Surau.co. Di zaman modern ini, kata kematian seringkali terdengar seperti kabar buruk yang sebisa mungkin dihindari. Kita menutup telinga saat ada berita duka, mengganti topik ketika ada yang membahas ajal, dan sibuk mengejar segala yang memberi rasa hidup—padahal justru lupa bahwa hidup itu sendiri punya batas. Kematian, bagi banyak orang, adalah akhir. Padahal, bagi seorang mukmin, ia justru pintu menuju kehidupan sejati.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menempatkan bab khusus berjudul Bab Dzikrul Maut wa Iqtilalihi wa Istidad Lahu — “Bab tentang Mengingat Kematian dan Bersiap Menghadapinya.” Bab ini menegaskan bahwa kematian bukan sekadar nasib, tapi pelajaran. Dalam pandangan Islam, kematian adalah guru yang lembut namun tegas, yang mengingatkan manusia agar tidak lalai.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengandung perintah yang sederhana tapi mendalam. Nabi ﷺ tidak menyuruh umatnya untuk takut mati, melainkan untuk mengingatnya. Karena dengan mengingat kematian, hati menjadi jernih dan dunia tidak lagi tampak terlalu besar.
Mengapa Manusia Takut Mati?
Takut mati adalah naluri dasar. Namun, ketakutan itu sering tumbuh dari dua hal: keterikatan yang berlebihan pada dunia, dan ketidaksiapan menghadapi akhirat. Dunia yang kita kenal sekarang — dengan segala kemewahan, kompetisi, dan pencitraan — membuat kita menilai hidup dari yang tampak. Padahal, hidup sejati justru dimulai setelah yang tampak berhenti.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah kalian akan disempurnakan balasannya.” (QS. Ali Imran: 185)
Ayat ini bukan sekadar pengingat, tetapi penyeimbang. Ia mengajarkan bahwa kematian bukan kegagalan, melainkan bagian dari sistem Ilahi yang adil. Dunia hanyalah ruang ujian, sementara akhirat adalah tempat menerima hasil. Karena itu, bagi orang beriman, mengingat kematian justru menumbuhkan kesadaran spiritual — bukan ketakutan yang melumpuhkan.
Riyadhus Shalihin dan Makna Mengingat Kematian
Imam Nawawi, dalam Riyadhus Shalihin, menjelaskan bahwa mengingat kematian secara terus-menerus dapat melembutkan hati dan menahan hawa nafsu. Dalam penjelasannya, beliau berkata:
قِيلَ: مَنْ ذَكَرَ الْمَوْتَ رُزِقَ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءٍ: تَعْجِيلَ التَّوْبَةِ، وَقَنَاعَةَ الْقَلْبِ، وَنَشَاطَ الْعِبَادَةِ
“Dikatakan: Barang siapa sering mengingat mati, maka ia akan diberi tiga hal: segera bertobat, hati yang merasa cukup, dan semangat beribadah.”
Tiga hal ini menjadi fondasi moral bagi setiap mukmin. Seseorang yang mengingat mati akan cepat menyadari kesalahannya, tidak tamak pada dunia, dan terus memperbaiki diri. Itulah sebabnya mengingat kematian disebut dzikrul maut — sebuah zikir yang menghadirkan kesadaran terdalam.
Kematian Bukan Musuh, Tapi Guru
Bagi orang yang lalai, kematian tampak sebagai ancaman. Namun bagi orang beriman, ia adalah guru yang menuntun. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, kita cenderung sibuk membangun karier, mengumpulkan harta, dan mengejar pengakuan. Tapi setiap kali mendengar berita duka, sesungguhnya Allah sedang berbisik, “Kamu pun akan kembali.”
