Khazanah
Beranda » Berita » Keseimbangan Jiwa dalam Islam dan Psikologi Modern

Keseimbangan Jiwa dalam Islam dan Psikologi Modern

Ilustrasi konflik batin pada manusia.
Ilustrasi konflik batin pada manusia.

SURAU.CO-Pada jiwa manusia terdapat insting-insting yang terkadang melebihi batas (ifrath). Manusia harus berusaha untuk menyeimbangkan insting-insting tersebut dengan realitas dan norma yang ada. Aktor dalam penyeimbangan ini yaitu akal dan qalbu (hati).

Apabila manusia mengikuti kekuatan akal dan qalbunya, maka kedudukannya akan lebih mulia ketimbang malaikat, sebab ia mampu mengikuti akal dan hatinya walaupun memiliki syahwat (nafsu) dan amarah. Sebaliknya, apabila manusia mengikuti kekuatan amarahnya, maka kedudukannya akan lebih rendah daripada binatang, sebab ia mengikuti syahwatnya padahal dia memiliki akal dan hati.

Insting kebinatangan

Insting yang bersifat kebinatangan inilah yang mendorong manusia untuk berbuat dosa. Para ahli akhlak menyatakan sumber dosa-dosa berasal dari tiga kekuatan, yaitu:Pertama,  kekuatan syahwatiyah (hawa nafsu): kekuatan ini menyeret manusia kepada sikap berlebihan dalam kenikmatan-kenikmatan diri, sehingga akhirnya terjerumus dalam kubangan perbuatan keji dan keburukan.

Kedua,kekuatan ghadabiyah (amarah): kekuatan ini memaksa manusia berbuat aniaya, zalim, menindas, dan bertindak melampaui batas. Dan terakhir. kekuatan wahmiyah (rasa/imajinasi): kekuatan ini menghidupkan dalam diri manusia sifat ingin unggul sendiri, mengejar popularitas, congkak, dan egois.

Ketiga kekuatan tersebut memang merupakan sesuatu yang sudah ada dalam diri manusia. Akan tetapi, bila ketiga kekuatan ini tidak dikendalikan dan tidak diseimbangkan, ketiganya akan mengarah pada kelebihan (ifrath) atau kekurangan (tafrith), sehingga akhirnya mengundang munculnya bermacam dosa, termasuk dosa besar.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Perspektif psikoanalisa Freud

Jika dianalogikan, ketiga kekuatan ini dapat dikatakan sebagai id dalam Psikoanalisa. Psikoanalisa berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang terkuasai oleh unconsciousness (ketidaksadaran) dalam diri manusia.

Menurut Sigmund Freud, struktur jiwa manusia terdiri dari tiga sistem dasar, yaitu: Id (Aspek Biologis), aspek ini merupakan aspek biologis dan sistem orisinal  dalam kepribadian. Dari aspek inilah aspek yang lain tumbuh. Energi psikis dalam id itu dapat meningkat sehingga akan timbul tegangan. Hal ini akan menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan) yang oleh id tidak dapat dibiarkan. Id memaksa agar tegangan ini hilang karena tegangan ini merupakan rasa yang tidak enak dalam diri.

Menghilangkan tegangan

Untuk menghilangkan tegangan itu dapat berupa banyak cara, bisa saja sesuai dengan norma yang ada atau tidak sesuai dengan norma. Penghilangan rasa yang tidak sesuai dengan norma, terutama norma agama, akan berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Dampak buruk bagi diri, misalnya mendapapat hukuman tertentu oleh hukum dunia dan termasuk berdosa jika berdasarkan hukum agama.

Salah satu akibat dari id yaitu perbuatan melawan orang tua. Keinginan untuk tidak dikekang oleh orang tua mengakibatkan timbulnya hasrat untuk agresi terhadap orang tua. Kekangan ini merupakan suatu hal yang tidak mengenakkan bagi seorang anak, sehingga dia ingin bebas dan merasakan kesenangan. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa id menggunakan “prinsip kesenangan” (Pleasure Principle).

Aspek ego

Ego (Aspek Psikologis), aspek ini timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia nyata (realita). Perbedaan antara id dengan ego yaitu id hanya mengenal dunia subjek (dunia batin) sedangkan ego dapat membedakan apa yang ada dalam diri dan di luar diri (dunia realita), karena dia merupakan aplikasi dari id itu sendiri (aspek eksekutif kepribadian).

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam fungsinya, ego berpegang pada “prinsip kenyataan” (Reality Principle). Prinsip realita ialah mencari objek yang tepat untuk mengurangi (mereduksi) tegangan yang timbul tadi dalam organisme. Ego inilah yang merupakan bentuk dari perilaku berdosa itu, misalnya bentuk perbuatan syirik dengan menyembah berhala, melawan kepada orang tua dengan mengatakan “Ah,” ataupun melarikan diri dari suatu perang.

Aspek super-ego

Super-ego (Aspek Sosiologis): Aspek ini merupakan aspek sosiologi kepribadian yang mewakili nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana penafsiran orang tua kepada anak-anaknya, yang terwujud dengan berbagai perintah dan larangan.

Fungsi super-ego yang pokok adalah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak. Dengan demikian, pribadi dapat bertindak sesuai norma masyarakat. Prinsip ini merupakan larangan-larangan yang timbul dari dunia luar si subjek, misalnya larangan-larangan untuk berbuat dosa, terutama dosa besar.

Perspektif behavioris

Berbeda dengan psikoanalisa, Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk biologis yang terkondisi oleh lingkungannya. Bagi behaviorisme, jiwa manusia bermula dari sesuatu yang kosong atau netral dan terisi sedikit demi sedikit oleh pengalaman. Jiwa manusia hanya memiliki kemampuan memberikan respons. Sehingga jiwa manusia laksana benda mati yang tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah laku, melainkan sangat tergantung pada keadaan lingkungannya.

Contohnya, seorang anak mendapat ajakan daritemannya untuk pergi pesta pada malam minggu. Si anak menyetujuinya, namun dia harus meminta izin terlebih dahulu pada orang tuanya. Orang tua itu melarang anaknya untuk pergi. Si anak merespons dengan perkataan yang menyakitkan hati orang tuanya. Perbuatan ini sudah termasuk dosa besar karena ia sudah melukai hati orang tuanya. Dari kasus tersebut, ajakan temannya dan larangan orang tuanya adalah stimulus yang mendapat respon dari si anak.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Perspektif psikologi humanistik

Psikologi humanistik memandang jiwa manusia memiliki karakteristik khas. Jiwa memiliki pikiran, perasaan, kemauan, kebebasan, nilai-nilai, dan lain-lain yang berperan dalam melahirkan tingkah laku. Aliran ini menyatakan bahwa jiwa manusia itu pada dasarnya baik. Aliran ini dipelopori oleh Abraham Maslow, yang mencetuskan teori hirarki kebutuhan, yang meningkat dari kebutuhan biologis dasar ke motivasi psikologis yang lebih kompleks.

Adapun hirarki kebutuhan menurut Maslow, antara lain: Kebutuhan fisiologis, misalnya rasa lapar, haus, dan sebagainya. Lalu kebutuhan rasa aman, misalnya bebas dari bahaya. Lalu kebutuhan dimiliki dan dicintai, harga diri, kognitif, estetik, dan kebutuhan aktualisasi diri, misalnya  menemukan pemenuhan diri dan menyadari potensi diri.

Apabila dicontohkan dengan perbuatan dosa, misalnya seorang anak yang melawan orang tuanya karena dia merasa tidak mendapat perhatian, serta penyaluran kasih sayang orang tua yang terhambat. Perasaan ini timbul karena salah satu dari kebutuhannya tidak terpenuhi, misalnya kebutuhan dimiliki atau dicintai (merasa tidak disayangi) dan kebutuhan harga diri (merasa tidak terperhatikan).(St.Diyar)

Referensi : Muhammad Harfin Zuhdi, Hadis-Hadis Psikologi, 2019.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement