Surau.co. Kita hidup di masa ketika banyak orang bersemangat “menegur atas nama kebaikan,” tapi lupa cara melakukannya dengan kasih sayang. Di media sosial, di ruang publik, bahkan di lingkungan ibadah, sering kali semangat menasihati berubah menjadi ajang menghakimi.Padahal, semangat Islam bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk memperbaiki.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin membahas secara mendalam tentang adab amar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan). Beliau menulis bab khusus berjudul باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر — Bab Perintah kepada Kebaikan dan Larangan dari Keburukan. Namun yang menarik, Imam Nawawi tidak memulai bab ini dengan perintah yang keras, melainkan dengan spirit kelembutan.
Ia menegaskan, menasihati harus lahir dari hati yang tulus, bukan dari ego yang ingin merasa lebih suci. Karena di mata Allah, bukan kerasnya teguran yang bernilai, tetapi niat dan kelembutan yang mengantarkan seseorang kepada perbaikan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَٰلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Namun Imam Nawawi menambahkan penjelasan penting dalam syarahnya:
«وَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ وَبِغَيْرِ عُنْفٍ»
“Dan wajib (dalam menasihati) dilakukan dengan kelembutan, kasih sayang, dan tanpa kekerasan.”
Inilah pesan besar beliau: peduli tidak sama dengan menghakimi.
Peduli Itu Menyembuhkan, Bukan Menyudutkan
Sering kali seseorang menasihati dengan niat benar, tapi caranya justru melukai. Ucapan yang seharusnya menuntun malah menjauhkan.
Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menempatkan bab amar ma’ruf nahi munkar di antara bab keikhlasan dan kesabaran — seakan mengingatkan bahwa kepedulian sejati lahir dari dua hal: niat yang ikhlas dan hati yang sabar.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.”(QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini tidak hanya bicara tentang isi nasihat, tapi juga cara menyampaikannya. Hikmah dan kelembutan adalah dua sayap yang membuat nasihat bisa terbang menuju hati.
Sayangnya, di zaman media sosial, nasihat sering kehilangan dua hal itu. Kita terlalu cepat menilai, terlalu gemar mengoreksi, tapi jarang benar-benar memahami.
Kepedulian sejati tidak sibuk mencari kesalahan, melainkan mencari cara agar orang lain tidak terjatuh pada kesalahan yang sama.
Cermin dari Hati yang Lembut
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi juga mengutip hadis yang menunjukkan betapa pentingnya memiliki hati yang lembut dalam memperlakukan sesama:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللَّهُ
“Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lembut kepada orang lain bukan berarti lemah, tapi tanda kedewasaan. Orang yang hatinya lembut mampu memahami bahwa manusia adalah makhluk yang sedang berproses.
Bahkan Rasulullah ﷺ, sosok paling tegas dalam kebenaran, tetap dikenal dengan kelembutannya. Dalam sirah disebutkan bahwa ketika seorang Badui kencing di masjid, para sahabat marah. Namun Rasulullah ﷺ berkata dengan tenang:
“Biarkan dia selesai. Siram bekasnya dengan air. Kalian diutus untuk memudahkan, bukan mempersulit.”
Inilah contoh sempurna dari kepedulian yang menyembuhkan, bukan menyudutkan. Ia memperbaiki tanpa mempermalukan.
Antara Amar Ma’ruf dan Etika Sosial
Menjadi Muslim yang peduli berarti berani peduli pada kebaikan bersama. Namun Imam Nawawi menekankan bahwa dalam amar ma’ruf nahi munkar, ada adab sosial yang tidak boleh dilanggar.
Beliau menulis dalam Riyadhus Shalihin:
«لَا يَنْبَغِي أَنْ يُنْكِرَ فِي الْمَلَأِ عَلَى مَنْ يُخَافُ مِنْهُ الْفِتْنَةُ أَوِ الْفَسَادُ»
“Tidak selayaknya seseorang menegur di depan umum jika hal itu bisa menimbulkan fitnah atau kerusakan.”
Artinya, seorang Muslim yang peduli harus cerdas membaca situasi. Tidak semua kebenaran harus disampaikan di ruang publik, apalagi jika cara itu justru menimbulkan permusuhan.
Nasihat yang benar disampaikan di waktu yang tepat, dengan nada yang tepat, dan dengan hati yang tulus. Inilah bentuk kepedulian yang sejati — bukan hanya benar secara isi, tapi juga indah dalam cara.
Antara Teguran dan Empati
Kepedulian sejati selalu mengandung empati. Ia menuntun, bukan menghakimi. Ia mengulurkan tangan, bukan menuding jari.
Rasulullah ﷺ menggambarkan umat Islam sebagai satu tubuh.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang dan kepedulian mereka seperti satu tubuh; jika satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika umat Islam adalah satu tubuh, maka menghakimi sama saja dengan melukai diri sendiri.
Kepedulian yang benar adalah ketika seseorang berusaha menyembuhkan bagian tubuh yang luka, bukan memotongnya karena dianggap rusak.
Menghidupkan Jiwa Sosial di Tengah Dunia Individual
Kita kini hidup di balik “tembok digital” — berinteraksi tanpa benar-benar hadir, berbagi opini tanpa benar-benar peduli. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menekankan pentingnya solidaritas sosial melalui hadis-hadis tentang tolong-menolong, menjenguk orang sakit, dan saling mendoakan.
Salah satunya, beliau mengutip hadis Nabi ﷺ:
اللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa peduli kepada orang lain adalah bentuk ibadah yang mengundang pertolongan Allah. Menjadi Muslim yang peduli berarti peka terhadap kesulitan orang lain, bukan sibuk memperdebatkan siapa yang salah.
Kita bisa memulai dari hal kecil: mendengar tanpa menghakimi, menolong tanpa pamrih, dan mendoakan tanpa diketahui. Itulah amal yang besar dalam pandangan Allah.
Ketulusan: Akar dari Segala Kepedulian
Imam Nawawi meletakkan bab Ikhlas di bagian awal Riyadhus Shalihin. Itu bukan tanpa alasan. Sebab, semua amal — termasuk amar ma’ruf nahi munkar — akan kehilangan ruhnya tanpa keikhlasan.
Beliau menulis:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”
Tanpa niat yang benar, kepedulian bisa berubah menjadi panggung ego. Kita menasihati bukan untuk memperbaiki, tapi untuk terlihat lebih baik. Kita menegur bukan karena cinta, tapi karena ingin diakui. Padahal, kepedulian yang sejati tidak membutuhkan tepuk tangan. Ia bekerja diam-diam, tapi mengubah banyak hal.
Penutup: Dari Menghakimi ke Menyembuhkan
Dunia hari ini tidak kekurangan orang yang benar, tapi kekurangan orang yang benar-benar peduli. Kita mudah berkata “itu salah,” tapi sulit berkata “aku ada untuk membantu.” Kita cepat menilai, tapi lambat memahami.
Imam Nawawi, melalui Riyadhus Shalihin, seolah menegur kita dengan lembut: Menjadi Muslim bukan hanya tentang benar secara hukum, tapi juga indah secara akhlak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)
Jadi, mari menjadi Muslim yang peduli, bukan cuma menghakimi.
Karena di balik setiap hati yang salah arah, selalu ada harapan untuk berubah — jika ada tangan yang mengulurkan, bukan jari yang menuding. Dan bukankah itulah hakikat rahmatan lil ‘alamin — menjadi rahmat bagi semesta?
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
