Dzikir, atau mengingat Allah, merupakan jantung kehidupan seorang mukmin. Ia adalah nutrisi bagi jiwa, penenang hati, dan jembatan penghubung antara hamba dengan Sang Pencipta. Di antara sekian banyak bentuk dzikir, lafazh “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah) dan “Astaghfirullah” (aku memohon ampun kepada Allah) memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, seorang ulama besar yang dikenal dengan kedalaman pemikirannya, telah mengupas tuntas rahasia di balik dua dzikir agung ini, memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang keutamaannya.
Kita seringkali mengucapkan “Alhamdulillah” atau “Astaghfirullah” sebagai bagian dari rutinitas ibadah, namun apakah kita benar-benar menyelami makna dan dampaknya bagi kehidupan kita? Ibnu Qayyim mengajarkan bahwa kedua dzikir ini adalah fondasi penting bagi setiap hamba dalam perjalanan spiritualnya. Pemahaman yang mendalam terhadap keduanya dapat mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah.
Alhamdulillah: Manifestasi Syukur dan Pengakuan Nikmat
Lafazh “Alhamdulillah” adalah ekspresi syukur tertinggi. Ia bukan sekadar ucapan terima kasih atas nikmat yang terlihat, melainkan pengakuan total atas segala kebaikan, kekuatan, dan kesempurnaan yang hanya milik Allah SWT. Setiap detik hidup kita dipenuhi dengan karunia-Nya yang tak terhingga. Mulai dari hembusan napas, kesehatan, rezeki, keluarga, hingga hidayah iman, semuanya adalah anugerah murni dari-Nya. Ketika kita mengucapkan “Alhamdulillah”, kita sedang mengakui kedaulatan-Nya dan merendahkan diri di hadapan keagungan-Nya.
Ibnu Qayyim menekankan bahwa syukur melalui “Alhamdulillah” adalah bentuk ibadah yang akan mengundang lebih banyak nikmat. Allah berjanji dalam Al-Qur’an, “Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” Dzikir ini membangun mentalitas positif, melatih hati untuk selalu melihat sisi baik dalam setiap situasi, dan menjauhkan diri dari keluh kesah. Seseorang yang senantiasa bersyukur akan menemukan kedamaian dalam hatinya, terlepas dari ujian yang ia hadapi. Syukur adalah pilar kebahagiaan sejati.
Lebih dari itu, “Alhamdulillah” juga merupakan bentuk pujian kepada Allah. Kita memuji-Nya karena Dia memang layak dipuji. Dia adalah Rabb semesta alam, pemilik segala kesempurnaan. Pujian ini bukan untuk kepentingan Allah, melainkan untuk kebaikan diri kita sendiri. Dengan memuji-Nya, kita mengingat kebesaran-Nya, menguatkan tauhid, dan meneguhkan keyakinan bahwa segala sesuatu bergerak atas kehendak-Nya.
Astaghfirullah: Gerbang Ampunan dan Pembersihan Hati
Di sisi lain, lafazh “Astaghfirullah” adalah permohonan ampun kepada Allah atas segala dosa dan khilaf yang telah kita perbuat. Sebagai manusia, kita tidak luput dari kesalahan. Baik dosa kecil maupun besar, yang disengaja maupun tidak disengaja, semuanya meninggalkan noda di hati. Dzikir “Astaghfirullah” adalah mekanisme pembersihan spiritual yang sangat efektif. Ia adalah pengakuan atas kelemahan diri, penyesalan atas dosa, dan harapan besar akan rahmat dan ampunan Allah.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa istighfar bukan sekadar mengucapkan lafazhnya, melainkan harus disertai dengan penyesalan yang tulus di hati dan tekad kuat untuk tidak mengulangi dosa tersebut. “Astaghfirullah” yang diucapkan dengan penuh penghayatan akan membuka pintu ampunan Allah yang Maha Luas. Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dia selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya.
Dampak dari rutin beristighfar sangatlah besar. Ia membersihkan hati dari karat-karat dosa, menenangkan jiwa yang gelisah, dan mendatangkan kedamaian. Seseorang yang sering beristighfar akan merasa lebih ringan, beban hidupnya berkurang, dan ia akan mendapatkan keberkahan dalam setiap urusannya. Istighfar juga merupakan bentuk kerendahan hati di hadapan Allah, mengakui bahwa kita adalah hamba yang penuh kekurangan dan selalu membutuhkan ampunan-Nya.
