Khazanah
Beranda » Berita » Bertamu Ala Nabi: Dari Sopan Santun Sampai Timing yang Tepat Menurut Kitab Riyadhus Shalihin

Bertamu Ala Nabi: Dari Sopan Santun Sampai Timing yang Tepat Menurut Kitab Riyadhus Shalihin

Laki-laki Muslim mengetuk pintu rumah dengan sopan dalam cahaya sore hangat
seorang Muslim berdiri di depan rumah dengan tangan mengetuk pintu lembut, wajahnya ramah dan penuh hormat. Dari balik pintu tampak cahaya hangat keemasan menyinari suasana sore yang damai — simbol adab, kerendahan hati, dan kehangatan silaturahmi

Surau.co. Di tengah kehidupan modern yang serbacepat, adab bertamu sering kali berubah menjadi formalitas sosial tanpa makna. Kita datang ke rumah teman tanpa kabar, mengetuk pintu dengan tergesa, bahkan terkadang merasa tersinggung bila tak segera disambut. Padahal, dalam Islam, bertamu bukan sekadar kunjungan, melainkan perwujudan akhlak mulia dan etika sosial yang berakar pada kasih sayang.

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menempatkan bab “Adab Bertamu dan Meminta Izin” di antara pembahasan akhlak luhur. Ini menunjukkan bahwa interaksi sosial pun harus disertai adab, bukan sekadar niat baik. Adab bukanlah penghalang keakraban, tetapi jembatan antara niat tulus dan penerimaan yang lapang.

Bertamu Sebagai Cermin Akhlak Islami

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur [24]: 27)

Ayat ini menjadi dasar etika bertamu yang agung. Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajarkan umatnya untuk meminta izin, tetapi juga mencontohkan bagaimana melakukannya dengan lembut, tanpa mengusik kenyamanan tuan rumah. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ
“Apabila salah seorang dari kalian meminta izin sebanyak tiga kali dan tidak diizinkan, maka hendaklah ia kembali.”

Adab ini menanamkan rasa hormat dan empati. Bertamu bukan hak, melainkan kehormatan yang diberikan. Orang beriman memahami bahwa setiap rumah punya ruang privat, dan setiap waktu punya kadar pantasnya. Dengan kata lain, Islam mengajarkan etika sosial yang melindungi perasaan, bukan sekadar tata krama kaku.

Timing yang Tepat: Seni Memahami Waktu Orang Lain

Sering kali, niat baik menjadi beban karena salah waktu. Dalam masyarakat modern, waktu adalah bentuk penghormatan tertinggi. Nabi Muhammad ﷺ mencontohkan kepekaan waktu ini dalam berbagai kisahnya. Beliau tidak pernah datang bertamu pada waktu-waktu yang bisa mengganggu, seperti waktu makan, tidur, atau istirahat keluarga.

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menukilkan bahwa para sahabat pun menjaga etika waktu ketika ingin menemui Rasulullah ﷺ. Mereka tidak memaksa bertemu bila beliau sedang beristirahat atau bersama keluarganya. Imam Nawawi menulis:

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الاسْتِئْذَانُ فِي غَيْرِ أَوْقَاتِ الصَّلَاةِ وَالطَّعَامِ وَالنَّوْمِ
“Disunnahkan meminta izin pada waktu yang bukan waktu shalat, makan, atau tidur.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Adab ini tampak sederhana, tetapi justru di situlah letak keindahannya. Menghormati waktu orang lain berarti menghargai kehidupannya. Dalam konteks kekinian, hal ini bisa diterapkan dalam bentuk sederhana — misalnya dengan memberi kabar lebih dulu sebelum datang, atau memastikan waktu yang tepat sebelum berkunjung.

Senyum, Salam, dan Kata yang Lembut

Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam berinteraksi. Ketika bertamu, beliau selalu membuka dengan salam yang hangat. Salam bukan sekadar sapaan, tetapi doa yang menebar kedamaian. Dalam hadis disebutkan:

أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

Salam menandakan niat baik, membuka percakapan dengan keberkahan, dan menghapus prasangka. Ketika seseorang memberi salam, ia menempatkan dirinya dalam posisi damai — tidak mengganggu, tidak menuntut, tetapi menghadirkan keakraban.

Imam Nawawi menegaskan bahwa salam adalah sunnah muakkadah, bukan formalitas. Dalam Riyadhus Shalihin, beliau menulis bahwa salam adalah “tanda kerendahan hati dan kasih sesama mukmin.” Maka dari itu, bertamu tanpa salam seperti memasuki rumah tanpa cahaya.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Senyum Nabi ﷺ pun menjadi bagian dari adab bertamu. Dalam setiap pertemuan, wajah beliau memancarkan keramahan. Senyum bukan sekadar gerak bibir, tetapi bahasa hati yang menunjukkan kesiapan untuk menerima dan dihargai. Di era media sosial, senyum bisa diterjemahkan sebagai sikap ramah dan sopan dalam komunikasi — sebuah adab yang kian langka.

Tidak Memaksakan Kehendak Saat Bertamu

Salah satu pelajaran mendalam dari adab bertamu dalam Islam adalah kepekaan terhadap kenyamanan tuan rumah. Bertamu bukan berarti menuntut perhatian penuh, melainkan menyesuaikan diri dengan keadaan. Rasulullah ﷺ pernah menegur sahabat yang duduk terlalu lama di rumah beliau setelah jamuan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan, dan jangan menunggu waktu makan itu. Tetapi bila kamu telah diundang, masuklah; dan apabila kamu selesai makan, maka bertebaranlah, dan jangan duduk untuk berbincang-bincang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 53)

Ayat ini menegur dengan lembut — bukan karena percakapan itu salah, tetapi karena waktu dan tempatnya kurang tepat. Dalam budaya Nabi, menghormati tuan rumah berarti tahu kapan datang dan kapan pamit.

Adab Bertamu di Dunia Digital

Kini, bentuk bertamu tidak lagi selalu fisik. Bertamu bisa berarti menghubungi seseorang lewat pesan, menelpon, atau bahkan berkomentar di media sosial. Prinsip adab Islam tetap berlaku: gunakan bahasa sopan, jangan memaksa, dan hormati waktu orang lain.

Mengetuk pintu bisa berarti mengetik pesan “Apakah sedang luang untuk bicara?”. Menghormati privasi bisa berarti tidak membaca pesan lalu langsung menuntut balasan. Bahkan dalam dunia digital, salam tetap relevan. Sapa dengan doa, bukan dengan desakan.

Spirit adab dari Riyadhus Shalihin sesungguhnya universal — ia hidup di mana pun manusia berinteraksi. Dunia boleh berubah, tetapi sopan santun tetap menjadi tanda kemuliaan.

Pelajaran Akhlak dari Rumah Nabi

Rumah Nabi ﷺ bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sekolah adab. Para sahabat belajar langsung bagaimana cara datang, duduk, dan berpamitan. Mereka tidak hanya meniru ucapan, tetapi juga kepekaan hati beliau.

Rasulullah ﷺ tidak pernah menolak tamu, namun selalu menjaga agar kunjungan membawa keberkahan, bukan beban. Dalam riwayat, beliau menyiapkan tempat duduk yang layak, menjamu dengan senyum, dan menutup dengan doa. Sopan santun bukan sekadar aturan, tetapi ekspresi cinta kepada sesama.

Bagi Imam Nawawi, adab bertamu adalah latihan ruhani. Ia menulis dalam Riyadhus Shalihin:

وَفِي الْإِسْتِئْذَانِ تَأْدِيبٌ لِلنَّفْسِ وَتَعْوِيدٌ عَلَى التَّوَاضُعِ
“Dalam meminta izin terdapat pendidikan jiwa dan pembiasaan untuk rendah hati.”

Artinya, adab bertamu bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga terapi ego. Orang yang terbiasa menghormati waktu dan ruang orang lain akan lebih mudah menundukkan kesombongan dirinya.

Menjaga Silaturahmi, Bukan Sekadar Kunjungan

Bertamu dalam Islam adalah bagian dari silaturahmi. Ia bukan rutinitas, melainkan bentuk ibadah yang menghidupkan kasih. Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, silaturahmi sejati tak hanya datang berkunjung. Ia juga tentang niat. Datang dengan hati yang ingin memberi, bukan hanya menerima. Menyapa dengan lembut, bukan dengan tuntutan. Menyambung kasih, bukan memperluas gengsi.

Penutup: Mengetuk Pintu dengan Hati

Bertamu ala Nabi bukan sekadar etika, melainkan cara hidup. Di dalamnya ada kesadaran bahwa setiap manusia punya ruang, waktu, dan perasaan yang perlu dihormati. Nabi ﷺ mengajarkan bahwa mengetuk pintu orang lain sejatinya adalah mengetuk hatinya — dan pintu hati hanya terbuka bagi mereka yang datang dengan sopan santun.

Dalam dunia yang semakin bising, mari belajar kembali mengetuk dengan hati. Datang dengan niat baik, duduk dengan rendah hati, dan pergi dengan doa. Karena adab bertamu bukan hanya tentang berkunjung ke rumah orang lain, tapi juga tentang bagaimana kita belajar menjadi tamu yang pantas di dunia milik Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement