Khazanah
Beranda » Berita » Shalat: Bukan Sekadar Gerak Tubuh, Tapi Dialog dengan Cinta

Shalat: Bukan Sekadar Gerak Tubuh, Tapi Dialog dengan Cinta

Lelaki shalat di bawah cahaya pagi melambangkan cinta dan ketenangan jiwa.
Gambar menggambarkan keheningan batin dalam shalat, saat jiwa berdialog dengan Sang Pencipta.

Surau.co. Shalat dan cinta adalah dua hal yang sering kita pisahkan. Shalat dianggap kewajiban, sedangkan cinta dianggap perasaan. Padahal, bila dibaca dengan hati, shalat adalah perjumpaan penuh cinta antara hamba dan Tuhannya. Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menempatkan bab shalat tidak hanya sebagai tata cara ibadah, tapi juga ruang batin di mana manusia belajar menghadirkan kesadaran ilahiah di setiap gerakannya.

Shalat dan Ketenangan Hati di Tengah Kegelisahan Zaman

Hidup modern sering membuat kita terburu-buru. Azan terdengar, tapi notifikasi ponsel juga berbunyi. Kita sering menunda, kadang malah lupa. Dalam suasana seperti itu, Ibn Hajar melalui Bulūgh al-Marām seakan ingin mengingatkan: shalat bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi cara Tuhan menenangkan jiwa yang gaduh.

Rasulullah ﷺ bersabda:

جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
(HR. An-Nasā’ī, dalam Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣalāh)

“Telah dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Kalimat pendek ini sederhana, tapi mendalam. Nabi tidak berkata “shalat itu kewajibanku,” melainkan “penyejuk mataku.” Ia menemukan keindahan, bukan beban. Ia menemukan damai, bukan sekadar rutinitas.
Di sini kita belajar: shalat adalah pelukan batin antara manusia dan Tuhannya.

Makna Gerak Tubuh dan Keheningan Jiwa

Dalam Bulūgh al-Marām, Ibn Hajar mengutip banyak hadis yang menuntun agar shalat tidak berhenti pada gerakan. Misalnya hadis yang terkenal:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ مِنْ صَلَاتِهِ، وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُهَا أَوْ تُسْعُهَا أَوْ ثُمُنُهَا…
(HR. Abu Dawud, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣalāh)

“Sungguh, seseorang selesai shalat, namun tidak tertulis baginya kecuali sepersepuluh, sepersembilan, atau seperdelapannya saja.”

Hadis ini seperti cermin. Kita shalat lima kali sehari, tapi berapa kali hati kita benar-benar hadir? Kadang tubuh rukuk, tapi pikiran masih di kantor; sujud, tapi hati masih menghitung utang.
Padahal, kehadiran dalam shalat bukan soal fisik, tapi hudhur al-qalb — hadirnya hati. Gerakan tubuh hanyalah wadah; ruhnya ada pada kesadaran cinta kepada Allah.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Shalat yang benar tidak membuat kita sombong karena telah beribadah, tapi lembut karena telah berjumpa.

Shalat Sebagai Dialog, Bukan Monolog

Sering kali kita memandang shalat sebagai “laporan” kepada Tuhan. Kita membaca bacaan, lalu selesai. Tapi dalam hadis lain yang dikutip Ibn Hajar, Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ، فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
(HR. Al-Bukhārī, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣalāh)

“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian, ketika berdiri dalam shalatnya, ia sedang bermunajat kepada Tuhannya.”

“Mengadu,” kata Nabi — bukan “membaca.” Artinya, shalat adalah percakapan. Saat kita mengucap Allāhu Akbar, itu bukan sekadar takbir, melainkan tanda bahwa segala beban dunia kini kita letakkan di belakang.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Shalat menjadi ruang sunyi tempat hati berbicara. Ketika sujud, kita paling dekat dengan Allah. Tidak ada posisi tubuh yang lebih rendah dari sujud, dan tidak ada kedekatan yang lebih tinggi daripada tunduk sepenuhnya.

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ
(HR. Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣalāh)

“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika ia sedang sujud.”

Hadis ini bukan teori. Ia ajakan untuk menjadikan setiap sujud sebagai ruang curhat rohani.
Maka, jika hati sedang resah, sujudlah lebih lama. Kadang masalah dunia tidak butuh solusi logika, tapi butuh sujud yang lebih khusyuk.

Menemukan Cinta di Tengah Sajdah

Bagi orang beriman, cinta kepada Tuhan tidak diukur dari kata, tapi dari waktu yang rela diberikan. Shalat lima waktu adalah tanda kasih sayang Allah — bukan hukuman, tapi panggilan.
Ibn Hajar menulis dengan nada lembut bahwa ibadah ini seharusnya memuliakan manusia, bukan membebaninya. Dalam konteks ini, shalat bukan “beban syariat,” melainkan hadiah ketenangan.

Fenomena sehari-hari menunjukkan, banyak orang merasa jauh dari Tuhan padahal shalat setiap hari. Mungkin bukan karena Tuhan jauh, tapi karena kita hadir tanpa hati. Seperti seseorang yang berbicara sambil menatap layar, bukan wajah lawan bicaranya.

Shalat adalah cara Tuhan mengembalikan fokus kita. Lima kali sehari, kita diajak berhenti dari hiruk-pikuk, lalu menatap ke arah yang sama — ke arah-Nya.

Refleksi: Shalat dan Cinta yang Menyelamatkan

Dalam Bulūgh al-Marām, hadis-hadis tentang shalat tidak berhenti pada teknis gerakan, tapi membuka cakrawala batin. Ibn Hajar seakan berpesan: “Shalatlah bukan karena takut neraka, tapi karena rindu kepada-Nya.”

Jika air membersihkan tubuh, maka shalat membersihkan hati.
Jika air wudhu menyegarkan wajah, maka sujud menyegarkan jiwa.
Dan jika cinta adalah bahasa Tuhan, maka shalat adalah jawabannya.

Di zaman yang serba cepat ini, shalat adalah ruang untuk melambat — bukan untuk tertinggal, tapi untuk kembali menemukan arah. Karena di setiap rukuk dan sujud, ada bisikan lembut:

“Aku di sini, menunggumu dengan cinta.”

 

 

* Sugianto al-jawi
Budayawqan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement