Khazanah
Beranda » Berita » Sabar Bukan Pasrah: Keteguhan Hati di Tengah Krisis Dilihat dari Riyadhus Shalihin

Sabar Bukan Pasrah: Keteguhan Hati di Tengah Krisis Dilihat dari Riyadhus Shalihin

Laki-laki muslim berdiri teguh di tengah badai diterangi cahaya lembut, melambangkan sabar bukan pasrah dalam pandangan Riyadhus Shalihin.
Ilustrasi realistik dan filosofis: seorang laki-laki muslim berdiri di tengah padang luas dengan angin bertiup kencang, namun wajahnya tenang menatap langit, cahaya lembut menerangi sekelilingnya — simbol kekuatan sabar dan keteguhan hati di tengah badai kehidupan.

Surau.co. Dalam hidup, setiap orang pasti berhadapan dengan krisis — kehilangan pekerjaan, dikhianati, atau gagal mencapai cita-cita. Di saat seperti itu, banyak orang berkata, “Bersabarlah.” Namun, sering kali sabar disalahpahami sebagai bentuk pasrah tanpa usaha, seolah cukup menerima keadaan tanpa berbuat apa-apa. Padahal, dalam pandangan Islam, sabar adalah kekuatan aktif, bukan kepasrahan pasif.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin menempatkan bab tentang sabar di awal kitab, setelah bab niat. Ini menunjukkan betapa pentingnya sabar sebagai fondasi amal. Menurut beliau, sabar adalah kemantapan hati dalam menghadapi cobaan sambil tetap berpegang teguh pada perintah Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

« وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ »
“Barang siapa berusaha bersabar, maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa sabar bukan sikap pasif, melainkan latihan jiwa yang mendatangkan pertolongan Ilahi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Sabar dalam Perspektif Riyadhus Shalihin

Dalam Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi mengumpulkan puluhan hadis yang berbicara tentang makna sabar, mulai dari sabar dalam menghadapi musibah hingga sabar dalam ketaatan. Beliau menulis:

قال الإمام النووي رحمه الله: “الصبر حبس النفس عن الجزع، وحبس اللسان عن الشكوى، وحبس الجوارح عن المعاصي.”
“Sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota tubuh dari berbuat dosa.”

Penjelasan ini memperlihatkan bahwa sabar adalah tindakan sadar yang melibatkan seluruh aspek diri — pikiran, ucapan, dan perbuatan. Sabar bukan berarti berhenti berjuang, melainkan mengatur emosi agar tetap selaras dengan kehendak Allah.

Sabar menuntut disiplin batin. Ia membuat manusia tetap tegar meski badai datang bertubi-tubi, karena di balik setiap kesulitan, ada janji kemudahan yang pasti.

Allah ﷻ berfirman:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

﴿ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴾
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh [94]: 5–6)

Ayat ini bukan penghiburan kosong, melainkan janji yang menguatkan hati orang beriman agar terus berusaha tanpa kehilangan arah.

Sabar Bukan Pasrah: Antara Usaha dan Tawakal

Banyak orang keliru memaknai sabar sebagai bentuk pasrah total, menyerah kepada keadaan. Padahal, sabar sejati selalu berjalan beriringan dengan tawakal — yaitu menyerahkan hasil kepada Allah setelah melakukan ikhtiar terbaik.

Rasulullah ﷺ memberi teladan luar biasa dalam hal ini. Ketika beliau hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau tidak hanya berdoa agar selamat, tetapi juga menyusun strategi matang: memilih waktu malam, bersembunyi di gua Tsur, dan meminta bantuan sahabat terpercaya. Inilah bentuk sabar aktif — ikhtiar yang disertai keyakinan penuh kepada Allah.

Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menegaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“ليس الصبر أن تسكت عن العمل، ولكن الصبر أن تعمل وقلبك مطمئن بقدر الله.”
“Sabar bukan berarti berhenti berusaha, tetapi tetap beramal sambil menenangkan hati terhadap takdir Allah.”

Sabar bukan pasrah tanpa tindakan, tapi keteguhan hati yang menolak putus asa. Orang yang sabar tetap bergerak, karena ia tahu bahwa pertolongan Allah datang kepada mereka yang terus berjuang.

