Surau.co. Bersahabatlah dengan buku seperti kau bersahabat dengan jiwa sendiri. Kalimat ini bukan sekadar nasihat klise untuk para pembaca, tapi sebuah panggilan hati bagi siapa saja yang ingin hidupnya bertumbuh.
Kita hidup di zaman yang sibuk dengan layar, tapi kehilangan kedalaman membaca. Banyak yang membaca status, tapi jarang membaca makna. Banyak yang mencari ilmu, tapi lupa menata hati.
Burhān al-Dīn al-Zarnūjī dalam Ta‘lim al-Muta‘allim mengingatkan bahwa buku — atau ilmu dalam bentuk tulisan — adalah salah satu sahabat sejati penuntut ilmu. Ia menulis:
“ينبغي لطالب العلم أن يحافظ على كتبه كما يحافظ على روحه.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya menjaga bukunya sebagaimana ia menjaga jiwanya.”
Zarnūjī tidak sekadar berbicara tentang menjaga fisik buku, tapi juga menghormati pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Buku bukan sekadar benda mati, tapi perpanjangan dari ruh para guru yang mengajarkan kebaikan.
Fenomena Zaman: Banyak Baca, Tapi Tidak Bersahabat dengan Bacaan
Sekarang orang bisa membaca ribuan informasi dalam sehari. Tapi seberapa banyak yang benar-benar menempel di hati?
Kita menelan banyak data, tapi tidak menumbuhkan kebijaksanaan. Buku bukan lagi sahabat, tapi sekadar alat bantu tugas, bahan konten, atau sumber kutipan tanpa makna.
Zarnūjī menulis dengan nada halus tapi tegas:
“العلم لا يُعطى إلا لمن يعطي نفسه له.”
“Ilmu tidak akan diberikan kecuali kepada orang yang menyerahkan dirinya kepada ilmu.”
Kalimat ini seperti sindiran bagi kita semua. Ilmu tidak akan datang kepada mereka yang hanya membaca separuh hati.
Membaca buku bukan sekadar menuntaskan halaman, tapi membiarkan diri kita dibentuk oleh setiap kalimatnya.
Membaca Itu Dialog Antara Hati dan Hikmah
Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
(HR. Ibnu Majah)
Menuntut ilmu berarti membuka diri untuk berdialog dengan hikmah. Dan buku adalah jembatan paling dekat menuju percakapan itu.
Zarnūjī memandang membaca bukan aktivitas intelektual semata, tapi juga latihan spiritual. Ia menulis:
“ينبغي لطالب العلم أن يتأمل ما يقرأ، فإن التأمل مفتاح الفهم.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya merenungkan apa yang ia baca, karena perenungan adalah kunci pemahaman.”
Kalimat ini menjelaskan bahwa membaca tanpa merenung hanyalah kerja mata, bukan kerja jiwa.
Bersahabat dengan buku berarti bersedia mendengarkan, diam, lalu merasakan bagaimana kalimat di dalamnya menyentuh bagian terdalam dari diri kita.
Fenomena: Buku Ditumpuk, Tapi Tidak Dihidupi
Ada paradoks besar di zaman modern — semakin banyak orang memiliki buku, tapi semakin sedikit yang hidup bersama buku.
Rak-rak penuh kitab, tapi hati kosong. Orang senang mengoleksi, tapi malas memahami.
Zarnūjī memberi nasihat tajam:
“العلم لا يُنال بالكسل، ولا يُحفظ بالانشغال.”
“Ilmu tidak akan diperoleh dengan kemalasan, dan tidak akan terjaga dengan kesibukan.”
Sahabat sejati adalah yang kita luangkan waktu untuknya. Maka, kalau kau benar bersahabat dengan buku, kau akan menyediakan waktu untuknya — membaca dengan tenang, merenungkan, bahkan menulis ulang agar lebih paham.
Buku tidak pernah menuntut apa pun dari kita, kecuali perhatian. Tapi di situlah ujian manusia zaman ini — terlalu sibuk untuk memperhatikan.
Belajar dari Buku, Tapi Jangan Jadi Buku yang Keras
Zarnūjī juga mengingatkan bahaya lain: jangan sampai ilmu dari buku membuat kita kaku dan merasa paling tahu.
Ia menulis:
“من قرأ الكتب بلا شيخ، ضلّ عن الطريق.”
“Barang siapa membaca buku tanpa bimbingan guru, maka ia bisa tersesat dari jalan kebenaran.”
Artinya, buku harus dibaca dengan bimbingan hati yang jernih dan niat yang tulus. Kalau tidak, ilmu malah menjadi sumber kesombongan.
Buku seharusnya melunakkan hati, bukan mengeraskannya. Karena itu, bersahabatlah dengan buku seperti kau bersahabat dengan jiwa sendiri: dengarkan, pahami, dan jangan paksakan kehendakmu padanya.
Fenomena Kehidupan: Buku Sebagai Cermin
Ada kalanya kita membaca buku bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk menemukan diri sendiri.
Buku adalah cermin. Kadang yang kita lihat di dalamnya bukan kata-kata penulis, tapi pantulan dari kegelisahan kita sendiri.
Zarnūjī seolah ingin berkata: ilmu sejati adalah yang mengubah cara pandangmu terhadap hidup.
Ilmu yang tidak mengubah perilaku, hanya menambah beban kepala.
Allah ﷻ berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Tapi derajat itu hanya untuk mereka yang bersahabat dengan ilmu dengan rendah hati, bukan yang menjadikannya mahkota kesombongan.
Refleksi: Buku yang Baik Mengajarkan Cara Menjadi Manusia
Zarnūjī mengajarkan bahwa belajar itu bukan sekadar tahu banyak, tapi menjadi baik.
Buku adalah guru yang paling sabar. Ia tidak marah ketika kau salah paham, tidak tersinggung ketika kau diamkan. Tapi setiap kali kau membuka halamannya, ia memelukmu dengan cahaya yang sama.
Maka bersahabatlah dengan buku seperti kau bersahabat dengan jiwamu sendiri: jangan tinggalkan ketika bosan, jangan hanya datang ketika butuh.
Rawatlah ia dengan cinta, bacalah dengan rasa, dan biarkan kata-katanya menyembuhkan bagian hatimu yang kering.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
