Surau.co. Puasa dan iman terikat dalam hubungan yang sangat halus. Keduanya tumbuh dari dalam diri, sering tak terlihat, namun bisa dirasakan. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi cara Allah menumbuhkan iman di tanah hati manusia. Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menjelaskan bab puasa dengan begitu indah: di balik setiap rasa lapar, tersembunyi rahasia cinta dan pendidikan jiwa.
Lapar yang Menyadarkan, Bukan Menyiksa
Manusia modern sering takut lapar. Makan tiga kali sehari terasa belum cukup, bahkan selalu ingin ngemil di sela waktu. Namun dalam ajaran puasa, rasa lapar justru menjadi guru terbaik. Ia membuat manusia sadar betapa lemahnya diri tanpa pertolongan Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hajar dalam Kitāb aṣ-Ṣiyām:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣiyām)
“Barang siapa berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Hadis ini tidak sekadar janji ampunan, tetapi juga pengakuan bahwa puasa menjadi ruang penyembuhan batin. Saat perut kosong, hati terasa lebih peka. Ketika nafsu tertahan, akal menjadi jernih. Dan ketika seseorang menahan diri, Allah menumbuhkan rasa cukup — itulah iman yang hidup dari lapar.
Puasa Sebagai Latihan Keikhlasan
Tidak ada ibadah yang lebih sunyi daripada puasa. Shalat terlihat, zakat bisa dihitung, tetapi puasa hanya diketahui oleh Allah. Ibn Hajar menulis bahwa nilai tertinggi dalam puasa justru terletak pada niat yang tersembunyi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣiyām)
“Setiap amal anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa itu milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Bayangkan, Allah sendiri yang mengklaim puasa sebagai milik-Nya. Maka jelas, puasa bukan hanya ritual, tetapi hubungan personal antara hamba dan Tuhannya. Dalam diamnya perut dan sunyinya niat, seorang hamba sedang berbicara dengan Allah tanpa kata.
Karena itu, puasa menumbuhkan keikhlasan sejati. Seseorang mungkin bisa berpura-pura sabar di depan manusia, tetapi tidak bisa berpura-pura menahan lapar di hadapan Allah.
Dari Lapar Menuju Tumbuhnya Iman
Ibn Hajar menukil hadis lain yang menunjukkan sisi pendidikan spiritual puasa:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣiyām)
“Puasa adalah perisai (pelindung).”
Melalui puasa, manusia belajar melindungi diri dari hawa nafsu, amarah, dan godaan dunia yang tak pernah berhenti menuntut. Ia menjadi benteng batin yang menjaga agar iman tidak retak. Rasa lapar mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak lahir dari kenyang, melainkan dari syukur.
Selain itu, dalam kehidupan sosial, puasa menumbuhkan empati. Ketika perut kosong, kita merasakan sedikit dari penderitaan mereka yang kekurangan. Dari pengalaman itu, kasih sayang tumbuh, bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Sang Pemberi Rezeki.
Puasa, Kesabaran, dan Rahasia Cinta Ilahi
Puasa tidak berhenti pada menahan diri, tetapi juga melatih cinta kepada Allah lewat kesabaran. Dalam Bulūgh al-Marām, Ibn Hajar mengutip hadis Rasulullah ﷺ:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb aṣ-Ṣiyām)
“Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, jangan berkata kotor dan jangan berteriak. Jika seseorang mencaci atau menantangnya berkelahi, katakanlah: ‘Aku sedang berpuasa.’”
Hadis ini bukan sekadar pedoman etika sosial, melainkan pelajaran cinta. Orang yang mencintai Allah tidak mudah marah, karena ia sedang menjaga hatinya agar tetap bersih. Puasa mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemampuan membalas, tetapi pada kemampuan menahan diri.
Dalam diamnya lapar, cinta kepada Allah tumbuh — cinta yang tidak meminta balasan, hanya ingin diterima.
Fenomena Sehari-hari: Menemukan Ketenangan di Tengah Lapar
Di bulan Ramadan, suasana sore selalu memancarkan keindahan. Orang-orang menunggu azan dengan kurma di tangan, anak-anak berlarian membawa takjil, udara dipenuhi aroma masakan. Semua itu menghadirkan kebersamaan yang lahir dari lapar.
Menariknya, puasa menghapus sekat sosial. Pejabat, pedagang, buruh, dan petani merasakan hal yang sama — menanti waktu berbuka dengan sabar. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Semua sama di hadapan Tuhan, sama-sama membutuhkan rezeki dan kasih-Nya. Dari kesadaran inilah iman tumbuh, perlahan namun pasti.
Refleksi: Menyuburkan Iman dari Dalam Diri
Puasa mengajarkan banyak hal: kesabaran, empati, keikhlasan, dan cinta. Namun, yang paling penting adalah bagaimana ia menyuburkan iman dari dalam hati. Tidak melalui banyak kata, melainkan lewat rasa lapar yang diolah menjadi kesadaran.
Mungkin karena itu Ibn Hajar menempatkan bab puasa dalam Bulūgh al-Marām dengan begitu lembut. Ia memahami bahwa lapar bukan kekurangan, tetapi cara Allah menanam iman. Seperti tanah yang digemburkan sebelum ditanami, hati yang lapar oleh puasa menjadi lahan paling subur bagi benih iman untuk tumbuh dengan indah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
