Khazanah
Beranda » Berita » Air, Wudhu, dan Kesucian Hati: Belajar Bersuci dari Bulūgh al-Marām

Air, Wudhu, dan Kesucian Hati: Belajar Bersuci dari Bulūgh al-Marām

Laki-laki berwudhu di tepi sungai melambangkan kesucian hati dan tubuh.
Ilustrasi ini menggambarkan harmoni antara kebersihan fisik dan kejernihan batin.

Surau.co. Wudhu dan kesucian hati – Air selalu punya bahasa yang lembut. Ia menenangkan, menyegarkan, dan diam-diam menyembuhkan. Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, karya agung Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, air tidak hanya bicara soal bersuci lahiriah, tetapi juga menyentuh dimensi batin manusia. Bersuci bukan sekadar membasuh tubuh, tapi juga cara mengembalikan kejernihan hati—seperti air yang menenangkan debu dunia.

Makna Bersuci dalam Kehidupan Sehari-hari

Kita sering kali wudhu dengan tergesa, seolah hanya formalitas sebelum shalat. Padahal, dalam lembar-lembar Bulūgh al-Marām, Ibn Hajar mengingatkan bahwa setiap basuhan punya makna. Air yang menyentuh wajah bukan sekadar membuang kotoran, tapi menghapus kesombongan yang melekat di pandangan. Wudhu adalah kesucian hati.

Setiap tetes yang mengalir di tangan adalah simbol melepaskan dosa dari perbuatan. Dan ketika membasuh kaki, kita seakan sedang menyiapkan langkah menuju ridha Allah.

Nabi ﷺ bersabda dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hajar dalam Kitab al-Ṭahārah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: “إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ”.
(HR. Muslim, dalam Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ṭahārah)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

“Apabila seorang hamba berwudhu, lalu membasuh wajahnya, maka keluar dari wajahnya setiap dosa yang pernah ia pandang dengan matanya, bersama tetesan air.”

Betapa halus ajaran ini. Wudhu menjadi terapi rohani. Ia menenangkan luka batin yang kita dapat dari pandangan, perkataan, dan langkah yang keliru.

Air Sebagai Simbol Kehidupan dan Rahmat

Ibn Hajar mengutip banyak hadis tentang air, bukan hanya dalam konteks hukum, tapi juga maknanya yang lebih dalam. Air disebut sebagai sumber kehidupan, bahkan dalam Al-Qur’an:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
(QS. Al-Anbiyā’: 30)

“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Dalam kehidupan modern, orang sering sibuk mencari “air” lain untuk menyegarkan jiwanya—entah dari popularitas, kekayaan, atau perhatian. Padahal, air sejati itu sederhana: ia mengalir, membersihkan, dan tidak menuntut balasan. Bersuci dengan air, dalam pandangan Ibn Hajar, adalah latihan agar hati kembali bening seperti sumbernya.

Kesucian Hati: Inti dari Bersuci

Dalam salah satu hadis yang dicantumkan Ibn Hajar, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.
(HR. Muslim, Bulūgh al-Marām, Bāb al-Ikhlāṣ)

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan jasad kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”

Kata “bersuci” di sini mendapatkan makna baru: bukan hanya membasuh tubuh, tapi juga memutihkan hati. Karena tak ada gunanya tangan bersih kalau niatnya masih kotor.
Dalam wudhu, ada pesan lembut dari Rasulullah ﷺ—bahwa kebersihan lahiriah hanyalah jembatan menuju kesucian batin.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Bahkan dalam riwayat lain yang dicantumkan Ibn Hajar disebutkan:

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
(HR. Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ṭahārah)

“Kebersihan adalah sebagian dari iman.”

Kesucian di sini bukan sekadar ritual, melainkan keadaan spiritual. Ketika seseorang rajin bersuci, sesungguhnya ia sedang mendidik hatinya untuk selalu waspada dari kekotoran yang lebih halus: iri, sombong, dan dengki.

Dari Air Menuju Cahaya

Salah satu keindahan Bulūgh al-Marām adalah cara Ibn Hajar menulis dengan hati seorang alim sekaligus penyair. Dalam setiap babnya, hukum tak terasa kering, karena di balik teks hukum, selalu ada nilai rohani.
Misalnya, hadis berikut tentang wudhu yang sempurna:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ، حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ.
(HR. Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ṭahārah)

“Barang siapa berwudhu dengan sempurna, maka dosa-dosanya keluar dari tubuhnya, hingga keluar dari bawah kukunya.”

Ada keindahan tersembunyi dalam hadis ini: ketika air menyentuh kulit, dosa-dosa kecil luruh bersama debu dunia. Tidak ada terapi spiritual yang lebih lembut dari wudhu—karena ia bukan sekadar membersihkan, tapi menyadarkan.

Mungkin inilah mengapa Rasulullah ﷺ berpesan agar kita menjaga wudhu setiap waktu, bahkan ketika tidak hendak shalat. Karena orang yang selalu dalam keadaan suci, hatinya lebih mudah dijaga dari kelalaian.

Refleksi: Bersuci, Menjadi Jernih Seperti Air

Kalau kita mau jujur, banyak dari kita hidup dengan wajah segar tapi hati keruh. Padahal air telah mengajarkan: ia jernih justru karena mau mengalir, bukan karena diam.
Demikian juga hati—ia suci kalau terus bergerak mencari ridha Allah, bukan kalau membeku dalam ego.

Maka, belajar dari Bulūgh al-Marām, bersuci adalah latihan menjadi manusia bening: jujur pada diri, lembut pada sesama, dan tenang pada Tuhan.
Sebab air tidak pernah sombong, tapi dari tangannya kehidupan tumbuh.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement