Surau.co. Puasa di bulan Ramadan terasa indah ketika dijalani di rumah atau di lingkungan yang mendukung. Namun, bagaimana jika kita harus berpuasa di tengah hiruk-pikuk kantor? Saat aroma kopi menyeruak dari meja sebelah, rapat panjang membuat kepala berat, dan notifikasi pekerjaan datang tanpa jeda, keikhlasan puasa diuji di titik paling sunyi: di dalam hati.
Bagi banyak pekerja, menahan lapar mungkin mudah, tapi menahan diri dari keluh kesah dan emosi adalah tantangan sebenarnya. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menempatkan bab tentang kesabaran dan keikhlasan tidak jauh dari bab tentang puasa. Ini menunjukkan betapa erat kaitannya puasa dengan dua hal itu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum, melainkan latihan menundukkan ego dan melatih ketenangan batin.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan puasa adalah membentuk ketakwaan, bukan sekadar rutinitas. Maka, ketika seorang karyawan tetap menahan amarah meski ditekan atasan, atau tetap jujur meski bisa curang, di situlah nilai takwa diuji dan dibentuk.
Godaan Kopi dan Simbol Dunia Modern
Bagi sebagian orang, kopi di pagi hari adalah simbol produktivitas. Ia seperti tombol “ON” bagi semangat kerja. Namun, bagi orang yang berpuasa, aroma kopi bisa menjadi ujian batin yang tak terduga. Godaan ini, meski tampak sederhana, sesungguhnya adalah cermin dari ujian dunia modern: menahan diri dari kenikmatan instan.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menulis sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a.:
قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: “الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ”
“Puasa itu perisai. Maka apabila seseorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah berkata kotor atau bertengkar. Jika ada orang yang mencacinya, hendaklah ia berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Terjemahan maknanya sangat dalam. Rasulullah ﷺ menekankan bahwa puasa adalah perisai, pelindung dari godaan nafsu dan ucapan yang merusak. Di tengah dunia kerja yang penuh tekanan dan kompetisi, puasa melatih seseorang untuk tetap teduh meski diguncang suasana.
Bayangkan seorang pegawai di tengah deadline, rekan kerja yang rewel, dan aroma kopi dari pantry. Dalam situasi seperti itu, mengatakan “Inni shaaim” bukan hanya pengingat bahwa dirinya sedang berpuasa, tetapi juga pernyataan spiritual bahwa ia sedang berlatih menjadi manusia yang utuh—mengendalikan diri di atas kesadaran.
Makna Kesabaran Menurut Imam Nawawi
Dalam bab Ash-Shabr (kesabaran), Imam Nawawi menulis dengan lembut namun tajam:
وَاعْلَمْ أَنَّ الصَّبْرَ مِنَ الْإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ
“Ketahuilah bahwa kesabaran bagi iman adalah seperti kepala bagi tubuh.”
Tanpa kesabaran, iman kehilangan arah. Demikian pula, tanpa sabar, puasa kehilangan ruhnya. Maka, puasa di kantor adalah ajang latihan kesabaran yang paling nyata—bukan sekadar menunggu waktu berbuka, tetapi menunggu dengan jiwa yang tenang.
Kesabaran yang dimaksud Imam Nawawi bukanlah diam tanpa reaksi, melainkan pengendalian diri dalam menghadapi situasi sulit. Di dunia kerja modern, kesabaran bisa berarti tetap fokus meski lelah, tetap sopan meski disalahkan, atau tetap optimis meski hasil belum terlihat.
Puasa menjadi sarana menata batin agar tidak mudah galau oleh situasi duniawi. Ketika tubuh lapar, hati justru diberi ruang untuk berpikir jernih. Ketika haus melanda, ruh diberi kesempatan untuk mendengarkan suara lembut dari dalam: “Tenanglah, semua sudah diatur oleh Allah.”
Puasa sebagai Cermin Integritas
Dalam suasana kantor, puasa tidak hanya mengajarkan kesabaran, tetapi juga kejujuran. Tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak. Di sinilah integritas diuji. Imam Nawawi menjelaskan dalam bab Ikhlas bahwa amal seseorang tidak akan bernilai tanpa niat yang tulus:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Bekerja sambil berpuasa membutuhkan niat yang jelas: bahwa pekerjaan itu adalah bagian dari ibadah. Jika niat itu benar, maka setiap laporan, rapat, dan tugas harian akan bernilai ibadah. Namun jika niatnya bergeser, maka puasa bisa menjadi sekadar rutinitas yang kehilangan makna.
Karyawan yang jujur meski sedang lapar adalah simbol seorang mukmin sejati. Ia menunjukkan bahwa ibadah tidak berhenti di masjid, tapi hidup di ruang kerja, di balik meja, di antara tumpukan berkas dan e-mail yang tak berujung.
Antara Kopi dan Ketulusan
Godaan kopi di kantor tidak selalu tentang rasa haus, melainkan tentang kebiasaan dan ketergantungan. Ia bisa diibaratkan sebagai simbol dari segala hal yang membuat manusia sulit lepas dari dunia: kenyamanan, gengsi, dan rutinitas. Puasa melatih kita untuk berkata tidak pada sesuatu yang disukai demi sesuatu yang lebih tinggi nilainya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan jahat, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini adalah tamparan lembut bagi kita semua. Bahwa nilai puasa bukan di perut yang kosong, melainkan di hati yang bersih dan lisan yang terjaga. Maka, puasa di kantor bukan sekadar ujian menahan haus, tapi ujian menahan diri dari gosip, amarah, dan keluhan yang sia-sia.
Menutup Hari dengan Jiwa Tenang
Ketika azan magrib berkumandang di sela bunyi printer dan dering notifikasi, ada rasa damai yang sulit dijelaskan. Seolah seluruh perjuangan hari itu menemukan titik heningnya. Seteguk air menjadi anugerah yang lebih mahal dari segelas kopi.
Puasa mengajarkan kita untuk mencintai kesederhanaan, dan di kantor, pelajaran itu menjadi nyata. Bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari produktivitas semata, tetapi dari sejauh mana hati tetap tenang di tengah hiruk-pikuk dunia.
Penutup: Puasa, Jalan Sunyi yang Menguatkan
Puasa di kantor bukan penghalang produktivitas, justru memperhalus cara kita bekerja. Ia mengajarkan fokus, kesabaran, dan integritas—tiga nilai yang sering terlupakan di dunia kerja modern. Ketika seseorang mampu bekerja dengan hati yang lapang, ia sedang menapaki jalan ruhani menuju ketenangan.
Di tengah aroma kopi yang menggoda, semoga kita menemukan makna kesabaran yang sesungguhnya. Sebab pada akhirnya, puasa bukan tentang menahan lapar, melainkan tentang menemukan rasa cukup di dalam jiwa.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