Keteguhan Hati dalam Krisis: Pelajaran dari Nabi Ayub

Salah satu teladan kesabaran terbesar dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ayub عليه السلام. Beliau kehilangan harta, keluarga, dan kesehatan, namun hatinya tetap teguh. Dalam doanya, beliau berkata:

﴿ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ ﴾
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya [21]: 83)

Perhatikan, Nabi Ayub tidak mengeluh dengan nada kecewa. Beliau hanya menyampaikan keadaan dengan penuh adab. Beliau tidak meminta agar penderitaannya dihapus, tetapi menyerahkan waktunya kepada Allah. Itulah hakikat sabar yang sejati — tetap beriman di tengah kehilangan.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa kesabaran Nabi Ayub adalah contoh kesempurnaan iman dan cinta kepada Allah, karena ia tidak pernah marah pada takdir, bahkan dalam derita yang panjang.

Krisis Sebagai Ujian, Bukan Hukuman

Ketika krisis datang, kita sering bertanya, “Mengapa aku?” Padahal, krisis bukan selalu hukuman, melainkan ujian untuk mengukur kadar keimanan.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴾
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Ayat ini menunjukkan bahwa krisis adalah bagian alami dari perjalanan spiritual manusia. Allah tidak menimpakan ujian untuk menghancurkan, tetapi untuk meninggikan derajat. Orang yang sabar tidak melihat krisis sebagai akhir, melainkan sebagai proses pembentukan diri.

Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menyebutkan bahwa sabar adalah ciri orang mukmin sejati, karena mereka yakin bahwa setiap ujian mengandung rahmat tersembunyi yang hanya dapat dilihat oleh hati yang tenang.

Sabar yang Menumbuhkan Kekuatan Jiwa

Sabar bukan hanya kemampuan bertahan, tapi juga sumber energi spiritual. Orang yang sabar mampu berpikir jernih saat orang lain panik. Ia tetap berbuat baik ketika dunia terasa tak adil.

Rasulullah ﷺ bersabda:

« عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ… إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ »
“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Semua urusannya adalah kebaikan. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan jika tertimpa kesusahan, ia bersabar — dan itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Hadis ini mengajarkan keseimbangan spiritual. Sabar dan syukur adalah dua sayap iman. Dengan sabar, seseorang tetap terbang meski angin kehidupan kencang.

Imam Nawawi menulis bahwa sabar adalah tiang utama keimanan, sebagaimana kepala bagi tubuh. Tanpa sabar, iman tidak akan tegak.

Menumbuhkan Sabar di Tengah Krisis

Sabar tidak muncul tiba-tiba; ia tumbuh melalui latihan jiwa. Ada beberapa cara menumbuhkan sabar yang diajarkan dalam Riyadhus Shalihin:

  1. Menguatkan niat dan kesadaran bahwa semua terjadi dengan izin Allah.
  2. Melatih diri menahan reaksi spontan, seperti marah, mengeluh, atau panik.
  3. Menjaga lisan, karena keluh kesah hanya memperberat beban jiwa.
  4. Membiasakan doa, sebab doa menenangkan hati dan mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah selalu dekat.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153)

Ayat ini menegaskan bahwa sabar bukan hanya sikap mental, melainkan ibadah yang menghadirkan kebersamaan dengan Allah.

Sabar Sebagai Bentuk Keteguhan Hati

Sabar tidak mengubah keadaan seketika, tetapi mengubah cara kita memandang keadaan. Orang yang sabar tidak menunggu badai reda, tapi menari di tengah hujan. Ia memahami bahwa setiap ujian adalah peluang untuk mendekat kepada Sang Pencipta.

Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menulis:

“إذا علم العبد أن البلاء من الله، رضي وصبر، فصار البلاء نعمة.”
“Jika seorang hamba tahu bahwa ujian datang dari Allah, maka ia ridha dan bersabar, sehingga ujian itu menjadi nikmat.”

Artinya, sabar sejati melahirkan keteguhan hati — bukan karena krisisnya ringan, tapi karena imannya kuat.

Sabar bukan sekadar menunggu keajaiban datang, tapi menjadi bagian dari keajaiban itu sendiri. Orang yang sabar tidak kehilangan arah meski semua tampak gelap, karena cahaya keyakinan selalu menyala di dadanya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement