SURAU.CO – Anda mungkin sudah membaca kisah transfer politik di Sumatera Barat. Seorang putra kandung dari Buya Mahyeldi Ansharullah, Gubernur yang merupakan tokoh sentral PKS—sebuah partai yang identitasnya sangat melekat pada kultur konservatif di sana—tiba-tiba melompat ke PSI, dan langsung dinobatkan sebagai Plt. Ketua DPW.
Reaksi pertama kita mungkin tertawa kecut, melihat betapa lincahnya politik dinasti menembus sekat-sekat ideologi. Namun, jika kita duduk sebentar, menenangkan gejolak di dada, dan mencoba melihatnya dari kacamata Minangkabau yang beradat, tawa itu akan berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam.
Ini bukan sekadar berita politik. Ini adalah cerita tentang harkat, martabat, dan nama baik yang tengah dipertaruhkan di Ranah Minangkabau.
Memahami Makna ‘Beradat’ di Minangkabau
Di Minangkabau, kata “beradat” bukan sekadar ritual atau serangkaian upacara. Ia adalah napas kehidupan, fondasi moral, dan cerminan harga diri (harkat dan martabat) yang diikat erat oleh filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (Adat bersendikan hukum Islam, hukum Islam bersendikan Al-Qur’an).
Apa intinya? Budi Pekerti.
Orang Minang dituntut untuk:
Menjaga Malu: Malu dalam adat Minang adalah benteng moral. Rasa malu yang kuat akan mencegah seseorang berbuat sesuatu yang menjatuhkan harga diri kaumnya.
Menjaga Basa-Basi (Tutur Kata dan Tingkah Laku): Setiap tindakan dan ucapan harus elok (baik) dan indak mancurigokan (tidak menimbulkan curiga). Setiap individu, terutama anak seorang tokoh besar, adalah representasi dari kaum, suku, dan nagari-nya.
Harkat dan martabat di Minangkabau bukanlah milik pribadi semata. Ketika seorang anak membuat kekeliruan atau manuver yang dinilai mencederai etika, malu itu akan menimpa seluruh kaum dan keluarga besarnya. Pepatah tua mengajarkan, “Hino mulia suatu kaum tagantuang dek nan padusi” (Hina mulia suatu kaum tergantung pada perempuan)—namun dalam konteks yang lebih luas, kehormatan ini juga diemban oleh laki-laki, terutama yang memiliki kedudukan dan nama besar.
Nama Buya Mahyeldi, sebagai Gubernur dan tokoh PKS, sudah terpatri sebagai simbol keteguhan tertentu di mata publik. Lalu, apa dampaknya ketika putranya bermanuver secepat kilat?
Transaksi Politik Versus Harga Diri Adat
Manuver pindah partai anak Gubernur, yang langsung menduduki posisi ketua setelah gagal di partai ayahnya sendiri, adalah wujud nyata dari Pragmatisme Politik Telanjang.
Dari Kacamata Politik Jakarta (Pragmatis): Ini adalah langkah cerdas. PSI mendapat jembatan ke Sumbar. Keluarga mendapat diversifikasi politik. Win-win solution.
Dari Kacamata Adat Minangkabau (Budi Pekerti): Ini adalah cacat serius pada budi pekerti dan martabat keluarga.
Di manakah letak “raso jo pareso” (perasaan dan pertimbangan yang teliti) yang menjadi inti budi pekerti Minang?
- Cideranya Malu: Anak seorang tokoh PKS, yang partainya kental dengan narasi ideologis, tiba-tiba pindah ke PSI, sebuah partai yang sering menjadi antitesis PKS. Ini menunjukkan fleksibilitas ideologi yang kelewat batas. Seorang anak seharusnya menjaga keselarasan dengan nilai yang diwariskan ayahnya—bukan dalam arti harus sama, tetapi dalam arti tidak mencoreng integritas yang sudah dibangun puluhan tahun. Manuver ini menimbulkan pertanyaan: Apakah anak ini memiliki pendirian? Atau hanya mencari kursi tercepat? Sikap mencari ‘kursi tercepat’ ini, dalam adat, dapat dianggap sebagai ambisi yang melampaui kepatutan, mengabaikan proses pengaderan, dan ujung-ujungnya melukai rasa malu kaum.
-
Mengabaikan Harkat: Jabatan Plt. Ketua yang didapatkan secara instan melalui koneksi orang tua adalah pengakuan implisit terhadap Politik Dinasti. Adat Minangkabau mengajarkan bahwa kepemimpinan (terutama Penghulu) harus tumbuh karano ditanam, gadang karano diimbau (tumbuh karena ditanam, besar karena diundang/diangkat). Ini berarti kepemimpinan harus melalui proses penerimaan, dan selanjutnya pengakuan atas jasa dan kemampuan. Ketika jabatan strategis diperoleh semata-mata karena hubungan darah—bukan karena track record di PSI—ini merendahkan harkat sang anak itu sendiri dan menjadikan nama baik ayahnya sebagai komoditas politik.
Penutup: Sebuah Cermin Bagi Ranah Minang
Peristiwa ini menjadi cermin retak bagi Minangkabau. Ia menunjukkan bahwa cengkeraman pragmatisme kekuasaan dari Jakarta telah merangsek masuk hingga ke ranah yang seharusnya dijaga oleh adat dan malu.
Ketika tokoh yang seharusnya menjadi panutan—seperti Buya Mahyeldi—membiarkan atau bahkan merestui anak kandungnya menggunakan nama besar keluarga untuk lompatan politik instan, nilai-nilai beradat itu telah tereduksi. Adat yang seharusnya menjaga harkat dan martabat, tetapi justru berubah menjadi alat legitimasi bagi kepentingan pragmatis.
Inilah risiko terbesarnya: masyarakat akan melihat bahwa pepatah adat hanyalah ornamen, sementara realitas politik adalah permainan transaksi. Dan ketika masyarakat mulai meragukan ketulusan tokoh adat dan politiknya, yang hancur bukan hanya PKS dan PSI, melainkan fondasi moral nagari itu sendiri.
Maukah kita membiarkan Nama Baik Minangkabau menjadi harga yang harus dibayar demi sebuah kursi ketua partai “tipis”? Jawabannya ada di tangan kita, yang masih merasa memiliki raso jo pareso.
PS: ET Hadi Saputra bersekolah di SDN 1 Gadut di Aro, persis didepan rumah Buya. Sering numpang makan siang dirumah orangtua Buya sambil menunggu Ibunya pulang mengajar dari SMP Gadut. (ET Hadi Saputra gelar Katik Sati, Pengamat Hukum). (Zaharuddin)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
