Surau.co. Ilmu dan nafkah itu saudara, tapi jangan biar nafkah jadi raja. Kita hidup di dunia yang sering membuat keduanya berseteru. Ketika orang belajar, ditanya, “Mau kerja apa nanti?” Dan ketika bekerja, ditanya, “Masih sempat ngaji nggak?” Hidup modern memisahkan antara mencari ilmu dan mencari nafkah, padahal dalam pandangan Islam keduanya tidak pernah bertentangan — kecuali kalau salah satunya dijadikan berhala.
Burhān al-Dīn al-Zarnūjī, dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim, membicarakan hubungan halus ini. Ia mengingatkan bahwa penuntut ilmu harus berjuang untuk hidup, tapi jangan sampai mencari hidup membuatnya kehilangan ruh belajar. Ia menulis:
“على طالب العلم أن لا يجعل الدنيا أكبر همه، فإنها تأخذ القلب عن طلب الآخرة.”
“Seorang penuntut ilmu jangan menjadikan dunia sebagai tujuan terbesarnya, karena dunia dapat memalingkan hati dari mencari akhirat.”
Ilmu dan nafkah memang bisa berjalan beriringan, tapi hanya jika posisi keduanya jelas: ilmu memimpin, nafkah mengikuti. Kalau nafkah jadi raja, ilmu hanya akan jadi pelayan yang capek tanpa arah.
Fenomena Zaman: Ilmu Jadi Alat, Bukan Jalan
Hari ini, banyak orang menuntut ilmu bukan karena ingin tahu, tapi karena ingin berdaya jual. Kuliah bukan lagi tempat mencari hikmah, tapi investasi karier. Bahkan di pesantren, kadang ilmu agama pun dijadikan alat politik atau gengsi sosial.
Zarnūjī menulis dengan nada sedih:
“من طلب العلم للدنيا فقد خسر الدنيا والآخرة.”
“Barang siapa menuntut ilmu demi dunia, maka ia akan rugi dunia dan akhirat.”
Ilmu yang seharusnya membawa kita kepada Allah justru menjerat dalam ambisi dunia.
Kita mengukur kecerdasan dari gelar, bukan dari akhlak. Kita menilai keberhasilan dari gaji, bukan dari ketenangan batin.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ وَهَمُّهُ الدُّنْيَا فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ.
“Barang siapa bangun pagi dengan niat utamanya dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di depan matanya, dan tidak akan datang kepadanya dunia kecuali yang telah ditentukan.”
(HR. Tirmidzi)
Ilmu dan nafkah memang saudara, tapi ketika yang satu menindas yang lain, maka lahirlah kekeringan batin.
Zarnūjī: Bekerjalah, Tapi Jangan Jadi Budaknya
Zarnūjī tidak mengajarkan kita untuk meninggalkan dunia. Beliau realistis. Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, beliau justru mendorong murid-murid untuk bekerja, tapi dengan niat menjaga harga diri dan keberkahan ilmu. Ia menulis:
“على الطالب أن يسعى في كسب الحلال، ليكون علمه مصوناً من الذل.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya berusaha mencari rezeki halal, agar ilmunya terjaga dari kehinaan.”
Bekerja adalah ibadah. Tapi begitu niat bergeser — dari menjaga kehormatan menjadi mengejar gengsi — di situlah ilmu mulai padam.
Kita perlu menafkahi keluarga, iya. Tapi jangan sampai pekerjaan membunuh waktu merenung. Jangan sampai kejar target membuat lupa shalat.
Ilmu yang tidak lagi disinari keikhlasan akan berubah menjadi kecerdikan tanpa hikmah.
Fenomena: Ketika Nafkah Menjadi Raja
Di tengah derasnya arus materialisme, kita sering memuja orang kaya seolah merekalah yang paling berhasil. Sementara orang yang berilmu tapi sederhana, dipandang sebelah mata.
Padahal Zarnūjī berkata:
“العالم العامل خير من الغني الجاهل، لأن العلم حياة القلوب، والمال حياة الأجساد.”
“Orang berilmu yang mengamalkan ilmunya lebih baik daripada orang kaya yang bodoh, karena ilmu menghidupkan hati, sedangkan harta hanya menghidupkan jasad.”
Kalimat ini menampar lembut kesadaran kita: dunia ini butuh ilmu untuk bernapas.
Harta tanpa ilmu hanya akan mempercepat kerusakan. Kita bisa lihat bagaimana banyak orang kaya justru menderita, karena tidak tahu untuk apa kekayaannya digunakan.
Menata Niat: Ilmu dan Nafkah Harus Seimbang
Zarnūjī mengajarkan keseimbangan. Ia tidak menolak dunia, tapi menolak diperbudak dunia.
Dalam satu bagian kitabnya, beliau menulis:
“العلم وسيلة إلى العمل، والعمل وسيلة إلى رضا الله.”
“Ilmu adalah jalan menuju amal, dan amal adalah jalan menuju ridha Allah.”
Jadi, ilmu harus melahirkan amal — termasuk dalam mencari nafkah.
Orang yang benar-benar berilmu akan bekerja dengan niat ibadah, bukan sekadar mencari uang.
Maka pekerjaan pun jadi tenang, karena setiap keringatnya bernilai pahala.
Kalau nafkah datang dari keikhlasan, maka rezeki bukan hanya uang, tapi juga keberkahan. Tapi kalau nafkah datang dari kerakusan, maka sebesar apa pun hasilnya, hati tetap merasa miskin.
Fenomena: Ilmu yang Hilang Karena Nafkah yang Salah Arah
Kita sering melihat orang pintar yang akhirnya kehilangan arah hidup. Ia dulu belajar dengan idealisme, tapi kemudian dijual kepada kepentingan.
Zarnūjī sudah memperingatkan:
“من جعل علمه سلعة للدنيا، فقد هان في أعين الناس.”
“Barang siapa menjadikan ilmunya sebagai barang dagangan dunia, maka ia akan menjadi hina di mata manusia.”
Ketika ilmu dijadikan komoditas, keberkahan hilang.
Kita mungkin dapat uang, tapi kehilangan makna. Kita mungkin naik pangkat, tapi turun derajat di sisi Allah.
Ilmu dan nafkah seharusnya saling menjaga — bukan saling menjatuhkan. Ilmu memberi arah bagi kerja, sementara nafkah menjaga agar ilmu tetap bisa dijalani dengan bermartabat.
Refleksi: Bekerjalah Seperti Belajar, Belajarlah Seperti Bekerja
Kalau belajar dengan semangat seperti orang bekerja, maka kita akan produktif. Dan kalau bekerja dengan keikhlasan seperti orang belajar, maka kita akan tenang.
Itulah keseimbangan yang diajarkan Zarnūjī — keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Ilmu dan nafkah adalah dua sayap kehidupan. Tapi sayap kiri tak boleh menindas sayap kanan.
Kalau ilmu kehilangan arah karena uang, maka kehidupan hanya akan berjalan miring — terbang rendah, lalu jatuh cepat.
Maka, belajarlah untuk mencari ridha Allah. Bekerjalah untuk menjaga martabat.
Karena ilmu dan nafkah memang saudara, tapi jangan pernah biarkan nafkah menjadi raja, sementara ilmu menjadi pengabdi yang bisu.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
