SURAU.CO-Kata sabar dari bahasa arab shabr (صبر) yang terdiri dari huruf shad, ba, dan ra adalah bentuk mashdar dari fi’il mādhī (kata kerja bentuk lampau) shabara (صبر). Sabar menurut etimologi adalah “menahan, seperti mengurung binatang, menahan diri, dan mengendalikan jiwa.” Oleh karena itu, setiap orang yang menahan sesuatu berarti telah bersikap sabar atasnya.
Sementara itu, sabar menurut terminologi adalah:
صبر الْنَّفْسِ عَلَى مَا تَقْتَضِيْهِ الْعَقْلُ وَالْشَّرْعُ أَوْ عَمَّا يَقْتَضِيَانِ حَبْسُهُمَا عَنْهُ
“Sabar adalah menahan jiwa menurut tuntutan akal dan agama, atau menghindari sesuatu yang dituntut oleh akal dan agama untuk menjauhinya.”
Pandangan Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali, seorang teolog, filsuf, dan sufi besar dalam Islam, mendefinisikan sabar sebagai
“suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuh dari dorongan ajaran agama.”
Sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan perilaku, sehingga menjadikannya salah satu maqam (tingkatan) yang harus sufi tempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dalam maqam yang harus sufi lalui tersebut, maqam sabar biasanya berada setelah zuhud. Keberhasilannya dalam maqam zuhud membawa seseorang ke maqam sabar. Dalam maqam sabar ini, ia tidak lagi tergoyahkan oleh penderitaan, dan hatinya sudah betul-betul teguh dalam menghadap Allah Ta’ala.
Perspektif Ibnul Qayyim
Ibnul Qayyim mendefinisikan sabar menurut syariat sebagai
“menahan diri dari keluhan dan kemarahan, menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari berbuat kekacauan.”
Hal ini benar, terutama jika seorang hamba menahan dirinya dengan penuh keimanan dan meliputi rukun-rukunnya yang enam, yaitu iman kepada Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, serta qadhā’ dan qadar.
Imam Junaidi pernah ditanya tentang sabar, lalu dia menjawab,
“Meneguk kepahitan tanpa berkerut mukanya,”
yang berarti sabar menghadapi musibah.
Sementara itu, Dzunnun Al-Mishri berpendapat,
“Sabar adalah menghindari pertentangan, tenang pada saat menderita bencana, dan menampakkan kecukupan dan kelapangan hidup sekalipun dalam keadaan susah.”
Adapun Amir Bin Utsman menyatakan,
“Sabar adalah teguh menyertai Allah dan menerima cobaan-Nya dengan tenang dan lapang dada.”
Barangkali definisi ini bisa mencakup bagian-bagian sabar, terutama jika kita memandang bahwa teguh menyertai Allah berarti sabar dalam menaati-Nya dan sabar dalam menahan diri dari maksiat terhadap-Nya. Lalu, Sa’id Ibnu Jubair mengatakan bahwa sabar itu merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah Ta’ala atas apa yang menimpanya, dan ia menjalaninya dengan penuh ketabahan karena mengharapkan pahala di sisi-Nya.
Sabar dalam bahasa Indonesia berarti: tahan menghadapi cobaan, seperti tidak lekas marah, tidak cepat putus asa, atau patah hati. Sehingga sabar dalam konteks ini dapat kita sebut tabah. Sabar juga bisa berarti tenang, tidak lekas tergesa-gesa, dan tidak terburu-buru.
Tiga unsur dalam sikap sabar
Berdasarkan beberapa definisi tentang sabar tersebut, pendapat Imam al-Ghazali dapat mewakili pendapat-pendapat yang lainnya, yakni bahwa sabar mempunyai tiga unsur, yaitu Ilmu, Hāl, dan Amal. Ilmu dalam konteks ini adalah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung kemaslahatan dalam agama dan memberikan manfaat bagi seseorang dalam menghadapi segala problem kehidupan. Pengetahuan demikian terus-menerus menjadi milik hati. Keadaan hati yang memiliki pengetahuan demikian kita sebut Hāl. Selanjutnya, Hāl tersebut terwujud dalam tingkah laku yang dapat kita sebut Amal. Al-Ghazali mengumpamakan tiga unsur kesabaran itu laksana sebatang pohon: Ilmu adalah batangnya, Hāl sebagai cabangnya, dan Amal merupakan buahnya.
Sabar bagian dari iman
Sabar merupakan bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. bahwa “Sabar itu sebagian dari iman.” Tanpa kesabaran, iman akan terhapus dari hati. Karena iman merupakan pembenaran terhadap dasar agama dan akan menumbuhkan amal saleh, iman mempunyai dua unsur, yaitu Yakin dan Sabar. Yakin adalah pengetahuan yang pasti terhadap dasar agama yang berpangkal dari wahyu, sedangkan sabar adalah praktik dari keyakinan. Jika mudarat atau kerugian suatu maksiat serta manfaat kepatuhan pada perintah Allah Ta’ala diketahui, maka upaya untuk menjauhi maksiat dan mengamalkan perintah itu dilakukan atas dasar kesabaran.
Termasuk akhlak yang paling utama
Sabar termasuk akhlak yang paling utama, karena kesabaran menjadi landasan bagi akhlak-akhlak yang lainnya. Contohnya: ‘Iffah (menjaga kesucian diri) adalah sabar untuk menahan jiwa dari pandangan mata hingga nafsu kemaluan terjaga dari hal-hal yang agama haramkan. Qanā’ah (merasa puas dengan apa yang kita miliki) adalah sabar untuk meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang kita punya. Ḥilm (lemah lembut) adalah sabar dengan menahan diri dari sesuatu yang dapat membangkitkan amarah. Syajā’ah (berani) adalah sabar dengan menahan diri dari sesuatu yang mengajak melarikan diri. Sakha (pemurah) adalah sabar dengan menahan diri untuk tidak memenuhi panggilan kekikiran. Sementara itu, semangat adalah sabar untuk menahan diri dari sesuatu yang mengajak pada kelemahan atau kemalasan.(St.Diyar)
Referensi : Muhammad Harfin Zuhdi, Hadis-Hadis Psikologi, 2019.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
