Surau.co. Menghafal itu mudah, tetapi menyimpan ilmu di hati adalah seni yang halus.
Kita hidup di zaman ketika siapa pun bisa menghafal dengan cepat — mulai dari ayat-ayat suci, teori ekonomi, hingga daftar istilah rumit. Namun, seberapa banyak di antara kita yang sungguh memahami makna di balik hafalan itu?
Burhān al-Dīn al-Zarnūjī dalam Ta‘lim al-Muta‘allim sudah lama mengingatkan murid-muridnya — dan peringatan itu ternyata masih relevan hingga hari ini. Ia menulis:
“ليس العلم بكثرة الرواية، وإنما العلم نور يقذفه الله في القلب.”
“Ilmu itu bukan karena banyaknya hafalan, tetapi cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati.”
Kalimat itu menampar kesadaran kita. Ilmu sejati tidak menetap di kepala, melainkan bersemayam di hati. Kepala hanya menyimpan kata, sedangkan hati menampung makna. Karena itu, orang yang sekadar menghafal mungkin fasih berbicara, tetapi orang yang menyimpan ilmu di hati mampu menghidupkan jiwa orang lain.
Fenomena Zaman: Banyak Hafal, Sedikit Paham
Kini, banyak orang berlari mengejar sertifikat, gelar, dan akreditasi. Mereka rajin belajar teori, tetapi ketika diuji oleh kenyataan, semua hafalan seolah lenyap begitu saja. Kita tahu definisi sabar, tetapi gagal bersabar. Kita hafal doa, tetapi jarang berdoa dengan hati yang hadir.
Zarnūjī kembali menegur kita lewat kalimat pendek yang dalam:
“العلم بلا عمل كالزرع بلا ماء.”
“Ilmu tanpa amal ibarat tanaman tanpa air.”
Artinya jelas: ilmu yang tidak disiram dengan penghayatan dan amal akan layu. Menghafal hanyalah langkah awal. Jika tidak dihidupi dengan kesadaran, maka ia akan mati pelan-pelan.
Kita sering merasa cukup dengan hafalan, padahal hafalan hanyalah kulit dari ilmu. Dagingnya adalah pemahaman, sedangkan jiwanya adalah pengamalan. Tanpa keduanya, hafalan hanya menjadi beban di kepala.
Menghafal Itu Pekerjaan Otak, Menyimpan Itu Pekerjaan Hati
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا، فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menjaganya (memahaminya) dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini tidak memerintahkan untuk menghafal, tetapi untuk menjaga. Menjaga berarti memahami, merenungkan, dan mengamalkan.
Zarnūjī pun menulis dengan nada lembut namun tegas:
“ينبغي لطالب العلم أن يكرر درسه حتى يرسخ في قلبه.”
“Seorang penuntut ilmu harus mengulang pelajarannya sampai tertanam di dalam hatinya.”
Dengan kata lain, menghafal berarti mengulang di kepala, sedangkan menyimpan berarti mengulang dengan kesadaran. Menghafal bisa dilakukan sekali duduk, tetapi menyimpan membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan keheningan. Di sanalah ilmu tumbuh menjadi hikmah.
Ilmu yang Menetap di Hati Tidak Mudah Hilang
Lebih jauh, Zarnūjī menulis:
“ما كان لله دام واتصل، وما كان لغير الله انقطع وانفصل.”
“Apa pun yang dilakukan karena Allah akan kekal dan bersambung, sedangkan yang dilakukan bukan karena-Nya akan terputus dan lenyap.”
Artinya, ilmu yang ditanam dengan niat yang jujur akan menetap dalam diri. Sebaliknya, ilmu yang dikejar karena gengsi atau ambisi akan menguap begitu ujian berakhir. Karena itu, menyimpan ilmu di hati bukan hanya proses intelektual, melainkan juga perjalanan spiritual.
Untuk itu, kita tidak hanya membutuhkan waktu untuk belajar, tetapi juga keheningan untuk merenung. Sebab ilmu sejati tidak berhenti pada tahu, melainkan berlanjut pada menyatu.
Fenomena Baru: Cepat Lupa Karena Terlalu Cepat Belajar
Zaman serba instan membuat banyak orang ingin paham tanpa proses. Kursus kilat, video lima menit, dan ringkasan singkat menjadi pilihan belajar sehari-hari. Akibatnya, hafalan cepat datang, tetapi cepat pula hilang.
Zarnūjī sudah lama menyinggung kebiasaan ini:
“من تعجل الشيء قبل أوانه عوقب بحرمانه.”
“Barang siapa tergesa-gesa sebelum waktunya, maka ia akan dihukum dengan kehilangan hasilnya.”
Belajar, seperti menanam benih, membutuhkan musimnya sendiri. Jika terlalu cepat ingin memetik buah, hasilnya hanyalah kehilangan akar. Menghafal tanpa perenungan hanya memindahkan kata dari buku ke lidah, sedangkan menyimpan ilmu di hati berarti membiarkan makna tumbuh di dalam jiwa.
Menjaga Ilmu dengan Adab dan Amal
Zarnūjī juga menulis:
“الأدب زينة العلم، والعمل حارس له.”
“Adab adalah perhiasan ilmu, dan amal adalah penjaganya.”
Kalimat ini sederhana, tetapi sangat dalam. Ilmu tanpa adab melahirkan kesombongan, sementara ilmu tanpa amal hanya menjadi beban. Karena itu, orang yang benar-benar menyimpan ilmu di hati akan terlihat dari perilakunya, bukan dari panjangnya pidato.
Kita mungkin hafal banyak hadis, namun apakah kita sudah meniru kelembutan Rasulullah ﷺ? Kita bisa hafal ayat tentang sabar, tetapi apakah kita benar-benar menahan diri ketika disakiti?
Di sinilah letak seni menyimpan ilmu: menjadikannya darah yang mengalir dalam perbuatan, bukan sekadar kata yang berputar di lidah.
Refleksi: Belajarlah Sampai Ilmu Itu Menyatu dengan Dirimu
Menghafal itu penting, tetapi jangan berhenti di sana. Karena ilmu sejati bukan yang kamu ucapkan, melainkan yang kamu jalani.
Jika hafalan membuatmu merasa pintar, sementara pemahaman membuatmu rendah hati, maka tanda ilmu sudah masuk ke hati.
Zarnūjī seakan berbisik pada setiap penuntut ilmu: Belajarlah bukan untuk menjadi pandai, tetapi untuk menjadi manusia.
Ketika ilmu tersimpan di hati, ia akan tumbuh menjadi kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan itu akan menjadi cahaya — menerangi dirimu, lalu memantul ke sekitar, memberi hidup pada dunia yang haus makna.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
