Surau.co. Waktu itu guru yang tak punya lisan. Tidak bicara, tapi ia mendidik. Ia tidak menasihati, tapi mengajari dengan kehilangan. Ia tidak marah, tapi menegur lewat penyesalan. Dan anehnya, banyak dari kita yang belajar dari semua hal, kecuali dari waktu.
Burhān al-Dīn al-Zarnūjī, dalam kitab klasiknya Ta‘lim al-Muta‘allim, sudah menyinggung tentang pentingnya menghargai waktu bagi penuntut ilmu. Ia menulis dengan tegas namun lembut:
“ينبغي لطالب العلم أن يغتنم وقته، ولا يضيّعه في غير فائدة.”
“Seorang penuntut ilmu hendaknya memanfaatkan waktunya dan tidak menyia-nyiakannya untuk hal yang tidak bermanfaat.”
Kita sering beralasan tidak punya waktu, padahal sebenarnya yang terjadi: kitalah yang tidak memberi waktu kesempatan untuk menjadi guru. Zarnūjī mengingatkan, waktu adalah bagian dari ibadah. Karena di dalamnya, ada peluang untuk belajar, berbuat, dan memperbaiki diri.
Fenomena: Banyak yang Sibuk, Tapi Sedikit yang Berkembang
Zaman ini penuh kesibukan, tapi minim pertumbuhan. Kita berlari dari pagi sampai malam, tapi sering lupa ke mana arah lari itu. Orang belajar cepat, bekerja cepat, bahkan beribadah pun cepat. Tapi hasilnya? Kita tetap merasa kosong.
Padahal, Zarnūjī mengajarkan bahwa waktu bukan sekadar angka yang lewat, tapi wadah keberkahan. Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, ia menulis lagi:
“البركة في الوقت بالطاعة والنية الصالحة.”
“Keberkahan waktu itu terletak pada ketaatan dan niat yang baik.”
Artinya, bukan seberapa banyak kegiatan yang kita lakukan, tapi seberapa ikhlas niat di dalamnya. Waktu akan menjadi guru hanya jika kita mau diam sejenak dan mendengarkan pelajarannya.
Waktu tidak butuh teriak untuk memberi tahu kita bahwa hidup ini singkat. Ia mengajarkan dengan cara paling halus: lewat rambut yang memutih, lewat anak-anak yang tumbuh, lewat cita-cita yang dulu terasa dekat tapi kini jauh.
Menunda Adalah Cara Halus Mengubur Ilmu
Berapa banyak niat baik yang kita kubur hanya karena menunda? Ingin baca buku, tapi nanti. Punya keinginan menulis, tapi belum sempat. Ingin memperbaiki diri, tapi menunggu waktu yang pas. Padahal waktu tidak pernah menunggu siapa pun.
Zarnūjī menulis:
“تأخير العمل سبب للحرمان.”
“Menunda amal adalah sebab datangnya kerugian.”
Setiap kali kita menunda, kita sebenarnya sedang menolak pelajaran dari waktu. Karena setiap detik yang berlalu adalah ayat yang tidak akan diulang.
Ilmu bukan hanya milik orang yang pintar, tapi milik orang yang disiplin. Orang yang bisa menjaga waktunya, akan menjaga masa depannya.
Rasulullah ﷺ: Gunakan Waktu Sebelum Hilang
Rasulullah ﷺ bersabda:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ.
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.”
(HR. Hakim)
Hadis ini sejalan dengan nasihat Zarnūjī — waktu adalah guru yang tidak menegur dengan suara, tapi dengan kehilangan kesempatan.
Kita baru sadar nilai sebuah waktu ketika ia sudah lewat.
Seperti murid yang menyesal karena tak hadir di kelas, kita pun menyesal ketika waktu belajar, berbuat baik, atau mendekat kepada Allah sudah berlalu.
Ilmu Tidak Akan Mampir ke Hati yang Malas
Zarnūjī menulis dengan tegas tentang bahaya kemalasan:
“الكسل يمنع الطالب من إدراك العلم.”
“Kemalasan menghalangi murid dari meraih ilmu.”
Ilmu itu seperti cahaya matahari. Ia hanya menerangi ruangan yang terbuka. Kalau hati tertutup oleh rasa malas, cahaya itu tak akan masuk.
Waktu akan lewat begitu saja, dan yang tersisa hanyalah penyesalan.
Karena itu, belajar bukan hanya soal membaca buku, tapi soal menata waktu. Menjaga jam tidur, menyiapkan waktu untuk membaca, menulis, berdoa, dan merenung. Semua itu adalah bagian dari adab terhadap waktu — adab terhadap guru yang tak punya lisan ini.
Fenomena Zaman: Ilmu Banyak, Tapi Tidak Mengakar
Kita sering kagum dengan orang yang tahu banyak, tapi Zarnūjī tidak mengajarkan sekadar tahu. Ia mengajarkan memahami dan menghayati. Ia menulis:
“العلم ما نفع، لا ما حُفِظ.”
“Ilmu adalah yang memberi manfaat, bukan sekadar yang dihafal.”
Ilmu yang bermanfaat hanya tumbuh pada mereka yang sabar menggunakan waktunya untuk merenung.
Kalau belajar hanya ingin cepat, hasilnya dangkal. Tapi kalau mau sabar mengikuti irama waktu, maka ilmu akan berakar di hati.
Waktu, seperti guru yang sabar, mengajarkan kita perlahan. Ia tahu kapan harus memberi pelajaran, dan kapan harus diam. Tapi kalau kita terus tergesa, kita akan melewatkan makna di balik keheningannya.
Refleksi: Belajar Mendengar Suara Waktu
Waktu tidak pernah berteriak, tapi ia berbicara lewat perubahan.
Ia mengingatkan lewat uban yang muncul tanpa izin, lewat teman yang pergi tanpa pamit, lewat doa yang belum sempat diucap.
Zarnūjī seakan berkata: “Barang siapa tidak belajar menghargai waktu, maka ia sedang menolak keberkahan ilmu.” Karena waktu bukan hanya angka di jam tangan, tapi ladang yang menunggu untuk ditanami amal.
Kalau kamu merasa hidupmu berjalan cepat, itu pertanda kamu belum belajar dari waktu.
Dan kalau kamu masih menunda-nunda belajar, percayalah, waktu sedang mengajarimu dengan caranya sendiri — dengan kehilangan.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
