SURAU.CO – Dalam kehidupan modern yang penuh kompetisi, banyak orang berlomba-lomba mencari pengakuan, status, dan pujian. Media sosial menjadi panggung untuk memamerkan pencapaian, kekayaan, atau popularitas. Namun, dalam hiruk pikuk itu, Islam mengajarkan sebuah nilai yang justru menenangkan jiwa dan meninggikan derajat seseorang di sisi Allah, yakni sifat tawadhu. Tawadhu bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru energi dahsyat yang memuliakan manusia di dunia dan akhirat.
Makna Tawadhu dalam Islam
Tawadhu secara bahasa berarti rendah hati, tidak sombong, dan tidak meninggikan diri. Secara istilah, para ulama mendefinisikan tawadhu sebagai sikap merendahkan hati di hadapan Allah dan berakhlak lembut kepada sesama makhluk tanpa merasa lebih unggul dari orang lain. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tawadhu adalah menerima kebenaran dari siapa pun yang menyampaikannya, sekalipun ia masih anak-anak, orang miskin atau dianggap rendah oleh manusia.
Tawadhu tidak berarti menghinakan diri atau tidak percaya diri. Tawadhu juga bukan berarti seseorang tidak boleh berambisi menjadi sukses. Melainkan, tawadhu menuntut seseorang tetap menyadari bahwa semua kelebihan adalah karunia Allah dan Allah SWT bisa mencabutnya kapan saja. Ia tetap rendah hati meskipun memiliki ilmu, harta, jabatan, atau keturunan.
Perintah Tawadhu dalam Al-Qur’an dan Hadis
Perintah tawadhu banyak tersebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Allah SWT berfirman:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu ialah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
(QS. Al-Furqan: 63)
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang bertawadhu karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa tawadhu adalah energi dahsyat yang mengangkat derajat seorang hamba. Mungkin manusia tidak melihatnya, tetapi Allah meninggikan kedudukannya di dunia dan akhirat. Bahkan, Rasulullah SAW—manusia terbaik dan paling mulia—dikenal sangat tawadhu kepada sahabat, anak-anak, hingga para budak.
Energi Dahsyat Sifat Tawadhu
Mengapa tawadhu disebut energi dahsyat? Karena tawadhu memiliki kekuatan luar biasa yang mampu mengubah hidup seseorang menjadi lebih berkah, tenang, dan dihormati. Di antara energi dahsyat dari sifat tawadhu adalah:
1. Mengundang Kecintaan Allah dan Manusia
Orang yang tawadhu dicintai Allah, dan siapa yang dicintai Allah akan dimudahkan segala urusannya. Allah akan menanamkan rasa cinta pada hati manusia lain sehingga ia dihormati bukan karena kekayaan atau kekuasaan, tetapi karena akhlaknya yang mulia.
2. Melapangkan Rezeki dan Hati
Orang yang tidak sombong tidak sibuk menjaga gengsi atau pencitraan. Hatanya lapang, rezekinya berkah, karena ia tidak kikir, tidak dengki, dan tidak ingin mengalahkan orang lain demi pujian.
3. Menghindarkan dari Kebencian dan Permusuhan
Kesombongan sering menjadi bibit perselisihan. Tawadhu justru melahirkan kedamaian. Orang yang tawadhu akan lebih mudah memaafkan, mengakui kesalahan, dan menghindari perdebatan sia-sia.
4. Menguatkan Kepemimpinan dan Wibawa
Rakyat akan menjauhi pemimpin yang sombong, sebaliknya akan segan dan mencintai pemimpin yang tawadhu. Rasulullah SAW menjadi teladan utama: meski memimpin negara dan pasukan, beliau tetap hidup sederhana, memperbaiki sandal dan pakaian sendiri, serta tidak suka dipuji berlebihan.
Teladan Tawadhu dari Para Nabi dan Ulama
Beliau makan bersama orang miskin, duduk di tanah, dan menolak untuk diberi penghormatan layaknya raja. Ketika seorang lelaki gemetar di hadapannya, Nabi berkata: “Tenangkan dirimu. Aku bukan raja. Aku hanya anak seorang wanita Quraisy yang makan daging kering.”
2. Nabi Musa dan Nabi Khidir
Walaupun menjadi nabi, Musa AS tetap berguru kepada Khidir AS. Ini menunjukkan tawadhu tertinggi: seorang utusan Allah tidak malu belajar dari orang lain yang memiliki ilmu berbeda.
3. Umar bin Khattab
Sebagai khalifah, Umar tetap memikul gandum di bahunya untuk rakyat miskin. Ia berkata, “Seandainya seekor keledai saja jatuh di Irak, aku takut Allah akan menanyakan kenapa aku tidak memperbaiki jalannya.”
4. Imam Abu Hanifah
Meskipun ahli fiqih besar, beliau sering berkata, “Pendapatku adalah ijtihad yang bisa benar atau salah. Jika benar, dari Allah. Jika salah, dari diriku.” Ini bukti tawadhu ilmiah yang jarang ditemui di zaman ini.
Perbedaan Tawadhu dan Merendahkan Diri
Penting untuk membedakan antara tawadhu dengan tadzallul (menghinakan diri). Tawadhu adalah sikap rendah hati dengan penuh kehormatan, sedangkan menghinakan diri berarti mengorbankan harga diri untuk mendapat pujian manusia. Tawadhu adalah kekuatan, bukan kelemahan. Ia tidak berarti membiarkan diri diinjak atau dipermainkan.
Cara Menumbuhkan Sifat Tawadhu
1. Mengenali Hakikat Diri
Kita berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Kesadaran ini membuat kita tidak pantas sombong. Semua keberhasilan adalah karunia Allah.
2. Memperbanyak Zikir dan Doa
Zikir melembutkan hati, mengingatkan kita bahwa Allah Maha Besar dan kita hanyalah hamba. Doakan agar jauh dari kesombongan.
3. Belajar dari Siapa pun
Orang yang tawadhu tidak malu belajar, baik dari orang tua, anak kecil, atau orang miskin. Ia menerima kebenaran walau datang dari musuh sekalipun.
4. Menghormati dan Mendahului Mengucapkan Salam
Rasulullah SAW mengajarkan, orang yang lebih utama adalah yang lebih dahulu memberi salam, meskipun kepada anak kecil atau orang miskin.
5. Menjenguk Orang Sakit, Menghadiri Jenazah, dan Membantu Orang Lain
Amalan-amalan ini menumbuhkan empati dan kesadaran bahwa kita semua sama di hadapan Allah.
Tawadhu dalam Kehidupan Modern
Pada era digital, ujkian sikap tawadhu melalui sikap kita di media sosial. Apakah kita memposting kebaikan untuk menginspirasi atau untuk mendapatkan pujian? Apakah kita merendahkan orang yang salah? Tawadhu pada zaman ini berarti:
- Tidak riya atau pamer.
- Tidak menghina pendapat orang lain.
- Tidak merasa paling benar dan paling suci.
- Mengakui kesalahan ketika salah, dan meminta maaf.
Penutup
Tawadhu adalah energi dahsyat yang menggerakkan kebaikan dalam kehidupan manusia. Ia bukan sekadar sikap, tetapi kekuatan jiwa yang membuahkan ketenangan, kedamaian, dan kemuliaan. Allah akan mencintai orang yang tawadhu, melapangkan rezekinya, dan mengangkat derajatnya. Mari kita hiasi hidup dengan sifat ini, karena Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang merendahkan hati demi Allah, maka Allah akan meninggikannya.”
Semoga Allah menghiasi hati kita dengan tawadhu, menjauhkan kita dari kesombongan, dan memuliakan kita dunia dan akhirat. Aamiin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
