SURAU.CO. Pepatah Jawa mengatakan “kakean gludhug kurang udan” lahir dari kepekaan masyarakat dalam membaca alam dan tabiat manusia. Ungkapan yang berarti “banyak guntur tapi sedikit hujan” ini menegur mereka yang gemar berbicara besar tanpa tindakan nyata. Dalam bahasa sekarang, semakna dengan talk more, do less.
Pepatah ini menyingkap watak manusia yang semakin pandai bersuara, tapi enggan bekerja; semakin nyaring dalam kata, namun semakin kering dalam karya. Ia mengingatkan agar manusia tak terjebak dalam kebisingan omong kosong, sebab suara tanpa perbuatan hanya meninggalkan gema tanpa makna.
Makna Mendalam: Teguran Halus dalam Kehidupan Sosial
Pepatah ini tidak lahir untuk menghina, melainkan untuk menegur dengan halus. Orang yang kakean gludhug kurang udan biasanya tampak ramah, luwes, dan pandai merangkai kata. Di awal pertemuan, mereka sering menawan hati dengan tutur yang meyakinkan. Namun, lama-kelamaan, omongannya terasa kosong dan melelahkan. Janji-janji manis hanya berakhir di bibir, tanpa wujud yang nyata. Mereka berbicara tentang kebaikan, tapi enggan melangkah untuk mewujudkannya. Seperti langit yang bergemuruh tanpa hujan, mereka terdengar ramai, namun tak pernah menyejukkan.
Pepatah ini mencerminkan kepekaan masyarakat Jawa terhadap keseimbangan antara kata dan tindakan. Dalam pandangan mereka, berbicara tanpa bukti berarti kehilangan wibawa. Budi luhur bukan diukur dari banyaknya ucapan, melainkan dari ketekunan dalam kerja nyata. Orang yang pandai berbicara tapi tak bekerja dianggap kehilangan isin—rasa malu yang menjadi tiang moral dalam kehidupan orang Jawa.
Dari Lumbung Padi ke Panggung Politik
Fenomena kakean gludhug kurang udan mudah ditemukan hari ini. Ini terutama terjadi dalam ruang politik dan media sosial. Banyak pejabat berpidato dengan berapi-api. Mereka berbicara soal perubahan, keadilan, dan kesejahteraan. Namun, janji tinggal retorika setelah duduk di kursi kekuasaan dan akyat hanya menjadi pendengar setia petir yang berisik.
Begitu pula di dunia maya. Setiap orang memiliki “panggung gludhug”-nya sendiri. Status, cuitan, video, dan komentar menjadi gema berulang. Orang mudah berbicara tentang moral, agama, bahkan empati. Namun, mereka lupa berbuat nyata. Kepedulian sejati tergeser oleh keinginan terlihat peduli. Dunia kita hari ini dipenuhi petir, tapi miskin hujan.
Pepatah ini tidak sepenuhnya menghukum. Suara petir memang keras. Tetapi, ia mengandung energi besar. Orang yang banyak bicara sering kali cerdas. Mereka punya daya pikir. Hanya saja mereka kehilangan arah. Energi mereka habis dalam kata bukan dalam karya. Kakean gludhug kurang udan adalah ajakan untuk menata ulang keseimbangan antara ucapan dan tindakan.
Diam yang Bekerja Mengutamakan Tindakan Nyata
Orang Jawa zaman dulu lebih memilih diam tapi bekerja. Mereka meyakini bahwa tindakan yang tulus terdengar lebih nyaring daripada seribu kata. Dalam kesunyian, mereka menanam, menyiram, dan menunggu hujan dengan sabar. Di dunia agraris, kerja keras menjadi doa yang tidak diucapkan, sementara kesunyian menjadi tanda keikhlasan. Nilai-nilai semacam ini kini makin pudar di tengah budaya pamer dan pencitraan diri yang bising.
Budaya diam yang bekerja sejatinya sejalan dengan etika spiritual Islam: “Man kana yu’minu billahi wal-yaumil ākhir fal-yaqul khairan aw liyasmut” — siapa yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam. Diam bukan berarti pasif, melainkan bentuk kendali diri agar tidak larut dalam kebisingan yang sia-sia. Orang bijak tidak menabuh genderang sebelum panen, karena ia tahu hasil yang baik tidak butuh promosi.
Pepatah ini menjadi pengingat agar kita tidak mudah terpukau pada suara yang keras. Kata-kata indah kerap menipu, sementara tindakan nyata sering luput dari perhatian. Justru tindakan kecil yang tulus membawa kesejukan paling dalam—kesejukan yang bertahan lebih lama daripada bunyi petir yang sekadar memecah langit.
Menjadi Hujan di Tengah Dunia yang Gaduh
Kakean gludhug kurang udan bukan sekadar sindiran, melainkan ajakan untuk kembali jujur pada diri sendiri. Pepatah ini menuntun kita menimbang ulang makna hidup—bahwa yang membuat hidup bernilai bukan seberapa keras kita berbicara, melainkan seberapa besar manfaat yang kita tinggalkan. Dunia boleh bergemuruh oleh suara dan janji, namun yang benar-benar dirindukan manusia selalu sama: kesejukan hujan yang menumbuhkan kehidupan.
Jika kita hidup di zaman yang riuh oleh petir kata-kata, mungkin sudah waktunya meneladani lagi kearifan Jawa ini—untuk lebih banyak bekerja daripada berkoar, lebih banyak menanam daripada menuding, lebih banyak menjadi hujan daripada petir. Sebab yang abadi bukanlah suara yang menggema, melainkan kesejukan yang tertinggal setelahnya. Dan sejatinya, amal baik selalu berbicara paling lantang—tanpa perlu guntur yang menggelegar. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
