Kalam
Beranda » Berita » Nasihat Emas Imam Syafi’i: Menjaga Lisan dari Petaka dan Keburukan

Nasihat Emas Imam Syafi’i: Menjaga Lisan dari Petaka dan Keburukan

Lisan, sebuah anugerah tak ternilai dari Sang Pencipta, menyimpan kekuatan luar biasa. Ia mampu membangun jembatan persahabatan, menyebarkan kebaikan, dan mengukir sejarah. Namun, pada saat yang sama, lisan juga memiliki potensi menghancurkan, memecah belah, dan meninggalkan luka mendalam yang sulit tersembuh. Oleh karena itu, kebijaksanaan dalam mengelola lisan menjadi sangat krusial. Salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam, Imam Syafi’i, telah mewariskan nasihat-nasihat emas mengenai bahaya lisan yang relevan sepanjang masa.

Pentingnya Menjaga Lisan dalam Perspektif Imam Syafi’i

Imam Syafi’i, seorang ulama besar dan pendiri mazhab Syafi’i, sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Beliau memahami betul bahwa kata-kata yang terucap dapat menjadi cerminan hati seseorang dan membawa konsekuensi jangka panjang. Sebuah perkataan dapat menaikkan derajat seseorang, atau sebaliknya, menjatuhkannya ke lembah kehinaan.

Nasihat beliau yang terkenal berbunyi:

“Apabila seorang berbicara itu menunjukkan tingkat akalnya, bagaimana dia menguasai lisannya itu menunjukkan tingkat akhlaknya.”

Kutipan ini secara lugas menyampaikan bahwa cara seseorang berbicara dan kemampuannya mengendalikan lisan adalah indikator jelas dari tingkat kecerdasan dan akhlaknya. Orang yang berakal akan memikirkan setiap perkataan sebelum mengucapkannya, sementara orang yang berakhlak mulia akan memastikan lisannya hanya mengeluarkan kebaikan.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Lisan: Pedang Bermata Dua yang Menuntut Kehati-hatian

Analogikan lisan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat digunakan untuk membela kebenaran dan menyebarkan cahaya ilmu. Di sisi lain, tanpa kendali yang tepat, pedang tersebut dapat melukai diri sendiri dan orang lain. Imam Syafi’i mengingatkan kita bahwa banyak perselisihan, permusuhan, dan bahkan pertumpahan darah bermula dari sebuah lisan yang tidak terjaga.

Setiap kata memiliki bobot dan energinya sendiri. Kata-kata positif dapat membangkitkan semangat, memberikan harapan, dan mempererat tali persaudaraan. Sebaliknya, kata-kata negatif, fitnah, ghibah (menggunjing), atau sumpah serapah dapat meracuni hati, merusak reputasi, dan menciptakan permusuhan yang berkepanjangan.

Dampak Lisan yang Tidak Terjaga: Lebih dari Sekadar Kata-kata

Ketika lisan tidak terjaga, dampaknya bisa sangat luas dan merugikan, tidak hanya bagi orang lain tetapi juga bagi diri sendiri.

  • Merusak Hubungan Sosial: Ghibah dan fitnah adalah dua contoh paling nyata bagaimana lisan dapat menghancurkan kepercayaan dan hubungan antarmanusia. Kata-kata yang menyakitkan dapat menciptakan jarak, bahkan memutus silaturahmi yang telah terjalin lama.

  • Menimbulkan Fitnah dan Kekacauan: Lisan yang tidak terkontrol seringkali menjadi sumber fitnah, yaitu menyebarkan berita bohong atau tuduhan yang tidak benar. Fitnah memiliki potensi besar untuk menciptakan kekacauan dan keresahan dalam masyarakat.

    Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

  • Mencemari Hati dan Pikiran: Terlalu banyak berbicara hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang berbau negatif, dapat mencemari hati dan pikiran penuturnya. Hati menjadi keras, pikiran dipenuhi prasangka, dan ketenangan batin sulit didapatkan.

  • Menarik Dosa dan Penyesalan: Banyak dosa berawal dari lisan, seperti sumpah palsu, berbohong, mencaci maki, atau mengadu domba. Dosa-dosa ini akan membawa penyesalan di dunia dan akhirat.

Praktik Menjaga Lisan dalam Kehidupan Sehari-hari

Untuk mengimplementasikan nasihat Imam Syafi’i, beberapa praktik dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Berpikir Sebelum Berbicara: Biasakanlah untuk merenungkan setiap kata yang akan diucapkan. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah kata-kata ini benar? Bermanfaat? Baik? Jika tidak, lebih baik diam.

  2. Menghindari Ghibah dan Fitnah: Jauhkan diri dari pembicaraan yang bertujuan menggunjing atau menyebarkan keburukan orang lain. Ingatlah, “jika engkau membicarakan saudaramu di belakangnya, maka engkau telah memakan daging bangkainya.”

    Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

  3. Berbicara dengan Lemah Lembut: Pilihlah kata-kata yang sopan, santun, dan tidak menyakitkan. Bahkan dalam menyampaikan kebenaran, kelembutan akan lebih mudah diterima daripada kekerasan.

  4. Menghindari Perdebatan Kusir: Debat yang hanya bertujuan untuk menang sendiri tanpa mencari kebenaran adalah sia-sia dan membuang energi. Imam Syafi’i sendiri terkenal dengan sikapnya yang menghindari perdebatan yang tidak substansial.

  5. Memperbanyak Dzikir: Mengisi lisan dengan dzikir (mengingat Allah) dan bacaan Al-Qur’an adalah cara efektif untuk membersihkan hati dan menjaga lisan dari perkataan yang tidak bermanfaat.

  6. Mengucapkan Kata-kata Positif: Jadikan kebiasaan untuk mengucapkan kata-kata yang membangun, memberikan semangat, dan mendoakan kebaikan bagi orang lain.

Mencari Ketenangan dengan Mengendalikan Lisan

Mengendalikan lisan bukan hanya tentang menghindari keburukan, tetapi juga tentang mencapai ketenangan batin. Ketika seseorang berhasil menjaga lisannya, ia akan merasakan kedamaian. Tidak ada lagi beban pikiran karena takut salah bicara, tidak ada lagi kekhawatiran akan menyinggung perasaan orang lain secara tidak sengaja. Hati menjadi bersih, pikiran jernih, dan hubungan dengan sesama pun akan membaik.

Imam Syafi’i telah memberikan kita peta jalan menuju kehidupan yang lebih bermakna melalui kontrol diri, khususnya dalam penggunaan lisan. Mari kita aplikasikan nasihat beliau agar lisan kita senantiasa menjadi sumber kebaikan, bukan petaka. Dengan menjaga lisan, kita tidak hanya menjaga diri sendiri, tetapi juga turut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis dan penuh kedamaian.



Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement