Kisah
Beranda » Berita » Ya Lal Wathon: Nyanyian Iman dari KH. Wahab Chasbullah

Ya Lal Wathon: Nyanyian Iman dari KH. Wahab Chasbullah

SURAU.CO. Di tengah khazanah keulamaan Nusantara, nama KH Abdul Wahab Chasbullah bersinar terang. Beliau adalah sosok yang utuh, hidup tak hanya di dunia pesantren. Kiai Wahab juga berjuang di medan kebangsaan dan kebudayaan. Suaranya bergema melalui syair “Ya Lal Wathon”, lagu yang membara di dada kaum santri dan bangsa Indonesia. Lagu ini bukan sekadar mars perjuangan. Ia adalah manifestasi keyakinan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman.

Latar Belakang Hidup KH. Wahab Chasbullah

Kiai Wahab lahir pada 31 Maret 1888 di Jombang, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga pesantren. Ayahnya, KH Hasbullah Said, mengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Lingkungan pesantren menanamkan nilai ilmu dan pengabdian sejak dini. Sejak muda, Kiai Wahab menempuh perjalanan panjang. Beliau menuntut ilmu di berbagai pesantren di Jawa. Kiai Wahab lalu melanjutkan pengembaraan ke Tanah Suci Mekkah. Di sana, beliau menyerap semangat keilmuan para ulama. Kiai Wahab juga menyadari pentingnya memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Sekembalinya ke tanah air, Kiai Wahab tidak berdiam diri. Beliau mendirikan berbagai wadah perjuangan. Diantaranya adalah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Ada pula Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran). Kiai Wahab juga menjadi penggerak lahirnya Gerakan Pemuda Ansor. Melalui wadah-wadah tersebut, beliau menanamkan gagasan besar dan sangat meyakini bahwa agama harus berperan aktif dalam membangun bangsa. Kiai Wahab wafat pada 29 Desember 1971. Namun, gagasan dan jejak perjuangannya tetap hidup hingga kini.

“Ya Lal Wathon”: Lagu, Doa, dan Seruan Jiwa

Sekitar tahun 1916, di tengah bayang-bayang penjajahan, Kiai Wahab menggubah lagu “Ya Lal Wathon”. Lagu ini berarti “Wahai Tanah Airku.” Liriknya sarat semangat dan cinta tanah air. Lagu ini melahirkan slogan abadi: “Hubbul Wathon Minal Iman”. Maknanya: cinta tanah air adalah bagian dari iman. Lagu ini menggugah santri untuk mencintai bangsanya. Bukan karena dorongan politik, tetapi karena iman yang murni.

Nada dan syairnya menyatu dalam semangat perjuangan. Setiap kali lagu itu dikumandangkan, semangat nasionalisme santri bangkit. Namun, mereka tidak kehilangan nuansa spiritualitasnya. Kiai Wahab mengajarkan bahwa cinta kepada tanah air bukanlah tandingan cinta kepada Tuhan. Ini adalah bentuk pengabdian yang konkret kepada-Nya bukan malah menolak dikotomi palsu antara nasionalisme dan religiusitas.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Refleksi atas Pemikiran dan Warisan Kiai

Pertama, Kiai Wahab mengajarkan integrasi antara agama dan bangsa. Menjadi orang beriman berarti juga menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Nasionalisme yang ia bangun bukan sekadar politik. Nasionalisme ini bersifat spiritual. Menjaga tanah air sama dengan menjaga amanah Allah Swt.

Kedua, Kiai Wahab mencontohkan bagaimana pesantren mampu menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Beliau tidak hanya mengajar kitab kuning. Kiai Wahab juga menumbuhkan kesadaran sosial. Beliau menggerakkan pemuda dan membuka ruang dialog melalui Tashwirul Afkar. Pesantrennya menjadi ruang pembentukan karakter bangsa. Pesantrennya mengajarkan berpikir terbuka namun berakar kuat pada nilai Islam.

Ketiga, Kiai Wahab memanfaatkan seni dan budaya sebagai medium dakwah. Melalui lagu, beliau mengubah pesan agama menjadi irama perjuangan. Irama ini menyentuh hati. “Ya Lal Wathon” tidak hanya menggetarkan bibir para santri. Lagu ini juga menyatukan umat dalam satu semangat kebangsaan. Lagu ini menjadi simbol bahwa seni bisa menjadi jembatan antara iman dan kemanusiaan.

Keempat, Kiai Wahab menampilkan kepemimpinan yang hadir di tengah rakyat. Beliau tidak berjarak dengan santri dan masyarakat kecil. Beliau turun langsung, menyapa, dan menggerakkan. Keteladanan seperti ini sangat penting bagi para pemimpin masa kini. Kepemimpinan sejati bukan hanya duduk di balik meja. Kepemimpinan sejati adalah hadir di tengah kehidupan umat.

Pesan untuk Generasi Kini

Ketika generasi muda menyanyikan “Ya Lal Wathon”, mereka menyambung doa panjang para pendiri bangsa. Lagu itu bukan hanya irama perjuangan masa lalu. Lagu ini adalah panggilan agar kita menjaga negeri. Kita menjaga negeri dengan akhlak, ilmu, dan iman.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Tradisi pesantren telah membuktikan diri sebagai benteng moral dan intelektual bangsa. Kini, generasi muda perlu meneruskan semangat itu dan melakukannya melalui inovasi, kreativitas, dan keterbukaan. Generasi muda juga tidak boleh meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan para kiai. Dalam dunia yang sering memisahkan agama dan kebangsaan, Kiai Wahab mengajarkan harmoni. Keduanya bisa berjalan seiring, saling menguatkan, dan menumbuhkan kebaikan.

Warisan Abadi Kiai Wahab

KH Abdul Wahab Chasbullah adalah sosok yang melampaui zamannya. Beliau memadukan ketajaman pikir, kedalaman spiritual, dan kecintaan kepada tanah air. Semuanya hadir dalam satu napas perjuangan. Melalui “Ya Lal Wathon”, beliau menanamkan pesan bahwa iman tidak berhenti di sajadah. Iman menjelma menjadi tindakan membela tanah air.

Warisan Kiai Wahab bukan hanya lagu. Warisan Kiai Wahab adalah spirit yang terus menyalakan cahaya. Cinta tanah air lahir dari cinta kepada Allah Swt. Dalam setiap baitnya, beliau mengajarkan kepada kita semua, “Hubbul wathan minal iman.”(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement