Surau.co. Di tengah dunia kerja modern yang sering menilai manusia dari jabatan, prestasi, dan pengakuan, kerendahan hati atau humility sering kali dianggap kelemahan. Banyak orang berlomba tampil paling menonjol, paling berpengaruh, dan paling cepat naik jabatan. Padahal, dalam pandangan Islam, kerendahan hati bukan tanda lemah, tetapi ciri dari kekuatan moral dan kedewasaan spiritual.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Tidaklah sedekah mengurangi harta, tidaklah Allah menambah kepada seseorang karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengandung prinsip yang luar biasa: kerendahan hati tidak akan menjatuhkan martabat seseorang, melainkan justru mengangkatnya. Dunia kerja yang sehat seharusnya tumbuh di atas fondasi ini — bahwa profesionalisme sejati bukan diukur dari seberapa tinggi kita berdiri, melainkan seberapa rendah hati kita saat berada di puncak.
Kerendahan Hati Sebagai Etika Profesional
Kerendahan hati adalah inti dari etika profesional dalam Islam. Dalam setiap hubungan kerja — antara atasan dan bawahan, rekan sejawat, maupun klien — sikap rendah hati menumbuhkan rasa saling menghargai dan empati.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan dapat menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’ [17]: 37)
Ayat ini menegur dengan lembut, bahwa kesombongan hanyalah ilusi. Dalam dunia kerja, banyak orang kehilangan rasa hormat karena lupa bahwa posisi dan pangkat hanyalah amanah sementara. Seorang pemimpin sejati bukan yang menundukkan bawahan dengan kekuasaan, tetapi yang menundukkan hatinya agar bisa mendengar dengan bijak.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menjelaskan:
التَّوَاضُعُ خُلُقٌ عَظِيمٌ يُورِثُ الْمَحَبَّةَ وَيَدْفَعُ الْكِبْرَ
“Kerendahan hati adalah akhlak mulia yang menumbuhkan kasih sayang dan menghapus kesombongan.”
Dengan kata lain, di tempat kerja, rendah hati bukan sekadar sikap sosial, tetapi fondasi etika yang menjaga keharmonisan profesional.
Rasulullah Sebagai Teladan Profesional yang Rendah Hati
Rasulullah ﷺ tidak hanya menjadi teladan dalam ibadah, tetapi juga dalam kepemimpinan dan etika kerja. Beliau dikenal sangat menghargai siapa pun yang bekerja bersamanya, tanpa membeda-bedakan status sosial.
Ketika beliau memimpin pasukan, beliau ikut mengangkat batu. Saat di rumah, beliau menambal sandalnya sendiri dan membantu pekerjaan rumah tangga. Aisyah r.a. pernah berkata:
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Rasulullah biasa membantu pekerjaan keluarganya. Namun, jika waktu salat tiba, beliau segera keluar untuk salat.” (HR. Bukhari)
Sikap ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah merasa lebih tinggi dari siapa pun, bahkan dalam ruang domestik sekalipun. Di tempat kerja modern, semangat ini bisa diterjemahkan sebagai servant leadership — memimpin dengan melayani, bukan memerintah dengan keangkuhan.
Kerendahan hati Rasulullah membuat orang-orang di sekitarnya mencintai dan menghormatinya tanpa paksaan. Inilah esensi etika profesional dalam Islam: bahwa kepemimpinan bukan soal kekuasaan, melainkan soal kepercayaan dan kasih sayang.
Humility dan Kolaborasi: Menjadi Profesional yang Menyatu dengan Tim
Kerendahan hati menumbuhkan kolaborasi. Di dunia kerja, orang yang rendah hati akan lebih mudah menerima kritik, berbagi ide, dan mendukung keberhasilan orang lain. Mereka tidak terancam oleh kesuksesan rekan kerjanya, karena sadar bahwa prestasi tim lebih penting daripada ego pribadi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kerja sama sejati hanya tumbuh dari kerendahan hati. Tidak mungkin seseorang menjadi rekan yang baik jika ia selalu ingin diakui paling benar.
Dalam organisasi modern, budaya kolaborasi yang dilandasi humility akan menciptakan lingkungan yang inovatif dan damai. Orang yang rendah hati tidak memandang jabatan sebagai alat dominasi, tapi sebagai kesempatan memberi manfaat.
Menghindari Kesombongan Profesional
Kesombongan profesional adalah penyakit halus yang bisa menjangkiti siapa pun. Kadang muncul dari keberhasilan, pendidikan tinggi, atau pujian orang lain. Ia membuat seseorang sulit menerima masukan, cepat tersinggung, dan merasa paling tahu.
Padahal, Rasulullah ﷺ memperingatkan:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji zarrah dari kesombongan.” (HR. Muslim)
Dalam konteks dunia kerja, kesombongan bisa menjelma dalam bentuk halus: menolak kritik bawahan, enggan belajar dari orang yang lebih muda, atau merasa cukup dengan pengalaman lama.
Imam Nawawi menafsirkan hadis ini dalam Syarh Muslim:
الْكِبْرُ هُوَ رَدُّ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Maka, profesional sejati adalah mereka yang berani menerima kebenaran meski datang dari posisi yang lebih rendah. Dunia kerja tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang yang cukup rendah hati untuk terus belajar.
Kerendahan Hati dan Kepemimpinan
Seorang pemimpin yang rendah hati akan lebih mudah dipercaya. Ia tidak menakut-nakuti, tapi menenangkan. Ia tidak menuntut dihormati, tapi justru menginspirasi. Rasulullah ﷺ memimpin dengan empati, bukan dengan otoritas.
Dalam sejarah, beliau selalu mendengarkan pendapat sahabatnya. Saat merencanakan strategi perang Uhud, beliau menerima saran dari kaum muda meski berbeda dengan pendapat pribadi beliau. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam menuntut keberanian untuk menundukkan ego.
Kerendahan hati membuat pemimpin tidak kehilangan arah. Ia tidak buta oleh pujian, dan tidak mudah goyah oleh kritik. Dalam dunia korporasi yang keras, sikap ini menjadi penyejuk. Pemimpin yang rendah hati menumbuhkan loyalitas, bukan karena jabatan, tapi karena ketulusan.
Menanamkan Humility dalam Budaya Kerja
Bagaimana menumbuhkan humility di dunia kerja yang kompetitif? Pertama, dengan menyadari bahwa setiap pekerjaan adalah amanah, bukan alat kebanggaan. Kedua, dengan menanamkan kesadaran bahwa setiap keberhasilan adalah hasil kerja bersama, bukan semata usaha pribadi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menuntun profesional Muslim untuk mengukur prestasi bukan dari penghargaan pribadi, melainkan dari manfaat yang ia berikan bagi orang lain. Dalam konteks kerja, ini berarti bekerja dengan hati, menolong rekan, dan tidak meninggikan diri di atas keberhasilan tim.
Kerendahan hati juga perlu ditanamkan dalam sistem manajemen. Perusahaan yang menghargai masukan dari semua level akan tumbuh lebih sehat daripada yang hanya mendengarkan suara atasan. Budaya rendah hati menciptakan rasa memiliki bersama, yang menjadi bahan bakar loyalitas jangka panjang.
Penutup: Kerendahan Hati, Jalan Menuju Kemuliaan
Humility di dunia kerja bukan sekadar etika, tapi jalan spiritual. Ia menuntun kita untuk bekerja bukan demi gengsi, tapi demi makna. Dunia kerja sering kali membuat kita sibuk mengejar posisi, namun lupa mengejar ridha Allah.
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa kemuliaan sejati tidak datang dari pangkat, tapi dari kesederhanaan hati. Ketika seseorang bisa tetap rendah hati di tengah kesuksesan, ia sedang berada di puncak kemuliaan sejati.
Maka, jadilah profesional yang tidak kehilangan kemanusiaan. Jadilah pemimpin yang menunduk bukan karena kalah, tapi karena sadar bahwa setiap manusia adalah sama di hadapan Tuhan.
Kerendahan hati bukanlah jalan memutar menuju keberhasilan. Ia adalah jalan lurus menuju keindahan hidup — di dunia kerja, dan di hadapan Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
