.

Doa yang Menyatu dalam Kehidupan Sehari-hari

Lebih dari sekadar berbagi makanan atau tempat tidur, rumah tangga yang Islami adalah rumah di mana doa menjadi napas kehidupan. Dalam diam, dua insan saling mendoakan satu sama lain — karena cinta sejati tak selalu perlu suara.

Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī meriwayatkan dalam Bulūgh al-Marām:

«رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، ثُمَّ أَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ»
“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun malam lalu shalat, kemudian membangunkan istrinya untuk shalat. Jika istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajahnya.”
(HR. Abū Dāwūd dan al-Nasā’ī)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Betapa lembut tuntunan itu. Rasulullah ﷺ tidak memerintah dengan keras, melainkan dengan kasih. Percikan air menjadi simbol cinta yang tumbuh dari kelembutan.

Di tengah kesibukan modern, doa bersama pasangan kini semakin jarang. Padahal, justru di situlah kekuatan rumah tangga bertumbuh. Ketika suami menyebut nama istrinya dalam sujud, dan istri berbisikkan doa untuk suaminya di tengah malam, malaikat pun mengaminkan dari langit.

Doa itulah yang menjaga rumah tetap hangat, bahkan saat jarak dan waktu menguji kesetiaan.

Separuh Agama, Separuh Perjuangan

Islam memandang pernikahan bukan sebagai akhir dari pencarian, melainkan awal dari perjuangan. Nabi ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām:

«إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي»
“Apabila seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka bertakwalah ia kepada Allah pada separuh yang tersisa.”
(HR. al-Bayhaqī)

Setelah menikah, perjalanan hidup justru dimulai. Seseorang belajar menjadi sabar, pemaaf, dan rendah hati. Sebab pernikahan bukan tentang menemukan pasangan sempurna, tetapi tentang dua orang yang bersedia tumbuh bersama.

Seperti dua tangan yang bergerak berlawanan arah namun saling menutup kekurangan, pasangan yang saling melengkapi akan lebih kuat menghadapi dunia.

Gus Mus sering mengingatkan, “Cinta itu bukan tentang menemukan orang yang tepat, tetapi tentang menjadi orang yang tepat bagi orang yang kita cintai.”

Kata-kata itu menggambarkan hakikat nikah dalam Islam: ibadah panjang yang dijalani dengan tawa dan doa, dengan sabar dan syukur.

Rumah Tangga: Tempat Cinta Menjadi Amal

Rumah tangga dalam Islam adalah taman kecil tempat cinta tumbuh menjadi amal. Setiap kali suami memberi nafkah, setiap kali istri mengurus rumah, dan setiap kali keduanya saling menenangkan, semuanya menjadi ibadah.

Bulūgh al-Marām mengajarkan bahwa tindakan sekecil apa pun akan bernilai pahala jika diniatkan karena Allah. Maka, jangan remehkan senyum di pagi hari, ucapan maaf, atau pelukan sebelum tidur. Semua itu adalah bentuk dzikir tanpa suara.

Cinta dalam Islam bukan sekadar perasaan, melainkan keputusan. Sementara pernikahan menjadi bukti bahwa manusia bisa mencintai tanpa kehilangan arah menuju Tuhan.

Dalam rumah tangga yang berlandaskan iman, tawa dan doa berjalan berdampingan. Tawa menjaga hati agar tetap lembut, doa menjaga jiwa agar tetap teguh. Ketika keduanya menyatu, rumah tangga itu berubah menjadi surga kecil di bumi.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement