Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Baperan: Seni Menjaga Lisan Menurut Imam Nawawi Dalam Kitab Riyadhus Shalihin

Jangan Baperan: Seni Menjaga Lisan Menurut Imam Nawawi Dalam Kitab Riyadhus Shalihin

Seorang pria duduk tenang di tengah keramaian, melambangkan seni menjaga lisan dan ketenangan hati.
Lukisan digital bergaya realistik-filosofis menampilkan seorang pria duduk di taman kota saat senja. Di sekelilingnya orang-orang tampak berbicara keras, namun ia diam tenang, memejam mata, sembari tersenyum. Cahaya keemasan menerpa wajahnya, melambangkan kedewasaan dan ketenangan hati.

Surau.co. Kita hidup di era di mana kata-kata bisa menyebar lebih cepat dari niat. Sekali “enter” ditekan, ucapan digital yang keluar tak bisa ditarik kembali. Dari ruang rapat hingga kolom komentar, dari obrolan grup kantor hingga media sosial, banyak dari kita mudah tersinggung—mudah “baper”—hanya karena kata-kata.

Fenomena “baperan” bukan hanya soal emosi, tapi cermin dari cara manusia memperlakukan lisan. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menulis satu bab khusus berjudul Babu Hifzhil Lisan—Bab Menjaga Lisan. Baginya, lisan adalah cermin hati. Ketika hati kotor, lisan menjadi senjata yang menyakiti. Tapi ketika hati bersih, lisan menjadi sumber kedamaian.

Dalam salah satu hadits yang dikutip Imam Nawawi, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini bukan sekadar perintah etika, tapi panduan spiritual yang sangat relevan untuk dunia modern. Ia menegaskan bahwa iman tidak hanya diukur dari ibadah ritual, tetapi juga dari kemampuan menjaga lisan. Di tengah derasnya arus opini dan debat maya, menjaga kata menjadi tanda kebijaksanaan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Lisan yang Menyayat Lebih Dalam dari Pedang

Kata bisa menyembuhkan, tapi juga bisa melukai lebih dalam daripada pedang. Di kantor, di ruang keluarga, bahkan di komunitas keagamaan, banyak konflik bermula dari lisan yang tak terkendali.
Imam Nawawi mengutip sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kata tanpa berpikir panjang, lalu kata itu menjerumuskannya ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menggambarkan bahwa lisan, meski kecil, memiliki dampak besar pada kehidupan dan akhirat seseorang. Dalam konteks modern, “kata” bukan hanya yang keluar dari mulut, tapi juga yang kita tulis di ponsel dan unggah ke dunia maya.

Imam Nawawi menjelaskan:

«يَنْبَغِي أَنْ يَحْفَظَ الْإِنْسَانُ لِسَانَهُ كَمَا يَحْفَظُ جَوَارِحَهُ»
“Selayaknya seseorang menjaga lisannya sebagaimana ia menjaga anggota tubuhnya yang lain.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Menjaga lisan berarti menjaga hati dari reaksi berlebihan. Orang yang mampu menahan diri untuk tidak membalas ucapan tajam dengan kemarahan sedang mempraktikkan seni spiritual yang tinggi—yakni sabar dan sadar.

Baper Itu Reaksi, Menjaga Lisan Itu Kelas

“Baper” sebenarnya manusiawi. Ia adalah respon alami terhadap luka atau ketidaknyamanan batin. Tapi yang membedakan antara orang matang dan emosional adalah cara ia merespons.
Imam Nawawi menegaskan bahwa diam kadang lebih bernilai daripada seribu kata yang tidak perlu. Dalam Riyadhus Shalihin, beliau mengutip hadis Nabi ﷺ:

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ سَخَطِ اللهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh, seseorang mengucapkan satu kata yang diridhai Allah, tanpa menyadarinya, Allah mengangkat derajatnya karenanya. Dan seseorang mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah, tanpa menyadarinya, Allah menjerumuskannya ke dalam neraka karenanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa ucapan sepele bisa berdampak besar. Maka, tidak perlu semua hal ditanggapi. Tidak setiap komentar perlu dibalas.
Orang yang tidak baper bukan berarti tidak punya perasaan, tapi ia memiliki kesadaran untuk mengelola reaksi sebelum bereaksi.

Seni Diam yang Elegan

Diam bukan tanda kalah. Diam bisa jadi bentuk kemenangan paling elegan.
Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengutip sabda Rasulullah ﷺ yang indah:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

الصَّمْتُ حِكْمَةٌ وَقَلِيلٌ فَاعِلُهَا
“Diam adalah hikmah, namun sedikit orang yang mampu melakukannya.”
(HR. Baihaqi)

Diam dalam konteks ini bukan berarti pasif, melainkan kemampuan menahan diri ketika bicara hanya akan memperkeruh suasana.
Dalam kehidupan modern, “diam” bisa berarti menunda komentar, tidak ikut menyebar berita yang belum jelas, atau memilih tidak berdebat ketika tidak ada manfaatnya.

Imam Nawawi menulis:

«الصمت سلامة، ومن تكلم ندم»
“Diam itu keselamatan, dan siapa yang banyak bicara akan banyak menyesal.”

Kata-kata yang keluar dari lisan seharusnya menambah nilai, bukan menambah luka. Orang yang belajar seni diam, sejatinya sedang belajar mengenal dirinya sendiri.

Lisan dan Kebersihan Hati

Menjaga lisan bukan hanya soal etika berbicara, tapi tentang kebersihan hati.
Dalam sebuah ayat, Allah berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Ayat ini menggugah kesadaran bahwa setiap ucapan terekam, baik di dunia maupun di langit. Maka, berbicara bukan hanya urusan sosial, tapi juga urusan spiritual.

Dalam pandangan Imam Nawawi, menjaga lisan sama dengan menjaga hati dari penyakit riya, sombong, dan iri. Sebab, kata lahir dari isi batin. Jika hati bersih, kata akan menenangkan. Tapi bila hati keruh, kata akan menyakiti.

Lisan yang dijaga lahir dari hati yang terjaga. Karenanya, mengurangi komentar, menghindari debat sia-sia, dan menolak ikut ghibah bukan sekadar kesopanan—itu bentuk tazkiyah, penyucian diri.

Media Sosial: Lisan Baru yang Tak Terlihat

Dulu, lisan berarti suara. Kini, lisan juga berarti jari-jari yang mengetik. Imam Nawawi tentu hidup di abad ke-7 Hijriah, tapi hikmahnya terasa relevan di abad ke-21.
Ketika seseorang menulis status atau komentar, ia sejatinya sedang berbicara dengan dunia. Maka, etika lisan juga berlaku untuk etika digital.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

مَنْ صَمَتَ نَجَا
“Barang siapa diam, ia akan selamat.” (HR. Tirmidzi)

Di era media sosial, mungkin sabda itu bisa dimaknai: Barang siapa berpikir sebelum mengetik, ia akan selamat dari penyesalan.
Kata yang ditulis tidak kalah berbahaya dari kata yang diucap. Sekali viral, ia bisa mengubah citra seseorang, bahkan nasibnya. Karena itu, menjaga lisan digital adalah bagian dari iman yang halus tapi nyata.

Sabar, Tidak Baper, dan Kedewasaan Spiritual

Imam Nawawi mengajarkan bahwa diam dan sabar bukan tanda lemah, melainkan kekuatan ruhani.
Dalam Riyadhus Shalihin, beliau menulis bab tentang Ash-Shabr—kesabaran—yang erat kaitannya dengan pengendalian lisan. Beliau menukil ayat:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Ali Imran: 134)

Ayat ini menunjukkan bahwa menahan amarah adalah tanda orang baik. Tidak mudah baper berarti tidak mudah tersinggung oleh hal remeh.
Ketenangan dalam berbicara dan mendengar adalah buah dari hati yang lapang.
Dan hati yang lapang tumbuh dari keyakinan bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban, tapi tidak setiap ucapan perlu dibalas.

Penutup: Menjaga Lisan, Menyelamatkan Hati

Menjaga lisan bukan hanya tentang bagaimana berbicara, tetapi juga tentang bagaimana tidak bereaksi berlebihan terhadap ucapan orang lain.
Seni menjaga lisan adalah seni memahami manusia—bahwa setiap orang berbicara dari latar dan luka yang berbeda. Maka, memilih diam, menahan emosi, dan tidak baper bukan tanda dingin, melainkan bukti kedewasaan spiritual.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
“Tidak akan lurus iman seorang hamba sampai lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sampai lurus lisannya.”
(HR. Ahmad)

Jadi, jangan baperan. Bukan karena kita harus mati rasa, tapi karena kita sedang belajar menjadi dewasa: memilih ucapan yang menenangkan, bukan menyakitkan.
Sebab, sebagaimana kata Imam Nawawi, “Lisan itu kecil bentuknya, namun besar bahayanya.”
Dan siapa yang mampu menjaganya, akan menemukan ketenangan yang tidak bisa dibeli oleh apa pun di dunia.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement