Khazanah
Beranda » Berita » Zakat: Rahmat yang Mengalir Lewat Dompet

Zakat: Rahmat yang Mengalir Lewat Dompet

Ilustrasi orang memberi zakat dengan tulus, simbol rahmat yang mengalir lewat dompet.
Gambar menggambarkan kasih sayang yang lahir dari zakat, ketika harta menjadi jalan rahmat antar manusia.

Surau.co. Zakat dan rahmat adalah dua kata yang saling berpelukan. Dalam pandangan Islam, zakat bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi aliran kasih Tuhan yang menyejukkan hati manusia. Seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir, zakat menghubungkan si kaya dan si miskin dalam jalinan cinta yang dirangkai oleh Allah sendiri.

Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menulis bab zakat dengan nada ilmiah, tetapi maknanya lembut dan menyentuh. Ia tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga memperlihatkan keindahan spiritual di balik memberi.

Makna Zakat di Tengah Kehidupan yang Serba Mengejar

Di zaman serba cepat ini, manusia sering menakar kebahagiaan dari angka di rekening. Gaji naik dianggap anugerah, pengeluaran dianggap cobaan. Namun, Ibn Hajar dalam Bulūgh al-Marām mengingatkan, rezeki bukan hanya soal jumlah, tapi keberkahan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
(HR. Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb az-Zakāh)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Sedekah tidak akan mengurangi harta.”

Kalimat itu terdengar seperti paradoks bagi yang berpikir material. Tapi bagi hati yang beriman, ini adalah hukum alam spiritual: harta yang keluar karena Allah, akan kembali dalam bentuk ketenangan, keberkahan, dan rezeki yang tak terduga.

Zakat bukan kehilangan, melainkan pemurnian. Ia seperti air yang mengalir keluar, lalu kembali dalam bentuk kehidupan baru di ladang-ladang hati manusia.

Ketika Memberi Menjadi Cara Menyucikan Diri

Zakat berasal dari kata zaka, yang berarti “suci” dan “tumbuh”. Maka memberi bukan sekadar transaksi sosial, tapi proses penyucian batin. Allah berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
(QS. At-Taubah: 103)

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.”

Ibn Hajar dalam Bulūgh al-Marām mengutip hadis tentang zakat yang mengandung dua dimensi: sosial dan spiritual.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb az-Zakāh)

“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah satu sha‘ dari kurma atau gandum atas setiap muslim, baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar.”

Hadis ini sederhana tapi penuh makna. Bahwa setiap jiwa, apapun statusnya, berhak terlibat dalam aliran rahmat zakat. Ia mengajarkan kesetaraan — bahwa dalam memberi, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, sebab semua hanyalah penyalur kasih Allah.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Rahmat yang Mengalir dari Dompet ke Hati

Zakat adalah bentuk cinta yang paling jujur. Ia tidak butuh kata-kata, hanya tindakan. Dalam setiap rupiah yang keluar, ada doa yang terbang menuju langit, dan mungkin, ada senyum kecil dari seseorang yang tadinya putus asa.

Dalam Bulūgh al-Marām, Ibn Hajar juga menukil hadis tentang kasih sayang dalam memberi:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ، يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
(HR. At-Tirmidzī, Bulūgh al-Marām, Kitāb az-Zakāh)

“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh penghuni langit.”

Hadis ini menegaskan bahwa zakat bukan hanya hubungan ekonomi, tapi hubungan cinta.
Ketika memberi, kita sedang menyalurkan kasih sayang Allah. Zakat menjadi jembatan rahmat — dari langit menuju bumi, dari hati menuju hati.

Fenomena Sosial: Antara Kepemilikan dan Kepedulian

Dunia hari ini dipenuhi paradoks. Ada yang membuang makanan, ada yang kelaparan di seberang jalan. Ada yang membeli pakaian mewah, sementara tetangga menambal baju lamanya.
Zakat hadir untuk menyeimbangkan ketimpangan itu, bukan dengan paksaan, tapi dengan kesadaran.

Ibn Hajar menulis zakat dalam Bulūgh al-Marām dengan bahasa hukum, tapi bila dibaca dengan rasa, setiap pasalnya adalah panggilan hati. Zakat bukan beban negara, tapi tanggung jawab nurani.

مَنْ أَدَّى زَكَاةَ مَالِهِ فَقَدْ أَذْهَبَ اللهُ عَنْهُ شَرَّهُ
(HR. At-Tabarānī, Bulūgh al-Marām, Kitāb az-Zakāh)

“Barang siapa menunaikan zakat hartanya, maka Allah akan menghilangkan keburukan darinya.”

Hadis ini memberi makna yang lebih luas: keburukan bukan hanya kemiskinan, tapi juga penyakit hati — kikir, sombong, dan rakus. Dengan zakat, manusia belajar menundukkan ego dan berbagi rezeki.

Zakat Sebagai Jalan Cinta kepada Sesama dan Tuhan

Zakat bukanlah beban, tetapi cara Tuhan mengajarkan kita mencintai dengan benar.
Ketika kita memberi, kita sedang menyalurkan cinta yang berasal dari-Nya.
Ketika kita membantu orang lain, kita sedang menolong diri sendiri.
Dan ketika harta keluar karena Allah, keberkahan mengalir masuk ke hati.

Dalam masyarakat yang serba kompetitif, zakat mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati bukan pada seberapa banyak yang dimiliki, tetapi seberapa ikhlas kita berbagi. Ibn Hajar menulis dengan keilmuan yang dalam, tetapi maknanya tetap membumi — karena zakat adalah pelajaran tentang kemanusiaan, bukan sekadar angka.

Refleksi: Membiarkan Rahmat Mengalir Lewat Dompet

Barangkali di situlah keindahan Islam. Ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antarsesama.
Dompet, yang sering menjadi simbol ego dan kepemilikan, dalam zakat justru menjadi jembatan rahmat. Maka, biarkan zakat mengalir — sebab di setiap aliran, ada cinta yang kembali kepada kita dengan cara yang tak terduga.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement