Fiqih
Beranda » Berita » Sebelum Nama Tinggal di Batu Nisan: Wasiat dan Hibah dalam Syariat Islam

Sebelum Nama Tinggal di Batu Nisan: Wasiat dan Hibah dalam Syariat Islam

Wasiat (Ilustrasi)
Wasiat (Ilustrasi)

SURAU.CO-Sebelum nama tinggal di batu nisan, setiap muslim harus memahami wasiat dan hibah dalam syariat Islam. Banyak orang mengabaikan keduanya hingga meninggal, padahal wasiat dan hibah dalam syariat Islam membantu menata harta sekaligus menjaga hubungan keluarga. Dengan menyiapkan wasiat dan hibah, seseorang menyalurkan harta dengan adil, menenangkan hati, dan meninggalkan jejak amal yang berkelanjutan.

Banyak keluarga yang pernah menghadapi perselisihan karena harta tidak diatur dengan jelas. Mereka yang menyiapkan hibah atau wasiat dengan niat tulus merasakan ketenangan batin. Islam menekankan bahwa pengaturan harta bukan sekadar materi, tetapi amanah yang harus diselesaikan dengan penuh tanggung jawab.

Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan setiap muslim untuk menulis wasiat jika memiliki harta. Wasiat tidak hanya menjaga hak ahli waris, tetapi juga menanamkan kesadaran akan kefanaan dan tanggung jawab spiritual. Mereka yang mempraktikkan wasiat dan hibah dengan benar cenderung meninggalkan keluarga dalam keadaan harmonis dan tertib.

Menata Harta dengan Wasiat dan Hibah: Hikmah dan Praktik

Umat Islam menata harta melalui wasiat dan hibah untuk menjaga amanah dan mendatangkan pahala. Wasiat berlaku setelah meninggal, sementara hibah diberikan semasa hidup. Al-Qur’an menegaskan kewajiban menulis wasiat agar harta tidak menimbulkan sengketa (QS. Al-Baqarah: 180).

Para ulama menekankan hibah sebagai sarana berbagi manfaat sebelum ajal datang. Dengan hibah, harta berpindah secara langsung kepada penerima, sedangkan wasiat memastikan pembagian setelah wafat sesuai syariat. Banyak pengalaman nyata menunjukkan bahwa orang tua yang memberi hibah merasakan kepuasan karena melihat harta mereka bermanfaat bagi banyak pihak.

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Selain itu, menulis wasiat memungkinkan seseorang menyampaikan pesan moral dan etika. Sebagai contoh, orang tua bisa menekankan agar anak-anak menjaga silaturahmi, melanjutkan kegiatan sosial, atau menyalurkan zakat. Hibah modern juga dapat berupa aset digital, hak cipta karya, atau dana pendidikan. Selama niatnya baik dan dilakukan sesuai syariat, semua bentuk hibah tetap sah.

Mengatur wasiat dan hibah juga melatih perencanaan hidup yang bijak. Seseorang belajar memprioritaskan kebaikan, membagi harta secara adil, dan menyadari kefanaan dunia. Dengan demikian, harta menjadi sarana amal dan tanggung jawab, bukan sumber konflik.

Sebelum Terlambat: Langkah Praktis Menyiapkan Wasiat dan Hibah

Muslim yang sadar akan kefanaan menata wasiat dan hibah sebelum wafat secara tertulis dan jelas. Mereka membagi harta maksimal sepertiga untuk wasiat dan memberi hibah semasa hidup sesuai kemampuan. Banyak keluarga yang berhasil menghindari konflik karena pemilik harta menegaskan pembagian dengan dokumentasi sah dan saksi.

Selain materi, wasiat dapat mencakup pesan spiritual dan moral. Contohnya, seorang ayah menekankan agar anak-anaknya melanjutkan kegiatan sosial yang pernah ia rintis. Hibah yang diberikan semasa hidup memungkinkan penerima merasakan manfaatnya segera, menumbuhkan kebahagiaan bagi pemberi dan penerima.

Praktik wasiat dan hibah yang tepat menunjukkan tanggung jawab spiritual dan sosial. Harta tidak hanya berpindah tangan, tetapi menjadi sarana amal dan pahala. Orang yang menyiapkan semuanya sebelum meninggal meninggalkan keluarga dalam kondisi harmonis, dan meninggal dengan hati tenang.

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

Dengan menata wasiat dan hibah sebelum wafat, seorang muslim memastikan jejaknya abadi dalam bentuk amal jariyah dan amanah. Sebelum nama tinggal di batu nisan, ia menutup hidup dengan ketenangan, adil pada keluarga, dan pahala yang terus mengalir.

Sebelum nama tinggal di batu nisan, setiap muslim sebaiknya menata wasiat dan hibah dalam syariat Islam. Dengan menyiapkan keduanya, seseorang membagi harta secara adil, menyalurkan manfaat, dan menenangkan hati keluarga. Praktik ini juga menumbuhkan kesadaran spiritual agar harta dan amal menjadi pahala abadi, bukan sumber konflik atau penyesalan. (Hendri Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement