SURAU.CO. Pacu Jalur adalah perlombaan perahu panjang tradisional masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Istilah jalur merujuk pada perahu kayu panjang yang dapat menampung hingga 60 orang pendayung. Lalu, bagaimana aura islam pacu jalur mewarnai perjalanan tradisi ini?.
Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang olahraga rakyat, tetapi juga simbol persatuan, gotong royong, dan semangat kebersamaan masyarakat Kuantan Singingi.
Asal-usul
Menurut catatan sejarah lokal dan sumber Dinas Kebudayaan Riau, Pacu Jalur telah ada sejak awal abad ke-17. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang menjadi ajang perlombaan dan hiburan rakyat. Catatan tertulis tentang penyelenggaraan Pacu Jalur pertama kali tercatat sekitar tahun 1903.
Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur diselenggarakan untuk memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina. Namun, sebelum Belanda masuk ke negri Kuantan Singingi, Pacu Jalur diselenggarakan untuk memperingati hari besar Islam. Hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, dan Tahun Baru Islam (1 Muharram).
Seiring berjalannya waktu, makna dan tujuannya berubah untuk menyambut dan memeriahkan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.
Pacu Jalur tidak hanya memperlihatkan ketangkasan dan kekuatan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai religius dan sosial masyarakat Kuansing. Ritual pembukaan lomba biasanya diawali dengan doa bersama untuk memohon keselamatan para pendayung.
Festival Budaya
Dalam satu jalur, terdapat sekitar 50–60 pendayung, seorang tukang tari (pengatur irama), dan tukang onjai (penyemangat). Mereka berlomba mendayung secepat mungkin di Sungai Kuantan sejauh 1–2 kilometer.
Festival Pacu Jalur yang diadakan setiap Agustus di Riau kini masuk dalam agenda nasional Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Kemenparekraf telah memberikan dukungan strategis sejak tahun 2022 melalui promosi terpadu, penguatan branding, peningkatan kualitas penyelenggaraan, dan perluasan akses pasar, termasuk masuk ke dalam Top 10 KEN 2024.
Pada tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Provinsi Riau. Penetapan ini menegaskan nilai penting tradisi ini tidak hanya sebagai hiburan rakyat, tetapi juga sebagai simbol kearifan lokal yang mengandung pesan religius, moral, dan spiritual.
Perkembangan Islam di Kuantan Singingi
Masuknya Islam ke wilayah Kuansing terjadi pada abad ke-16 hingga ke-17 melalui jalur perdagangan Sungai Kuantan yang terhubung dengan Kerajaan Siak dan Kerajaan Indragiri. Perkembangan Islam di wilayah Kuantan Singingi berkaitan erat dengan jalur perdagangan sungai dan proses interaksi budaya di pesisir dan dataran Riau.
Para pedagang dari Minangkabau dan pesisir Melayu membawa ajaran Islam dan memperkenalkannya melalui dakwah, pernikahan, serta pendidikan surau dan pesantren. Ulama-ulama lokal kemudian menjadi tokoh penting dalam penyebaran ajaran Islam di pedesaan Kuansing.
Sumber-sumber sejarah menyebut peran tokoh dan ulama yang menyebarkan ajaran Islam melalui jaringan dakwah serta hubungan antar-kerajaan dan pedagang.
Makam Datuk Syekh Al-Azhar di Teluk Kuantan adalah situs yang ramai di ziarahi setiap tahun. Makam ini menjadi pusat ziarah dan simbol hadirnya perkembangan Islam di Kuansing terutama Teluk Kuantan.
Kehadiran makam-makam ulama dan kegiatan ziarah memperlihatkan bagaimana Islam di daerah ini berkembang tidak hanya lewat pengajaran formal, tetapi juga praktik keagamaan lokal yang menyerap unsur kultural setempat.
Aura Islam dalam Tradisi
Nilai-nilai seperti kerja sama (ta‘awun), kebersamaan (ukhuwah), dan keikhlasan (ikhlas) menjadi dasar filosofi Pacu Jalur. Pendayung tidak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi harus bergerak serempak agar mencapai kemenangan.
Filosofi ini mencerminkan pesan Rasulullah SAW:
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian mulai terasa aura islam pacu jalur, bukan hanya olahraga tradisional, tetapi juga sarana dakwah kultural yang menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial masyarakat Kuansing.
Tantangan dan Pelestarian
Viralnya Pacu Jalur menghasilkan peningkatan kunjungan wisatawan dan perhatian publik terhadap tradisi ini. Modernisasi, globalisasi, dan arus wisata kadang mengubah makna sakral tradisi ini menjadi sekadar tontonan. Namun, berbagai pihak terus berupaya menjaga nilai-nilai asli festival ini agar tetap sesuai dengan semangat awalnya — yaitu memperingati syiar Islam dan memperkuat persaudaraan umat.
Namun modernisasi juga menimbulkan tantangan seperti penyusutan nilai ritual asli, perubahan komersialisasi acara, dan kebutuhan pengaturan keselamatan untuk penonton dan peserta. Aura Islam dalam Pacu Jalur adalah bukti nyata perpaduan antara budaya Melayu dan ajaran Islam di Kuantan Singingi. Tradisi ini berkembang menjadi ajang kebersamaan dan dakwah kultural yang menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.
Melestarikan Pacu Jalur berarti menjaga jati diri dan sejarah Islam di tanah Kuantan Singingi, Riau. Pacu jalur sebagai warisan budaya yang mengajarkan kepada kita akan semangat kerja sama, keimanan, peratuan dan cinta tanah air. ***
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
