Surau.co. Cinta sering kali tumbuh tanpa suara. Ia seperti embun pagi yang menempel di dedaunan—tenang, jernih, namun menyejukkan siapa pun yang merasakannya. Dalam kehidupan modern yang serba terbuka, ekspresi cinta sering kali ditunjukkan dengan cara yang bising: unggahan foto, kata-kata manis di media sosial, hingga pernyataan yang terlampau terbuka. Namun, Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi mengajarkan bentuk cinta yang lebih dalam dan tenang: cinta yang dijaga dalam diam, namun nyata dalam akhlak, seperti akhlak romantis ala Nabi.
Dalam Islam, cinta bukan sekadar rasa, tapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah menampilkan cinta dengan cara berlebihan, tetapi melalui ketulusan, kesabaran, dan keindahan budi pekerti. Itulah cinta yang tidak sekadar menggetarkan hati, tetapi juga menuntun jiwa menuju kedewasaan iman.
Meneladani Akhlak Romantis Nabi ﷺ
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, bab Husnul Khuluq (Akhlak yang Baik), menukil sabda Nabi ﷺ:
« خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي »
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Kalimat ini menjadi fondasi cinta dalam Islam: kebaikan dan kelembutan adalah inti dari romantisme sejati. akhlak romantis Nabi ﷺ menunjukkan cinta bukan dengan kata manis, tetapi dengan perhatian kecil—menemani istrinya makan, mendengarkan keluhannya, dan menenangkan hatinya dengan senyum.
Dalam riwayat Aisyah ra., beliau pernah berlomba lari dengan Nabi ﷺ. Ketika Aisyah menang, Nabi tersenyum dan tidak merasa kalah. Namun di kesempatan lain, saat Nabi menang, beliau berkata sambil tersenyum, “Kemenangan ini membalas yang dulu.”
Sebuah bentuk cinta yang lembut, penuh canda, namun tetap menjaga kehormatan.
Dari kisah itu, Imam Nawawi menegaskan bahwa kelembutan dan canda yang baik dalam rumah tangga adalah bagian dari sunnah. Cinta bukan hanya keseriusan, tetapi juga ruang untuk berbagi tawa dengan penuh kasih.
Cinta yang Diam-Diam Menjaga, Bukan Diam-Diam Melukai
Fenomena cinta diam-diam sering diidentikkan dengan perasaan yang tak tersampaikan. Namun dalam pandangan Riyadhus Shalihin, diam bukan berarti pasif, melainkan bentuk penjagaan terhadap kehormatan hati. Imam Nawawi menafsirkan bahwa menjaga perasaan agar tidak menjerumuskan diri pada maksiat adalah bagian dari jihad nafsu.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini tidak hanya melarang perbuatan, tapi juga menegur langkah-langkah kecil yang mendekatkan diri pada dosa. Menyimpan cinta dalam hati bukan berarti mematikan perasaan, melainkan mengelolanya agar tidak melampaui batas yang Allah ridhai.
Cinta yang dijaga dalam diam adalah bentuk taqwa emosional—kesadaran bahwa perasaan juga harus tunduk pada aturan Ilahi. Dalam keheningan itu, seorang mukmin belajar sabar, ikhlas, dan percaya bahwa jika cinta itu suci, maka Allah akan menjaganya hingga tiba waktunya.
Romantisme sebagai Akhlak
Imam Nawawi menulis dalam Riyadhus Shalihin:
« الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، أَعْلَاهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ »
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang, yang tertinggi adalah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Muslim)
Rasa malu (haya’) yang dimaksud bukan ketakutan untuk mencintai, tetapi malu untuk melanggar batas-batas Allah. Dalam konteks cinta, ini berarti menjaga tutur kata, menjaga pandangan, dan menjaga hati agar tetap suci.
Romantisme dalam Islam bukanlah ajang untuk pamer perasaan, melainkan amal ibadah dalam bentuk kasih sayang yang tertata. Nabi ﷺ menunjukkan bahwa cinta sejati tidak perlu diumbar, cukup dihidupi dengan akhlak yang lembut dan niat yang lurus.
Cinta Sebagai Cermin Iman dan Kesabaran
Cinta adalah ujian bagi kesabaran. Kadang seseorang mencintai tapi tidak memiliki; kadang memiliki namun diuji dengan kehilangan. Dalam dua keadaan itu, Islam mengajarkan keseimbangan antara cinta dan ridha.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ »
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan; dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan.”
(HR. Tirmidzi)
Cinta yang diuji adalah cinta yang dimuliakan. Dalam pandangan Imam Nawawi, sabar dan ridha adalah buah dari keimanan yang matang. Karena itu, seseorang yang mampu mencintai tanpa melanggar batas dan tetap sabar dalam penantian, sejatinya sedang beribadah dalam diam.
Menyelipkan Doa dalam Diam
Salah satu tanda cinta yang tulus adalah mendoakan dalam diam. Tidak perlu diketahui siapa pun, cukup Allah yang tahu isi hati. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menyebut hadis dari Abu Darda ra., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
« دَعْوَةُ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ »
“Doa seorang Muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan saudaranya itu akan dikabulkan.”
(HR. Muslim)
Cinta dalam diam menemukan bentuk terbaiknya di sini: ketika seseorang tidak menuntut balasan, tapi hanya menitipkan perasaan itu dalam doa. Ia tidak menuntut agar dicintai balik, melainkan berharap agar orang yang dicintai mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.
Inilah cinta yang tidak melemahkan, melainkan menguatkan jiwa. Sebab, dalam doa yang diam itu, hati belajar melepaskan dengan ikhlas tanpa kehilangan rasa kasih.
Dunia yang Bising, Cinta yang Sunyi
Zaman ini sering membuat kita lupa bahwa cinta sejati tak butuh panggung. Media sosial menampilkan kasih dalam bentuk yang seragam: foto, ucapan ulang tahun, atau status romantis. Padahal, cinta yang sesungguhnya tidak perlu disorot, ia bekerja dalam keheningan—dalam kesetiaan, dalam pengorbanan kecil yang tak terlihat.
Nabi ﷺ menunjukkan cinta kepada Khadijah bukan dengan ucapan berlebihan, tetapi dengan setia mengenang dan menghormatinya bahkan setelah wafat. Ketika beliau mendapat hadiah kambing, beliau memerintahkan agar sebagian dikirim kepada sahabat-sahabat Khadijah. Ketika Aisyah bertanya mengapa, beliau menjawab,
“Aku masih mengingat kasih dan kebaikan Khadijah.”
Cinta Nabi ﷺ tidak mati oleh waktu; ia hidup dalam akhlak dan kesetiaan.
Penutup: Cinta yang Tidak Bising, Tapi Menumbuhkan
Cinta dalam diam bukan cinta yang lemah. Ia justru bentuk tertinggi dari kematangan jiwa. Dalam keheningan itu, seseorang belajar menahan diri, menata niat, dan menumbuhkan kasih yang selaras dengan ridha Allah.
Seperti bunga yang mekar tanpa suara, cinta yang terjaga tidak perlu diumumkan agar indah. Ia hanya perlu dirawat dengan sabar dan dijaga dengan doa.
Maka, jika hatimu mencintai seseorang, jagalah perasaan itu dengan akhlak. Biarlah diammu menjadi bukti kedewasaan, bukan tanda ketakutan. Karena dalam diam yang sabar, Allah menulis takdir dengan tinta yang paling lembut.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
