SURAU.CO-Saat Puisi Menjadi Doa: Jejak Spiritualitas KH. Mustofa Bisri bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan perjalanan batin yang menyatukan seni, agama, dan rasa. Saat Puisi Menjadi Doa: Jejak Spiritualitas KH. Mustofa Bisri menggambarkan bagaimana Gus Mus menjadikan puisi sebagai jembatan menuju Tuhan. Ia menyulam kata dengan keikhlasan, lalu mengubahnya menjadi bahasa doa yang menyentuh hati siapa pun yang membaca.
Gus Mus menulis puisi bukan untuk dipuji, tetapi untuk berbicara jujur kepada Allah. Ia membiarkan hatinya memimpin penanya. Karena itu, setiap larik terasa hidup, seolah membawa pembaca duduk bersimpuh dalam sunyi. Banyak orang yang membaca puisinya mengaku merasa sedang berdoa, meski tanpa mengangkat tangan atau melafalkan kata “amin”.
Ia tumbuh di lingkungan pesantren Rembang yang sederhana namun sarat cinta ilmu. Dari ayahnya, KH. Bisri Mustofa, ia belajar bahwa ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan kesombongan. Maka, Gus Mus memilih jalan dakwah melalui kelembutan. Ia mengajarkan bahwa kata bisa menjadi ibadah ketika ditulis dengan niat yang bersih.
Pengalaman pribadi memperkuat spiritualitasnya. Ia pernah bercerita bahwa beberapa puisinya lahir saat ia merasa kecil di hadapan Allah. Saat itu, ia tidak mampu berbicara dengan suara, maka ia berbicara dengan pena. Dari sanalah lahir karya-karya yang tetap relevan, bahkan ketika zaman berubah drastis.
Puisi dan Spiritualitas Gus Mus: Jalan Sunyi yang Terang
Puisi dan spiritualitas selalu berjalan berdampingan dalam hidup Gus Mus. Ia tidak memisahkan keduanya, karena menurutnya, puisi adalah doa yang memakai bahasa manusia, sedangkan doa adalah puisi yang memakai bahasa langit. Oleh sebab itu, setiap katanya mengalir tenang namun menghujam dalam.
Ia menolak menyampaikan agama dengan kemarahan. Sebaliknya, ia memilih menyampaikan pesan Tuhan melalui cinta, humor, dan kesantunan. Transisinya dari dunia pesantren menuju dunia sastra berjalan alami, karena ia percaya bahwa kebenaran tidak harus selalu diucapkan dari mimbar. Kadang, kebenaran justru muncul dari bait-bait sederhana yang ditulis dalam diam.
Dalam puisinya, ia sering menggunakan kata “Aku” bukan untuk menunjukkan ego, melainkan untuk menunjukkan kelemahan seorang hamba di hadapan Pencipta. “Aku ini siapa, ya Allah…” begitu ia tulis dalam salah satu puisinya. Kalimat itu tidak sekadar puitis, tetapi zikir yang lahir dari kejujuran.
Banyak orang yang tidak bertemu langsung dengannya tetap merasa dekat hanya dengan membaca karyanya. Inilah bukti bahwa kata yang lahir dari hati akan sampai ke hati. Dan itulah kekuatan hakiki dari puisi yang menjadi doa.
Jejak Spiritualitas KH. Mustofa Bisri yang Melampaui Zaman
Jejak spiritualitas KH. Mustofa Bisri tidak berhenti pada karya tulis. Ia menyebarkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin melalui tutur kata, senyum, dan sikap sehari-hari. Ia menegaskan bahwa agama harus menghadirkan kedamaian, bukan ketakutan.
Ia tidak pernah memaksa orang untuk sepakat dengannya. Ia justru membuka ruang dialog, karena ia percaya bahwa kebenaran tidak akan luntur hanya karena seseorang bertanya. Bahkan, ia sering berkata, “Jika engkau berbeda pendapat, tetaplah duduk di sini. Jangan pergi hanya karena tidak sama.”
Hingga kini, generasi muda masih membaca puisinya, mengutip nasihatnya, dan menjadikannya tempat pulang ketika hati lelah. Itulah bukti bahwa pemikirannya tidak terikat waktu. Ia lahir dari tanah Rembang, tetapi ia menerangi semesta.
Maka, Saat Puisi Menjadi Doa: Jejak Spiritualitas KH. Mustofa Bisri bukan hanya kisah seorang penyair, tetapi cermin tentang bagaimana manusia dapat menyembah Allah melalui kata, rasa, dan cinta. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
