Surau.co. Lupa itu cobaan ingat itu rahmat – Kalimat ini terdengar ringan, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman spiritual yang luar biasa. Lupa adalah bagian dari kodrat manusia — semua orang pasti mengalaminya. Namun, tidak semua orang mau berhenti sejenak untuk mengambil pelajaran darinya.
Burhān al-Dīn al-Zarnūjī, dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, memberi perhatian khusus terhadap fenomena lupa. Ia tidak menilainya semata sebagai kelemahan otak, melainkan sebagai ujian bagi jiwa. Dalam kitabnya, ia menulis:
“كثرة الذنوب سبب النسيان.”
“Banyaknya dosa menjadi sebab dari lupa.”
Dengan kata lain, lupa bukan sekadar masalah memori, tetapi masalah hati. Ketika hati kotor oleh kesalahan dan kelalaian, cahaya ilmu tidak betah menetap di dalamnya. Ilmu tidak ingin tinggal di hati yang sibuk mengejar dunia.
Fenomena Zaman: Banyak Hafal, Tapi Cepat Lupa
Kini kita hidup di masa ketika pengetahuan begitu mudah diakses, tetapi cepat pula menguap. Anak muda bisa menghafal teori, ayat, atau rumus dalam semalam, lalu melupakannya keesokan harinya. Ilmu datang tanpa rasa, dan pergi tanpa makna.
Zarnūjī kembali mengingatkan:
“العلم لا يُثبت إلا بالعمل.”
“Ilmu tidak akan menetap kecuali dengan diamalkan.”
Artinya jelas: ilmu yang tidak dihidupi akan pergi. Kita bukan kehilangan karena otak lemah, melainkan karena hati terlalu sibuk. Ilmu ingin hidup dalam tindakan, bukan sekadar dalam hafalan.
Seorang guru pernah berkata, “Kalau kau ingin ilmu menetap, maka berbuatlah dengan ilmu itu. Kalau tidak, ilmu akan pergi mencari orang lain yang lebih menghargainya.”
Lupa Sebagai Cermin Diri
Menurut Zarnūjī, lupa bukan hukuman, melainkan peringatan kasih sayang dari Allah. Melalui lupa, manusia diingatkan betapa lemahnya dirinya. Tanpa lupa, manusia mudah sombong dan merasa tahu segalanya. Ia menulis:
“نسيان العلم من قسوة القلب.”
“Lupanya ilmu berasal dari kerasnya hati.”
Kalimat itu seperti cermin yang memantulkan keadaan batin kita. Lupa dapat menjadi sarana introspeksi: apakah hati kita masih lembut, atau sudah mengeras karena sibuk mengejar dunia? Maka, lupa bukan sekadar kehilangan ingatan, tetapi tanda bahwa hati butuh disucikan kembali.
Allah ﷻ berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
“Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu.”
(QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini mengandung pesan mendalam — ilmu tidak hanya lahir dari belajar, tetapi juga dari takwa. Dan tentu, takwa tidak mungkin tumbuh di hati yang keras.
Ketika Lupa Justru Menjadi Berkah
Menariknya, tidak semua lupa membawa mudarat. Ada kalanya, lupa justru menjadi rahmat. Kita bisa melupakan sakitnya masa lalu, kemarahan sahabat, atau kecewanya hati — dan di sanalah Allah menyelipkan kasih sayang. Sebab, jika manusia selalu ingat pada luka dan dendam, dunia akan penuh kebencian.
Zarnūjī menyadari sisi lembut ini. Ia menulis:
“النسيان رحمة من الله، لولا النسيان لما صبر أحد على البلاء.”
“Lupa adalah rahmat dari Allah. Seandainya manusia tidak lupa, niscaya tak ada yang mampu bersabar atas ujian.”
Coba bayangkan bila kita mengingat setiap kegagalan dan air mata. Barangkali hidup akan terasa terlalu berat untuk dijalani. Maka, dalam konteks tertentu, lupa adalah izin dari Allah agar kita bisa memulai lagi dari awal.
Menjaga Ingatan dengan Adab
Namun, Zarnūjī juga tidak berhenti pada tafsir spiritual semata. Ia memberi petunjuk praktis bagi siapa pun yang ingin menjaga ingatan dan mengurangi lupa. Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, ia menulis:
“ينبغي لطالب العلم أن يتجنب كثرة الأكل، وكثرة النوم، وكثرة الكلام، لأنها تميت القلب وتنسي العلم.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya menghindari banyak makan, banyak tidur, dan banyak bicara, karena semua itu mematikan hati dan membuat lupa ilmu.”
Nasihat ini sederhana namun sangat relevan. Ilmu tidak suka menetap di hati yang sibuk memuaskan perut, lidah, atau ego. Ilmu mencintai kesederhanaan, ketenangan, dan ketulusan. Jadi, menjaga ingatan bukan sekadar memperkuat otak, tetapi menenangkan jiwa. Sekali lagi, lupa itu cobaan ingat itu rahmat.
Fenomena Dunia yang Terlalu Bising
Hari ini, otak manusia bekerja seperti mesin yang tidak pernah berhenti. Notifikasi, pesan, berita, dan konten datang silih berganti, menumpuk seperti debu di atas cermin hati. Maka, wajar jika manusia modern mudah lupa — bukan karena bodoh, tapi karena terlalu banyak gangguan.
Zarnūjī seakan berbicara langsung pada zaman ini:
“Kalau kau ingin ilmu menetap, diamlah sejenak. Dengarkan dirimu. Bersihkan hatimu.”
Sebab, ilmu bukan kilatan cahaya yang lewat begitu saja, melainkan sinar lembut yang menunggu tempat tinggal di hati yang damai. Dan untuk bisa mengingat, manusia perlu belajar melupakan hal-hal yang tidak perlu.
Ingat Itu Rahmat yang Harus Dijaga
Pada akhirnya, lupa dan ingat adalah dua sisi dari rahmat yang sama. Lupa menuntun kita agar kembali merendah, sedangkan ingat mengajak kita untuk bersyukur. Keduanya bukan musuh, melainkan pasangan spiritual yang menyeimbangkan hidup manusia.
Zarnūjī menutup banyak pengingatnya dengan doa lembut yang bisa kita ulang hari ini:
“اللهم علمنا ما ينفعنا، وانفعنا بما علمتنا، وزدنا علماً وعملاً صالحاً.”
“Ya Allah, ajarilah kami ilmu yang bermanfaat, berilah manfaat dari ilmu yang Engkau ajarkan, dan tambahkanlah kepada kami ilmu serta amal yang saleh.”
Doa ini bukan sekadar permohonan untuk menjadi pintar, tetapi pengingat agar kita tidak lupa bahwa ilmu sejati adalah karunia, bukan sekadar hasil usaha.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
