SURAU.CO – Di atas meja sederhana itu, terbentang kitab-kitab klasik yang sarat makna: Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ditemani tafsir dan catatan kecil dari hasil kajian. Ada pena, secangkir kopi, dan gawai yang menampilkan halaman kitab digital. Pemandangan ini mungkin tampak biasa, namun bagi seorang penuntut ilmu, inilah saksi kesungguhan hati dalam memahami kalimat Laa ilaaha illallaah secara benar dan mendalam.
Ilmu yang Menerangi Jalan
Menuntut ilmu akidah bukan sekadar membaca, menghafal, atau menulis catatan, tetapi perjalanan spiritual untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan (ma’rifatullah). Sebab dari sinilah lahir keikhlasan beribadah, kekuatan dalam dakwah, dan keteguhan dalam ujian.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
> “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”
(QS. Fāṭir: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu yang benar melahirkan rasa takut, tunduk, dan cinta kepada Allah. Dan ilmu yang paling utama untuk membangkitkan rasa itu adalah ilmu tentang tauhid dan akidah.
Ketika seorang penuntut ilmu membuka lembar demi lembar al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, sesungguhnya ia sedang berusaha membangun pondasi keimanan yang kokoh di tengah derasnya arus pemikiran modern. Ia tidak hanya mempelajari konsep teologi, tetapi meneguhkan hatinya agar hanya bersandar kepada Allah, bukan kepada logika manusia atau ideologi buatan.
Kitab yang Mengajarkan Keteguhan
Al-‘Aqidah al-Wasithiyyah lahir dari permintaan seorang hakim di Wasith (Iraq) kepada Ibnu Taimiyyah untuk menuliskan ringkasan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka beliau menulis dengan pena yang jernih dan hati yang lurus, menjelaskan tentang sifat-sifat Allah tanpa tahrif (penyelewengan makna), tanpa ta’til (penolakan sifat), tanpa takyif (membayangkan rupa), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Syaikhul Islam menulis dengan penuh keyakinan, karena beliau memahami bahwa mengenal Allah sebagaimana yang Dia perkenalkan diri-Nya dalam Al-Qur’an dan sunnah adalah kunci keselamatan dari penyimpangan.
Di antara isi kitab tersebut adalah penjelasan tentang ayat-ayat sifat seperti istiwa’ Allah di atas ‘Arsy, nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), serta pembahasan tentang iman, qadar, dan cinta kepada para sahabat Nabi ﷺ. Semua disampaikan dengan keseimbangan antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (akal sehat).
Ketika seseorang menelaahnya, ia akan merasakan betapa indahnya keseimbangan Islam: tidak ekstrem dalam menafsirkan sifat Allah sebagaimana kaum mujassimah, dan tidak pula menolaknya sebagaimana kaum mu’tazilah. Inilah jalan tengah yang ditempuh para salafus shalih — jalan lurus yang kita mohonkan dalam setiap shalat.
Belajar di Era Digital: Menyambung Sanad Ilmu
Gambar itu juga menampilkan gawai di depan kitab, menandakan bahwa proses belajar hari ini telah menempuh bentuk baru. Ilmu bisa dijangkau dari rumah, melalui kajian daring, rekaman video, atau e-book. Namun, meski cara belajar berubah, adab dan ruh keilmuan harus tetap dijaga.
Imam Malik rahimahullah pernah berkata:
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”
Sebab ilmu tanpa adab akan melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa ilmu akan menjerumuskan ke dalam kebodohan. Maka seorang penuntut ilmu hendaknya menjaga niatnya tetap murni, menghadiri majelis ilmu — meskipun lewat layar — dengan hati yang hadir, mencatat, dan merenungi makna.
Mari kita manfaatkan teknologi untuk tujuan mulia, mendekatkan diri pada Allah. Setiap langkah digital menuju kajian dan setiap momen dengan kitab suci menjadi amal jariyah yang menerangi di hari akhir.
Menjadikan Akidah Sebagai Kompas Hidup
Banyak orang belajar agama, tetapi tidak semuanya memahami pentingnya akidah sebagai fondasi. Padahal Rasulullah ﷺ memulai dakwahnya dengan kalimat Laa ilaaha illallaah selama 13 tahun di Makkah — sebelum turun perintah shalat, zakat, atau puasa. Itu menunjukkan bahwa pembinaan akidah adalah pondasi segala amal.
Tanpa akidah yang lurus, amal akan rapuh. Allah akan memberikan kekuatan kepada mereka yang menguatkan diri dengan ilmu akidah di dunia dan akhirat. Karenanya, para ulama terdahulu begitu menekankan pentingnya tashhihul aqidah — meluruskan keyakinan sebelum memperbanyak amal.
Ilmu akidah mengajarkan kita siapa Tuhan yang kita sembah, bagaimana cara mencintai-Nya, dan apa konsekuensi dari pengakuan kita terhadap rububiyyah dan uluhiyyah Allah. Ia menanamkan ketenangan hati, keyakinan dalam doa, dan keberanian dalam berdakwah.
Sebagaimana firman Allah:
> “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)
Kalimat tauhid itulah ucapan yang teguh itu. Dengan meneguhkan diri pada ilmu akidah, Allah akan meneguhkan kita di dunia dan akhirat.
Dari Kitab ke Amal: Akidah yang Menghidupkan
Ilmu akidah bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk diamalkan. Ia menuntun kita untuk menata ibadah, memperbaiki niat, dan membersihkan hati dari riya’, syirik, dan bid’ah. Seorang penuntut ilmu sejati tidak berhenti di meja belajarnya. Ia membawa cahaya ilmu itu ke dalam keluarga, masyarakat, dan dakwahnya.
Ketika seorang ayah memahami makna tauhid, ia tidak akan mendidik anaknya hanya agar sukses dunia, tapi agar selamat di akhirat. Dan ketika seorang guru memahami asma’ wa shifat Allah, ia akan menanamkan rasa cinta dan takut kepada Allah pada muridnya. Ketika seorang da’i memahami akidah yang benar, ia akan berdakwah dengan hujjah, bukan emosi.
Ilmu akidah yang benar menumbuhkan kelembutan hati, bukan kekerasan. Karena ia mengenalkan Allah yang Maha Pengasih sekaligus Maha Adil. Ia mengajarkan kita untuk tegas terhadap kesyirikan, tapi lembut terhadap manusia. Sebagaimana para ulama salaf yang berdakwah dengan hikmah, bukan caci maki.
Penutup: Cahaya dari Meja Belajar
Memandang foto meja belajar itu, kita seolah menyaksikan potret seorang penuntut ilmu yang tidak lelah menapaki jalan kebenaran. Ilmu yang benar akan menghidupkan hati dan jiwa kita.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
Setiap malam yang kita isi dengan membaca kitab dan membuka halaman-halamannya dengan ikhlas, akan menjadi langkah kita menuju surga. Di sanalah nilai belajar akidah tidak pernah sia-sia.
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang terus menuntut ilmu dengan adab, memahami dengan hati, dan mengamalkan dengan istiqamah. Kita mempelajari ilmu untuk menghidupkan hati, bukan hanya untuk diketahui. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
