Surau.co. Di kota-kota besar, tembok tinggi kini bukan hanya pembatas rumah, tetapi juga jarak hati antar manusia. Di kompleks perumahan modern, tetangga sering tidak saling kenal, bahkan lupa nama satu sama lain. Setiap orang sibuk mengejar kenyamanan pribadi, namun kehilangan kehangatan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana “tembok sosial” tumbuh di tengah masyarakat modern — tembok yang memisahkan rasa peduli, solidaritas, dan empati. Padahal, Islam sejak awal menekankan pentingnya hubungan bertetangga. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menulis bab khusus Bab Birril Jār (Bab Berbuat Baik kepada Tetangga).
Beliau memulai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril terus-menerus berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku menyangka bahwa tetangga akan diberi hak waris.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya posisi tetangga dalam Islam. Bukan sekadar orang yang tinggal di dekat kita, tapi bagian dari ruang tanggung jawab sosial dan spiritual.
Makna Tetangga dalam Pandangan Islam
Dalam bahasa Arab, jār (tetangga) bermakna “orang yang dekat tempat tinggalnya.” Namun dalam pemaknaan ruhani, tetangga bukan sekadar jarak fisik, tapi juga kedekatan batin. Imam Nawawi menjelaskan:
«الْجَارُ مَنْ كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ أَرْضٌ قَرِيبَةٌ، وَيَجِبُ الإِحْسَانُ إِلَيْهِ وَكَفُّ الأَذَى عَنْهُ»
“Tetangga adalah orang yang berdekatan tempatnya denganmu, dan wajib bagimu berbuat baik kepadanya serta menahan diri dari menyakitinya.”
Artinya, berbuat baik kepada tetangga bukan hanya kewajiban sosial, tapi juga ibadah.
Dalam sebuah ayat, Allah menegaskan:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.”
(QS. An-Nisa’: 36)
Ayat ini memperlihatkan bahwa hubungan bertetangga ditempatkan sejajar dengan hubungan keluarga dan kerabat dekat. Maka, ketika seseorang menjaga hubungan baik dengan tetangganya, sejatinya ia sedang menjaga hubungan dengan Allah.
Tetangga Sebagai Cermin Akhlak
Sikap terhadap tetangga mencerminkan akhlak sejati seseorang. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan hubungan langsung antara iman dan sikap sosial. Seorang Muslim sejati tidak akan mengganggu, mengeluh, apalagi meremehkan tetangganya. Bahkan Imam Nawawi menjelaskan bahwa sekadar menahan gangguan saja sudah bernilai ibadah.
Di tengah lingkungan modern yang individualistis, menjaga sopan santun dengan tetangga adalah bentuk jihad kecil: melawan egoisme. Kita diajak menahan diri dari hal-hal yang tampak sepele — seperti memutar musik keras, memarkir sembarangan, atau acuh terhadap kesusahan tetangga.
Menjembatani Tembok Sosial dengan Kebaikan
Kita sering berpikir bahwa berbuat baik harus besar — memberi bantuan finansial atau donasi. Padahal, dalam pandangan Nabi ﷺ, senyum dan perhatian pun adalah bentuk ihsan (kebaikan).
Beliau bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, walau hanya dengan berwajah ceria ketika bertemu saudaramu.”
(HR. Muslim)
Senyum, sapaan, dan kehadiran ringan bisa jadi jembatan untuk mencairkan kebekuan sosial. Dalam konteks modern, menyapa tetangga di lift, menanyakan kabar, atau sekadar menawarkan makanan kecil bisa menjadi bentuk dakwah yang lembut.
Imam Nawawi dalam komentarnya atas hadis-hadis ini menulis:
«الإِحْسَانُ إِلَى الْجَارِ يَدُلُّ عَلَى كَمَالِ الْإِيمَانِ وَنُضْجِ الْأَخْلَاقِ»
“Berbuat baik kepada tetangga menunjukkan kesempurnaan iman dan kematangan akhlak.”
Maka, tetangga yang baik bukan sekadar “tidak mengganggu”, tetapi aktif menebar kebaikan — menjadi sumber rasa aman dan nyaman bagi sekitarnya.
Tetangga di Era Digital: Dari Dunia Nyata ke Dunia Maya
Di zaman media sosial, makna bertetangga meluas. “Tetangga” tidak lagi terbatas pada rumah sebelah, tetapi juga teman virtual, rekan kantor, dan komunitas daring yang setiap hari kita temui di layar. Namun, di ruang maya, batas adab sering kali kabur.
Komentar tajam, sindiran, dan perdebatan sering muncul tanpa kontrol emosi. Padahal prinsip birrul jār tetap berlaku: jangan menyakiti orang lain dengan “lisannya” — termasuk lisannya yang berupa jari-jarinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks modern, tangan bisa berarti keyboard, dan lisan bisa berarti status media sosial. Maka menjadi “tetangga baik digital” berarti menjaga ucapan, menghormati pandangan, dan tidak mempermalukan orang lain di ruang publik.
Menghidupkan Kembali Budaya Kepedulian
Kehidupan bertetangga di masa Nabi ﷺ sangat hangat. Mereka saling memberi makanan, saling menjaga anak, bahkan ikut menghibur bila ada yang berduka.
Sebuah hadis menyebut:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai para wanita Muslim, janganlah seorang tetangga meremehkan pemberian kepada tetangganya, walau hanya kaki kambing (bagian kecil).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Nilai ini seolah sirna di kota besar. Dapur-dapur kini tertutup rapat, pintu-pintu digembok, dan suara azan nyaris tak terdengar karena kaca berlapis peredam. Padahal, secangkir teh yang diantar ke rumah tetangga bisa menjadi awal keakraban.
Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menulis bahwa kebaikan kepada tetangga merupakan ‘amal shaleh yang paling dicintai Allah karena menumbuhkan kedamaian sosial.
«وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى جَارِهِ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَالنَّاسُ»
“Barang siapa berbuat baik kepada tetangganya, Allah dan manusia mencintainya.”
Menjadi Penjaga Rasa Aman
Tetangga bukan hanya soal berbagi kebahagiaan, tapi juga menjaga keamanan bersama.
Di banyak kisah klasik Islam, para sahabat dikenal saling melindungi rumah tetangga ketika yang bersangkutan bepergian. Mereka saling memastikan lampu tidak padam, anak-anak tidak kelaparan, dan tidak ada yang sakit tanpa bantuan.
Kini, di tengah kehidupan modern yang individualistis, praktik sederhana ini bisa dimulai lagi: menjaga paket kiriman tetangga, memberi kabar bila ada hal mencurigakan, atau sekadar menyalakan lampu rumah tetangga yang sedang mudik.
Tindakan kecil, tapi memiliki makna sosial dan spiritual besar.
Tetangga Sebagai Jalan Menuju Surga
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ
Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Betapa tegas Nabi ﷺ menegur perilaku buruk terhadap tetangga. Keimanan bukan hanya pengakuan di lidah, tetapi dirasakan oleh orang di sekitar kita. Jika tetangga merasa tenang dengan kehadiran kita, maka iman kita hidup. Tapi jika kehadiran kita menimbulkan resah, mungkin iman itu hanya sebatas kata.
Penutup: Meruntuhkan Tembok Sosial dengan Cinta
Menjadi tetangga yang baik bukan sekadar kewajiban sosial, tapi jalan menuju kemuliaan spiritual. Kita tidak bisa memilih siapa yang tinggal di sebelah rumah, tapi kita bisa memilih bagaimana memperlakukan mereka.
Tembok fisik mungkin tak bisa diruntuhkan, tapi tembok sosial bisa dilunakkan dengan senyum, sapaan, dan kepedulian.
Seperti kata Imam Nawawi, “Al-ihsān ilal-jār miftāhul mawaddah” — berbuat baik kepada tetangga adalah kunci kasih sayang.
Di dunia yang makin bising dan penuh kecurigaan, menjadi tetangga yang baik adalah bentuk jihad sosial yang paling halus.
Karena di balik dinding rumah kita, ada hati yang mungkin kesepian, ada keluarga yang butuh uluran tangan, dan ada kesempatan untuk menjadi hamba yang dicintai Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
