Surau.co. Setiap manusia hidup dengan dua cermin: satu di hadapan orang lain, dan satu di hadapan dirinya sendiri. Cermin pertama mudah kita rawat, sebab di sanalah wajah sosial kita terpampang. Namun cermin kedua—yang memantulkan kondisi hati dan amal—sering kali berdebu karena jarang disapuh muhasabah. Di sanalah makna “hisab diri sebelum dihisab” menemukan urgensinya.
Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menempatkan bab tentang muhasabah dalam konteks taubat, keikhlasan, dan muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah). Beliau menegaskan bahwa seorang mukmin yang cerdas bukanlah yang banyak berbicara, melainkan yang sering menimbang amalnya sendiri. Karena sejatinya, sebelum langkah kaki ini menapak ke padang mahsyar, manusia telah diberi kesempatan untuk menilai dirinya di dunia.
Konsep hisab diri bukan sekadar introspeksi, tetapi bentuk cinta Allah yang memberi ruang bagi manusia untuk memperbaiki sebelum semuanya dicatat dan ditutup. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh gangguan, muhasabah menjadi oase sunyi untuk menata hati dan arah hidup.
Makna Hisab Diri dalam Perspektif Islam
Kata hisab berasal dari bahasa Arab ḥasaba–yaḥsibu–ḥisāban, yang berarti menghitung, menimbang, atau memperkirakan. Dalam konteks spiritual, ia berarti menilai amal dan memperhitungkan diri sendiri sebelum dihadapkan pada perhitungan Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ الأَمَانِيَّ »
“Orang yang cerdas adalah yang menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang bodoh adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual bukan diukur dari banyaknya pengetahuan, melainkan dari kemampuan menundukkan ego dan mengatur langkah hidup dengan pandangan akhirat.
Dengan kata lain, hisab diri adalah latihan mental dan spiritual agar manusia tidak tersesat oleh nafsu dan rutinitas duniawi. Ia menjadi jembatan antara iman yang diyakini dan amal yang dijalani.
Menakar Diri di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Kita hidup di era di mana waktu berjalan cepat, notifikasi berdering tanpa henti, dan pikiran terpecah antara pekerjaan dan hiburan. Dalam situasi seperti ini, manusia mudah kehilangan ruang hening untuk bercermin. Padahal, muhasabah tidak selalu berarti duduk lama dalam renungan. Ia bisa dimulai dari pertanyaan kecil setiap hari:
- Apakah aku sudah berbuat baik hari ini?
- Apakah aku melukai seseorang tanpa sadar?
- Apakah niatku masih lurus karena Allah?
Imam Nawawi menulis dalam Riyadhus Shalihin (Bab At-Taubah):
« التَّوْبَةُ تَجِبُ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ »
“Taubat diwajibkan dari setiap dosa.”
Taubat sejati tidak mungkin terjadi tanpa hisab diri. Sebab bagaimana mungkin seseorang bertaubat bila ia tidak tahu apa yang harus disesali? Maka, hisab diri adalah kunci pertama menuju perubahan. Ia seperti menyalakan lentera di dalam hati yang gelap oleh kelalaian.
Hisab Diri Sebelum Dihisab: Spirit Pengingat Akhirat
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini menjadi dasar kuat pentingnya muhasabah. Kalimat “wal tandzur nafsun ma qaddamat li ghad” — “hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok” — mengandung seruan agar manusia melihat ke dalam dirinya sebelum terlambat.
Maka, hisab diri sebelum dihisab bukan sekadar nasihat bijak, tapi perintah Qur’ani agar manusia tidak lalai terhadap perjalanan hidupnya. Dalam tafsir klasik, disebutkan bahwa “li ghad” tidak hanya bermakna hari esok di dunia, melainkan juga “esok” yang kekal di akhirat.
Imam Nawawi menegaskan, muhasabah menjadi jalan bagi seorang mukmin untuk memperbaiki amal sebelum penyesalan tiba. Ia menulis:
« يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَائِفًا رَاجِيًا، وَيَكُونُ فِي الْخَوْفِ أَرْجَحَ »
“Seorang mukmin hendaknya berada antara rasa takut dan harap, namun rasa takut harus lebih dominan.”
Rasa takut inilah yang menumbuhkan kehati-hatian dan menggerakkan hati untuk menilai diri sendiri sebelum Allah menilainya kelak.
Empat Langkah Muhasabah Diri Menurut Ulama
Para ulama menjelaskan bahwa muhasabah memiliki empat tahapan yang harus dilalui agar menjadi efektif dan berbuah perubahan nyata:
- Mengingat nikmat Allah dan menyadari amanah hidup.
Manusia tidak akan bisa menilai amalnya dengan jujur jika belum menyadari besarnya nikmat Allah. Kesadaran ini melahirkan rasa syukur dan kerendahan hati. - Menimbang amal baik dan buruk setiap hari.
Dalam tradisi sufi, banyak tokoh seperti Al-Ghazali menganjurkan muhasabah harian, yakni merenungi setiap tindakan sebelum tidur. Imam Nawawi juga menyebut bahwa amal baik yang tidak disertai niat ikhlas bisa berkurang nilainya di sisi Allah. - Segera memperbaiki kesalahan dengan taubat dan amal shalih.
Hisab diri tanpa tindakan hanya berakhir pada rasa bersalah yang menyesakkan. Karena itu, muhasabah harus diikuti dengan perbaikan nyata—baik dengan memohon maaf, menambah ibadah, atau mengembalikan hak orang lain. - Berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan.
Imam Nawawi menyebut bahwa taubat sejati mensyaratkan tekad untuk tidak mengulangi dosa. Komitmen ini harus dijaga dengan doa dan kesadaran bahwa manusia lemah tanpa pertolongan Allah.
Dengan demikian, hisab diri bukanlah aktivitas sesaat, melainkan disiplin ruhani yang terus dipelihara sepanjang hidup.
Ketika Dunia Menipu, Muhasabah Menyadarkan
Dunia modern sering menipu manusia dengan angka dan pencapaian: gaji tinggi, jabatan, popularitas, dan pengakuan. Semua tampak indah, padahal belum tentu bernilai di sisi Allah. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menukil sabda Nabi ﷺ:
« لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ »
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana diamalkan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakan.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini adalah peringatan keras agar manusia tidak terlena oleh gemerlap dunia. Hisab Allah sangat rinci, bahkan tentang tubuh yang sering diabaikan.
Maka, siapa pun yang rajin menghisab diri di dunia, akan ringan hisabnya di akhirat. Sebaliknya, yang lalai menimbang amal, akan terbebani oleh penyesalan.
Muhasabah: Jalan Menuju Hati yang Tenang
Orang yang sering muhasabah tidak akan mudah sombong. Ia tahu bahwa amalnya banyak kekurangan, dan setiap kebaikan terjadi karena pertolongan Allah. Ia juga tidak mudah putus asa, sebab setiap kesalahan masih bisa ditebus selama nyawa belum sampai di tenggorokan.
Nabi ﷺ bersabda:
« التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ »
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa sama sekali.”
(HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menjadi sumber harapan bagi setiap jiwa yang menyesal. Muhasabah yang jujur akan mengantarkan manusia pada taubat yang hidup—taubat yang melahirkan kebersihan hati dan semangat baru untuk berbuat baik.
Penutup: Sunyi yang Menyelamatkan
Dalam kesibukan dunia, hisab diri adalah bentuk keheningan yang menyelamatkan. Ia tidak membutuhkan mikrofon, hanya hati yang jujur dan waktu yang tenang.
Di malam yang sepi, ketika semua tidur dan layar ponsel padam, di situlah manusia bertemu dirinya yang sejati. Ia bertanya:
Apakah langkahku hari ini mendekatkan diri kepada Allah atau menjauhkan?
Apakah hatiku masih hidup oleh dzikir, atau telah kering oleh kelalaian?
Hisab diri sebelum dihisab bukan sekadar peringatan, tapi juga anugerah. Sebab, selama manusia masih diberi kesempatan menilai dirinya sendiri, itu tanda Allah masih mencintainya.
Maka, jangan takut bercermin pada jiwa. Karena di sanalah letak keselamatan kita kelak, sebelum kaki ini dihisab di hadapan-Nya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
