Surau.co. Teman belajar bisa jadi pintu surga, bisa juga pintu sombong. Kalimat ini seperti dua sisi mata uang yang sama. Di satu sisi, kita butuh teman untuk saling menumbuhkan, berdiskusi, dan memotivasi. Tapi di sisi lain, kalau hati tidak dijaga, teman belajar justru bisa menjadi pintu kesombongan — merasa paling tahu, paling benar, bahkan paling suci.
Burhān al-Dīn al-Zarnūjī dalam Ta‘lim al-Muta‘allim menegaskan pentingnya memilih teman dalam proses menuntut ilmu. Ia menulis dengan penuh kebijaksanaan:
“ينبغي لطالب العلم أن يختار أصدقاء صالحين يعينونه على العلم والعمل.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya memilih teman-teman yang saleh, yang dapat membantunya dalam ilmu dan amal.”
Belajar bukan sekadar soal kecerdasan, tapi juga soal suasana hati. Teman bisa menjadi cermin bagi perjalanan spiritual seseorang. Karena itulah, kata Zarnūjī, salah memilih teman bisa membuat ilmu yang seharusnya menjadi cahaya, justru berubah jadi bara kesombongan.
Fenomena Hari Ini: Belajar Jadi Ajang Pamer
Sekarang banyak yang belajar bukan karena ingin paham, tapi karena ingin tampak pintar. Media sosial penuh dengan kutipan kitab, tafsir, atau teori, tapi kadang tanpa ruh. Banyak yang berdiskusi bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk menunjukkan siapa yang lebih unggul.
Zarnūjī memperingatkan hal ini sejak berabad-abad lalu. Ia menulis:
“العلم بلا عمل وبلا إخلاص كالشجر بلا ثمر.”
“Ilmu tanpa amal dan tanpa keikhlasan adalah seperti pohon tanpa buah.”
Ilmu yang tidak diiringi keikhlasan — termasuk dalam pertemanan — hanya akan menjadi sumber ujub (kagum pada diri sendiri).
Teman belajar yang baik seharusnya saling mengingatkan, bukan saling menyaingi. Tapi ketika ego masuk ke ruang belajar, maka cahaya ilmu akan padam, digantikan oleh bara kompetisi dan kesombongan.
Belajar dari Fenomena Sahabat Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل
“Seseorang tergantung pada agama (karakter) temannya. Maka lihatlah siapa yang kamu jadikan teman.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini sejalan dengan pesan Zarnūjī — bahwa teman belajar adalah salah satu faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan keberkahan ilmu.
Jika seseorang belajar di lingkungan yang jujur dan rendah hati, maka ilmunya akan menumbuhkan kebijaksanaan. Tapi jika lingkungannya penuh riya dan debat tanpa arah, maka ilmu itu hanya akan menjadi beban.
Zarnūjī menulis lagi:
“الصاحب ساحب.”
“Teman itu penarik.”
Kalimat sederhana tapi tajam. Teman akan menarikmu ke arah yang sama dengannya — apakah menuju surga atau sebaliknya. Maka memilih teman belajar sejatinya adalah memilih arah hidup.
Teman Belajar yang Baik: Menjadi Cermin, Bukan Bayangan
Zarnūjī tidak hanya mengingatkan agar berhati-hati dalam memilih teman, tapi juga mengajarkan bagaimana menjadi teman yang baik. Ia menulis:
“على الطالب أن يحب لأخيه ما يحب لنفسه.”
“Seorang murid seharusnya mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”
Artinya, belajar bersama bukan ajang untuk bersaing, tapi untuk saling menumbuhkan. Kalau kamu paham duluan, bantulah yang belum paham. Kalau temanmu salah, tegurlah dengan kasih, bukan dengan sindiran.
Dalam pertemanan yang baik, tidak ada yang merasa lebih tinggi. Yang ada hanyalah rasa syukur karena Allah mempertemukan dua orang yang sama-sama ingin berjalan menuju cahaya ilmu.
Fenomena Zaman: Diskusi Jadi Ajang Menghakimi
Hari ini, banyak ruang belajar yang berubah jadi arena debat. Orang tidak lagi bertanya untuk mengerti, tapi untuk menjatuhkan. Zarnūjī menyebut ini sebagai penyakit penuntut ilmu:
“آفة العلم الكبر والمراء.”
“Penyakit ilmu adalah kesombongan dan perdebatan (yang sia-sia).”
Ilmu yang sejatinya menumbuhkan keheningan malah melahirkan kegaduhan. Padahal, orang yang benar-benar berilmu akan semakin tenang, bukan semakin berisik.
Kita bisa belajar dari kehidupan Rasulullah ﷺ. Beliau tidak pernah memaksa orang lain menerima pendapatnya, tapi justru menjadi pendengar terbaik. Beliau mengajarkan bahwa ilmu tidak tumbuh di hati yang keras. Karena itu, kalau kita ingin menjadi pelajar sejati, belajarlah untuk mendengarkan, bukan untuk menang.
Belajar Itu Perjalanan Kolektif, Bukan Solo Karier
Zarnūjī melihat belajar sebagai proses kolektif — perjalanan spiritual bersama, bukan kompetisi. Ia menulis:
“العلم لا يُدرك إلا بالجماعة والتعاون.”
“Ilmu tidak dapat dicapai kecuali dengan kebersamaan dan tolong-menolong.”
Kalimat ini menjadi pengingat bahwa manusia tidak bisa tumbuh sendirian. Kita belajar dari guru, teman, bahkan dari orang yang kita anggap sederhana.
Teman belajar adalah bagian dari sistem pendidikan ruhani: mereka membantu kita menjaga semangat, niat, dan akhlak.
Tapi jika kita salah memilih teman, maka perjalanan itu akan berat. Seperti mendayung di perahu yang sama, tapi satu mendayung ke depan dan yang lain ke belakang. Akibatnya, kapal tidak akan pernah bergerak.
Refleksi: Bertemanlah dengan Orang yang Menyadarkanmu
Dalam belajar, kita butuh teman yang menegur ketika salah, bukan yang memuji ketika sombong.
Kita butuh teman yang mengingatkan Allah, bukan yang meninabobokan ego.
Zarnūjī seakan berpesan: teman belajar bisa jadi pintu surga, jika pertemanan itu dilandasi keikhlasan. Tapi ia juga bisa menjadi pintu kesombongan, jika dipenuhi ambisi dan pamer pengetahuan.
Maka lihatlah siapa yang ada di sebelahmu saat belajar. Apakah ia membuatmu semakin dekat pada Allah, atau semakin jauh dari rendah hati?
Karena teman belajar yang baik bukan yang membuatmu merasa pintar, tapi yang membuatmu semakin ingin memperbaiki diri.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo,Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
