Surau.co. Ilmu tanpa doa seperti nasi tanpa api — mentah! Kalimat ini mungkin terdengar lucu, tapi sesungguhnya adalah sindiran yang sangat serius. Kita hidup di zaman ketika ilmu bertebaran di mana-mana, tapi manusia justru kehilangan arah. Orang berdebat soal teori, tapi lupa berdoa sebelum belajar. Banyak yang sibuk menulis disertasi, tapi jarang bersujud minta hidayah.
Padahal, dalam pandangan Burhān al-Dīn al-Zarnūjī — ulama besar abad ke-12 yang menulis Ta‘lim al-Muta‘allim — ilmu tidak akan matang tanpa doa. Ia menulis dengan tegas:
“ينبغي لطالب العلم أن يدعو الله تعالى بالتوفيق والهداية في كل وقت.”
“Seorang penuntut ilmu seharusnya senantiasa berdoa kepada Allah Ta‘ala memohon taufik dan petunjuk di setiap waktu.”
Doa bukan pelengkap formalitas belajar, tapi api yang menyalakan ilmu. Tanpa doa, ilmu menjadi kering, keras, dan kehilangan rasa. Ia mungkin hebat di logika, tapi mati di hati.
Fenomena Zaman: Ilmu Banyak, Tapi Hati Kosong
Hari ini, manusia bisa dengan mudah belajar apa saja. Satu klik di mesin pencari, ribuan informasi muncul. Tapi anehnya, banyak yang tetap gelisah, mudah tersinggung, bahkan kehilangan arah moral. Mengapa? Karena ilmu mereka berhenti di kepala, tidak pernah turun ke hati.
Zarnūjī menulis lagi:
“العلم نور، ونور الله لا يُعطى للعاصي.”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Ilmu sejati adalah cahaya, bukan sekadar data. Tapi cahaya itu tidak akan menyala di hati yang kotor, apalagi yang sombong.
Sementara doa adalah cara kita membersihkan hati — memohon agar ilmu tidak hanya membuat kita tahu, tapi juga membuat kita mengerti.
Berapa banyak orang yang tahu hukum halal-haram tapi tetap menipu? Berapa banyak yang hafal hadis tapi masih meremehkan sesama? Ilmu mereka mentah, karena tidak dimasak dengan doa.
Doa Adalah Jalan Ilmu Menjadi Berkah
Zarnūjī juga menulis nasihat yang penuh makna:
“من لم يسأل الله العلم لم يُعطَه.”
“Barang siapa tidak meminta ilmu kepada Allah, maka ia tidak akan mendapatkannya.”
Kalimat ini seperti tamparan halus. Banyak orang berpikir ilmu datang karena kecerdasan atau kerja keras, padahal sumbernya adalah karunia. Allah-lah yang membuka pintu pemahaman. Dan kunci pintu itu adalah doa.
Rasulullah ﷺ pun mengajarkan doa agar ilmu kita diberkahi:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي وَزِدْنِي عِلْمًا
“Ya Allah, berilah aku manfaat dari ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarkan aku ilmu yang bermanfaat, dan tambahkanlah ilmuku.”
(HR. Tirmidzi)
Inilah rahasia terbesar belajar. Bukan hanya membaca buku, tapi juga berdoa sebelum dan sesudahnya. Karena ilmu yang diberkahi bukan hanya menambah pengetahuan, tapi juga menambah kedekatan dengan Allah.
Antara Cerdas dan Cerdik: Doa yang Membedakan
Zarnūjī memahami betul perbedaan antara orang yang cerdas dan orang yang mendapat taufik. Orang cerdas bisa menemukan teori, tapi orang yang mendapat taufik menemukan kebenaran.
Ia menulis:
“التوفيق من الله لا من الذكاء.”
“Taufik (petunjuk yang benar) berasal dari Allah, bukan dari kecerdasan.”
Betapa banyak orang yang pintar tapi tersesat oleh ilmunya sendiri. Mereka menafsirkan ayat dan hukum sesuai nafsu, menggunakan logika untuk membenarkan keinginan pribadi. Semua karena lupa berdoa, lupa meminta petunjuk.
Doa menundukkan kesombongan intelektual. Ia mengingatkan kita bahwa ilmu bukan milik kita, tapi amanah dari Tuhan.
Dan setiap kali kita berdoa, sesungguhnya kita sedang menyiapkan hati agar layak menjadi tempat turunnya cahaya ilmu.
Ilmu yang Dimasak dengan Doa Akan Mengenyangkan Banyak Orang
Bayangkan ilmu seperti nasi mentah. Bahan dasarnya bagus, tapi tanpa api, ia tak bisa dimakan. Api itu adalah doa — sesuatu yang tidak kelihatan tapi memberi daya hidup.
Ilmu yang dimasak dengan doa tidak hanya mengenyangkan diri sendiri, tapi juga memberi manfaat bagi banyak orang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad)
Zarnūjī juga menegaskan hal yang sama:
“العلم ما نفع، لا ما حُفِظ.”
“Ilmu adalah yang memberi manfaat, bukan sekadar yang dihafal.”
Ilmu yang bermanfaat lahir dari hati yang bersih dan berdoa. Sebaliknya, ilmu yang tidak disertai doa hanya menjadi kesombongan yang berwujud akademik.
Fenomena: Rajin Belajar Tapi Lupa Berdoa
Kita sering rajin mencatat, tapi malas berdoa. Kita sibuk membaca, tapi jarang merenung. Padahal, menurut Zarnūjī, murid sejati bukan hanya yang rajin hadir di kelas, tapi juga yang menyandarkan hatinya kepada Allah.
Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, beliau menulis:
“ينبغي لطالب العلم أن يتوكل على الله في كل أمره.”
“Seorang penuntut ilmu seharusnya bertawakal kepada Allah dalam setiap urusannya.”
Artinya, belajar bukan sekadar mengandalkan logika dan metode, tapi juga keikhlasan dan tawakal. Karena ilmu sejati tidak datang hanya dari buku, tapi dari Allah yang menyalakan cahaya di dada orang-orang yang ikhlas.
Refleksi: Masaklah Ilmumu dengan Doa
Ilmu yang matang adalah ilmu yang disertai doa, karena doa menjadikan pengetahuan terasa hidup dan penuh makna.
Kalau kamu merasa sudah belajar keras tapi tetap bingung, mungkin kamu lupa menyalakan api doa.
Kalau kamu merasa hafal banyak tapi hatimu tetap gelap, mungkin kamu sedang makan nasi mentah — ilmu tanpa doa.
Belajar itu penting, tapi jangan pernah lupakan unsur batin di baliknya. Setiap kali membuka buku, ucapkan doa. Setiap kali menulis, mohonlah keberkahan. Karena ilmu tanpa doa hanyalah akal tanpa arah.
Dan jika ilmu adalah nasi, maka doa adalah api yang membuatnya matang — harum, lembut, dan mengenyangkan siapa pun yang menikmatinya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