“Hendaknya seorang hamba berada di antara dua hal ini: nikmat yang membuatnya bersyukur dan dosa yang membuatnya memohon ampun.”
Pernyataan Ibnu Qayyim ini adalah intisari dari ajaran beliau. Ketika kita mendapatkan kebaikan atau nikmat, kita bersyukur dengan “Alhamdulillah”. Ini menjaga hati kita dari kesombongan dan melatih kita untuk selalu merasa cukup. Sebaliknya, ketika kita melakukan kesalahan atau merasa lalai, kita beristighfar dengan “Astaghfirullah”. Ini menjaga hati kita dari putus asa dan mendorong kita untuk terus memperbaiki diri.
Keseimbangan ini menciptakan pribadi yang tawadhu’ (rendah hati) di hadapan Allah, senantiasa bersyukur atas karunia-Nya, sekaligus tidak pernah merasa aman dari dosa. Ia adalah pribadi yang selalu berusaha mendekat kepada-Nya, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam ketaatan maupun kekhilafan.
Baik “Alhamdulillah” maupun “Astaghfirullah” tidak hanya sekadar ucapan lisan, melainkan memiliki kekuatan transformatif bagi hati. Hati yang basah dengan syukur akan penuh dengan rasa cinta kepada Allah, optimisme, dan kedamaian. Sementara itu, hati yang senantiasa bertaubat dengan istighfar akan bersih dari noda dosa, melunak, dan lebih peka terhadap kebenaran.
Mari kita jadikan kedua dzikir agung ini sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Ucapkan “Alhamdulillah” setiap kali merasakan nikmat, besar maupun kecil. Dan ucapkan “Astaghfirullah” setiap kali teringat dosa atau merasa lalai. Dengan demikian, kita bukan hanya sekadar menggerakkan lisan, melainkan sedang membangun jembatan spiritual yang kuat menuju keridhaan Allah SWT.
Menerapkan Ajaran Ibnu Qayyim dalam Kehidupan Modern
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan, ajaran Ibnu Qayyim ini menjadi sangat relevan. Stres, kecemasan, dan rasa tidak puas seringkali menghantui kita. Dengan merutinkan “Alhamdulillah”, kita belajar untuk fokus pada hal-hal positif dan mensyukuri apa yang kita miliki, sehingga mengurangi tekanan mental. Sementara itu, “Astaghfirullah” membantu kita melepaskan beban rasa bersalah dan memberikan harapan akan pengampunan, membawa ketenangan batin.
Dzikir ini juga membentuk karakter yang lebih baik. Seseorang yang bersyukur akan lebih dermawan dan peduli terhadap sesama. Seseorang yang sering beristighfar akan lebih mawas diri dan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Kedua dzikir ini secara tidak langsung mendorong kita menjadi pribadi yang lebih baik, baik di mata Allah maupun di mata manusia.
Kekuatan Dzikir dalam Kehidupan Sehari-hari
Bayangkan, di pagi hari kita bangun dengan mengucapkan “Alhamdulillah” atas nikmat hidup dan kesehatan. Sepanjang hari, kita terus mengucapkannya saat mendapatkan kemudahan, rezeki tak terduga, atau bahkan ketika melewati kesulitan dengan sabar. Ketika tanpa sengaja melakukan kesalahan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, kita segera memohon ampun dengan “Astaghfirullah”. Pola ini akan membentuk hati yang senantiasa terhubung dengan Allah.
Ibnu Qayyim menegaskan bahwa kunci utama dari manfaat dzikir adalah kehadiran hati. Mengucapkan lafazh dzikir sambil merenungkan maknanya akan memberikan dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar pengulangan tanpa pemahaman. Luangkan waktu sejenak setelah shalat atau di waktu luang untuk berdzikir dengan penuh konsentrasi. Rasakan getaran syukur dan penyesalan yang tulus di dalam hati.
Dengan memahami dan mengamalkan rahasia dzikir “Alhamdulillah” dan “Astaghfirullah” sebagaimana yang diungkap oleh Ibnu Qayyim, kita membuka pintu menuju kehidupan spiritual yang lebih kaya, hati yang lebih tenang, dan kedekatan yang lebih mendalam dengan Allah SWT. Kedua dzikir ini adalah bekal terbaik bagi setiap mukmin dalam mengarungi samudra kehidupan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