Kematian memotong kesombongan, menundukkan ego, dan menajamkan makna hidup. Ia mengingatkan bahwa semua yang kita banggakan akan hilang, kecuali amal yang tulus. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri mengajarkan agar setiap kali menghadiri jenazah, kita bukan hanya mendoakan almarhum, tapi juga merenungkan posisi kita kelak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi)
Mengubah Takut Menjadi Tafakkur
Menakutkan kematian hanya menambah resah. Tapi mengingatnya dengan penuh tafakkur akan menenangkan jiwa. Tafakkur tentang mati membuat manusia sadar bahwa waktu adalah anugerah yang harus dijaga. Kita mulai memperhatikan shalat, menjaga ucapan, dan memilih pergaulan yang baik. Bahkan sekadar merenungi bahwa hari ini bisa jadi hari terakhir, dapat membuat seseorang lebih lembut dan bijaksana.
Imam Nawawi menulis bahwa ziarah kubur adalah cara Nabi ﷺ menanamkan kesadaran spiritual yang lembut. Dengan mengunjungi kuburan, manusia diingatkan akan hakikat dirinya — bahwa tubuh megah sekalipun akan menjadi tanah. Itulah cara Islam mengajarkan keseimbangan: bukan menakut-nakuti kematian, tetapi menggunakannya sebagai cermin kehidupan.
Menghadapi Dunia yang Sibuk Melupakan Akhirat
Kita hidup di era yang memuja kesibukan. Orang bangga dengan jadwal padat, pekerjaan menumpuk, dan pencapaian material. Di sisi lain, waktu untuk merenung semakin hilang. Padahal, dalam ketenangan merenungi kematian, justru tersimpan energi spiritual yang besar. Ia mengembalikan orientasi hidup: dari pencitraan menuju keikhlasan.
Seorang bijak pernah berkata, “Barang siapa mengingat kematian di tengah kehidupan yang ramai, maka ia akan menemukan kedamaian di tengah kebisingan dunia.” Mengingat mati bukan berarti menjauhi dunia, tapi menempatkan dunia di tempatnya — sebagai jalan, bukan tujuan.
Belajar dari Rasulullah: Lembut tapi Tegas tentang Mati
Rasulullah ﷺ adalah manusia paling lembut dalam menghadapi kematian. Beliau tidak menjadikan kematian sebagai ancaman, tetapi pengingat yang menuntun pada amal. Dalam setiap majelis, beliau sering menasihati sahabat untuk memperbanyak istighfar dan tidak menunda kebaikan.
Ketika salah seorang sahabat bertanya tentang orang terbaik, Rasulullah ﷺ menjawab:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa hidup panjang tidak berarti apa-apa bila tanpa amal baik. Justru yang bernilai adalah bagaimana setiap detik digunakan untuk berbuat kebaikan. Semakin sadar bahwa waktu terbatas, semakin bijak seseorang dalam menggunakannya.
Menata Hati dengan Mengingat Mati
Menghadirkan kesadaran tentang kematian adalah cara menata hati agar tidak sombong dan tidak berputus asa. Orang yang ingat mati tidak akan terlalu kecewa saat gagal, karena ia tahu dunia sementara. Ia juga tidak akan sombong saat berhasil, karena semua akan ditinggal. Maka, dzikrul maut adalah latihan spiritual yang menumbuhkan tawazun — keseimbangan antara harapan dan takut, antara usaha dan pasrah.
Penutup: Hidup Mengecil, Akhirat Membesar
Kematian bukan musuh, ia adalah guru yang menuntun manusia pulang. Dunia ini, sebesar apa pun tampaknya, pada akhirnya hanya sebutir debu dalam perjalanan panjang menuju Allah. Mengingat mati berarti mengingat kehidupan yang sebenarnya.
Ketika kita menatap langit malam dan menyadari betapa kecilnya diri, di situlah keikhlasan tumbuh. Tidak ada lagi yang perlu ditakuti, karena setiap jiwa yang berserah akan berjumpa dengan Tuhannya dalam damai.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. Al-Fajr: 27–28).
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
