Fenomena hijrah telah menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir. Istilah yang secara harfiah berarti “berpindah” atau “migrasi” ini, kini sering diasosiasikan dengan perubahan gaya hidup menuju praktik keagamaan yang lebih islami. Namun, di tengah maraknya fenomena ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana hukum hijrah jika motivasinya lebih banyak dipengaruhi oleh tren dan faktor eksternal? Artikel ini akan mengupas tuntas isu ini dari perspektif Islam, menggali kedalaman niat, esensi, dan konsistensi dalam perjalanan hijrah seorang Muslim.
Dalam sejarah Islam, hijrah merujuk pada peristiwa monumental kepindahan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Peristiwa ini bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah transformasi total—dari lingkungan yang represif terhadap dakwah Islam ke tempat yang lebih kondusif untuk membangun peradaban Islam. Hijrah kala itu adalah manifestasi dari pengorbanan, keimanan, dan komitmen teguh terhadap akidah.
Seiring waktu, makna hijrah mengalami perluasan. Dalam konteks modern, hijrah seringkali dimaknai sebagai upaya personal untuk meninggalkan gaya hidup yang dianggap tidak sesuai syariat Islam menuju kehidupan yang lebih taat. Ini bisa meliputi perubahan penampilan, pergaulan, pilihan hiburan, hingga profesi. Inti dari hijrah personal ini adalah perbaikan diri dan peningkatan kualitas spiritual.
Niat: Pilar Utama dalam Berhijrah
Para ulama sepakat bahwa niat memegang peranan krusial dalam setiap amal perbuatan, termasuk hijrah. Sebuah hadis masyhur riwayat Imam Bukhari dan Muslim menyatakan, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan.”
Hadis ini secara tegas memisahkan antara hijrah yang tulus karena Allah SWT dan hijrah yang dilandasi motif duniawi. Jika hijrah dilakukan semata-mata karena ingin mengikuti tren, mencari popularitas, mendapatkan pasangan, atau meraih keuntungan materi, maka nilai hijrahnya di sisi Allah SWT akan berbeda. Ini bukan berarti hijrahnya sia-sia, namun pahala dan keberkahannya mungkin tidak sempurna sebagaimana hijrah yang didasari niat murni karena Allah.
Tren dan Pengaruh Eksternal dalam Hijrah Modern
Era digital dan media sosial telah mengubah lanskap dakwah dan fenomena hijrah. Banyak figur publik atau influencer yang membagikan kisah hijrah mereka, menginspirasi jutaan orang untuk mengikuti jejak serupa. Komunitas hijrah pun tumbuh subur, menawarkan dukungan, bimbingan, dan rasa kebersamaan.
Dampak positifnya adalah semakin banyak individu yang tergerak untuk mendekatkan diri kepada agama. Namun, sisi lain dari fenomena ini adalah potensi munculnya hijrah karena tren. Seseorang mungkin merasa “tertarik” untuk berhijrah karena melihat teman-teman atau idolanya berhijrah, atau karena ingin merasakan bagian dari “komunitas keren” yang sedang berkembang.
“Bisa jadi niatnya bagus, ingin menjadi lebih baik. Tapi perlu diingat, hijrah bukan hanya sekadar penampilan atau ikut-ikutan. Hijrah yang sesungguhnya adalah hijrah hati, hijrah akhlak, dan hijrah perilaku,” ujar seorang ustaz dalam salah satu ceramahnya.
Hukum Hijrah Karena Tren: Sebuah Tinjauan Fiqih
Secara fiqih, tidak ada larangan mutlak bagi seseorang untuk berhijrah meskipun ada pengaruh tren. Islam selalu mendorong umatnya untuk menjadi lebih baik. Namun, persoalan niat ini akan sangat memengaruhi kualitas dan keberkahan hijrah tersebut.
-
Jika tren menjadi pemicu awal, namun kemudian disusul niat tulus karena Allah: Ini adalah skenario yang baik. Tren bisa menjadi pintu gerbang bagi seseorang untuk mulai menengok kembali agamanya. Jika setelah itu niatnya berkembang menjadi murni karena Allah, maka hijrahnya akan bernilai tinggi. Banyak kisah mualaf atau orang yang kembali ke jalan agama berawal dari perkenalan yang “kebetulan” atau “ikut-ikutan” sebelum akhirnya menemukan kedalaman iman.
-
Jika hijrah sepenuhnya karena tren dan motif duniawi, tanpa niat menggapai rida Allah: Hijrah semacam ini cenderung rapuh. Ketika tren meredup atau motivasi duniawi tidak tercapai, seseorang akan mudah kembali ke gaya hidup sebelumnya. Dari sisi pahala, seperti yang disebutkan dalam hadis, ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan (yaitu dunia).
Konsistensi Pasca-Hijrah: Ujian Sesungguhnya
Ujian sesungguhnya dari hijrah bukan pada saat memulainya, melainkan pada kemampuannya untuk istiqamah (konsisten) setelah itu. Hijrah bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari perjalanan spiritual yang lebih panjang. Seseorang yang hijrah karena tren mungkin akan kesulitan mempertahankan komitmennya ketika menghadapi tantangan atau godaan.
“Hijrah itu seperti menanam pohon. Awalnya harus menggali tanah, menanam bibit, menyiramnya. Tapi yang lebih penting adalah merawatnya agar tumbuh kokoh dan berbuah manis,” jelas seorang pakar spiritual.
Seorang Muslim yang berhijrah harus senantiasa memperbarui niatnya, memperdalam ilmu agamanya, dan mencari lingkungan yang mendukung konsistensinya. Media sosial dan komunitas hijrah bisa menjadi alat yang bermanfaat, namun jangan sampai menjadi satu-satunya sandaran. Kedekatan personal dengan Allah melalui ibadah, doa, dan zikir harus menjadi fondasi utama.
Membangun Hijrah yang Kuat dan Bermakna
Untuk memastikan hijrah kita kuat dan bermakna, beberapa hal dapat kita lakukan:
-
Luruskan Niat: Senantiasa introspeksi dan perbarui niat bahwa hijrah ini semata-mata untuk menggapai rida Allah SWT, mengikuti sunah Rasulullah SAW, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
-
Perdalam Ilmu Agama: Hijrah tanpa ilmu ibarat berlayar tanpa kompas. Pelajari Al-Qur’an, Hadis, fiqih, dan akhlak untuk memahami esensi Islam secara komprehensif.
-
Cari Lingkungan yang Mendukung: Bergabunglah dengan komunitas Muslim yang positif, cari teman-teman yang saleh, dan jauhi lingkungan yang dapat menarik kembali ke kebiasaan lama.
-
Fokus pada Perbaikan Akhlak: Hijrah bukan hanya tentang penampilan. Perbaiki tutur kata, perilaku, dan interaksi dengan sesama.
-
Istiqamah dan Bersabar: Perjalanan hijrah penuh liku. Akan ada ujian, godaan, dan tantangan. Sabar dan istiqamah adalah kunci keberhasilan.
-
Jadikan Hijrah Sebagai Proses Berkelanjutan: Hijrah bukanlah destinasi, melainkan sebuah perjalanan seumur hidup untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
Kesimpulannya, hijrah karena tren tidak serta merta salah, terutama jika tren tersebut berfungsi sebagai pemicu awal menuju kebaikan. Namun, niat tulus karena Allah SWT harus menjadi fondasi utama. Sebuah hijrah yang kokoh adalah hijrah yang didasari keimanan yang mendalam, ilmu yang cukup, dan konsistensi dalam perbaikan diri. Semoga kita semua dimampukan untuk berhijrah dengan niat yang lurus dan istiqamah di jalan Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
