Khazanah
Beranda » Berita » Bersyukur Bukan Sekadar Ucapan “Alhamdulillah” Dilihat dari Kitab Riyadhus Shalihin

Bersyukur Bukan Sekadar Ucapan “Alhamdulillah” Dilihat dari Kitab Riyadhus Shalihin

ilustrasi syukur dan ketenangan hati dalam Islam
lukisan realistik-filosofis, siluet seseorang menengadahkan tangan dengan cahaya lembut dari langit

Surau.co. Banyak orang merasa sudah bersyukur hanya karena terbiasa mengucapkan “Alhamdulillah”. Padahal, bersyukur dalam Islam memiliki makna yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar kata yang meluncur dari bibir, tetapi kesadaran hati dan tindakan nyata yang menegaskan bahwa setiap karunia harus dihargai dan dijaga. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menempatkan bab tentang syukur di awal kitab, seakan ingin menunjukkan bahwa syukur adalah fondasi moral seorang hamba dalam menjalani hidup.

Pada era ketika banyak manusia merasa kurang, merasa tertinggal, dan sibuk membandingkan hidupnya dengan orang lain, pembahasan tentang makna syukur menjadi sangat relevan. Kita mengucap “Alhamdulillah”, namun hati tidak tenang, pikiran tidak pernah cukup, dan sikap seringkali masih mengeluh. Di sinilah syukur harus dihidupkan kembali: dari lisan, menuju kesadaran batin, lalu berbuah dalam perbuatan.

Syukur sebagai Perintah Langit

Syukur adalah perintah langsung dari Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ﴾
“Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)

Ayat ini menegaskan bahwa syukur bukan urusan kecil. Ia adalah standar keimanan. Allah tidak hanya menyuruh manusia beribadah, tetapi juga melatih kualitas batin melalui syukur. Inilah sebabnya, menurut Imam Nawawi, syukur menempati posisi utama dalam pembinaan akhlak.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Makna Syukur dalam Hadis dan Penjelasan Imam Nawawi

Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengutip hadis terkenal:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَنْ لَا يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَا يَشْكُرِ الْكَثِيرَ»
“Barangsiapa tidak mampu bersyukur terhadap yang sedikit, maka ia tidak akan mampu bersyukur terhadap yang banyak.”

Hadis ini memberi tamparan lembut. Betapa banyak manusia hanya bersyukur saat mendapat rezeki besar, kabar baik besar, atau keberhasilan besar. Padahal, hakikat syukur justru diuji dalam hal-hal kecil: napas yang gratis, tubuh yang sehat, waktu luang, atau sekadar makanan sederhana yang tersaji di meja.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa syukur mencakup tiga unsur: ilmu, haal, dan ‘amal — yakni mengetahui nikmat, menghadirkan rasa syukur dalam hati, dan membuktikan syukur dengan perbuatan. Dengan kata lain, syukur adalah kesadaran intelektual, emosional, dan moral yang berjalan serempak.

Syukur Lebih dari Sekadar Lisan

Mengucapkan “Alhamdulillah” adalah kebaikan, namun ia baru satu bagian kecil dari syukur. Lisan yang mengucap tanpa hati yang hadir hanya meninggalkan suara, bukan cahaya. Dalam hidup keseharian, syukur harus tampak dalam sikap: menerima takdir Allah dengan tenang, menjauhi keluh kesah berlebihan, dan menggunakan nikmat sesuai kehendak-Nya. Semakin seseorang memahami nikmat, semakin dalam pula rasa tanggung jawabnya. Di titik inilah syukur berubah menjadi akhlak, bukan hanya ungkapan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Menghidupkan Syukur di Era Serba Cepat

Dalam kehidupan modern yang penuh kecepatan dan tekanan, syukur sering kalah oleh ambisi. Kita sibuk mengejar yang belum ada, lupa menikmati yang sudah di genggaman. Padahal, syukur adalah energi yang menenangkan, sekaligus obat bagi keresahan manusia. Orang yang bersyukur lebih kuat menghadapi hidup, karena hatinya tidak dikendalikan oleh kekurangan. Ia fokus pada karunia, bukan cela.

Syukur juga membuat manusia lebih berempati. Ia sadar bahwa nikmat adalah titipan, bukan milik absolut. Karena itu ia mau berbagi, peduli, dan tidak sombong. Inilah buah syukur yang sesungguhnya: akhlak sosial yang tumbuh dari kesadaran spiritual.

Penutup: Mengucap, Meresap, dan Mengamalkan

Bersyukur bukan hanya urusan lisan, melainkan perjalanan batin. Ia dimulai dari ucapan “Alhamdulillah”, lalu meresap dalam hati, dan akhirnya bergerak dalam tindakan nyata. Sebagai penutup renungan ini, mari kita camkan janji Allah:

﴿لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ﴾
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Syukur adalah pintu rezeki, pintu ketenangan, dan pintu kebahagiaan. Ia menenangkan jiwa, menundukkan ego, dan memuliakan manusia. Maka, jangan berhenti pada ucapan “Alhamdulillah”. Hidupkan ia dalam kesadaran, akhlak, dan tindakan. Sebab syukur bukan hanya kalimat, tetapi cara berjalan di atas bumi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement