SURAU.CO. Pernahkah kamu membayangkan, hidup satu atap dengan seorang nabi, manusia pilihan Allah, yang lisannya tak pernah kotor, hatinya penuh cahaya, dan setiap langkahnya adalah wahyu? Pada masa kenabian, dari rumah penuh cahaya itu, lahir kisah kelam seorang wanita yang memilih gelap. Istri Nabi Luth ‘alaihissalam, perempuan yang hidup di bawah bimbingan kenabian, namun justru menjadi penghuni neraka.
Ketika Istri Memilih Berkhianat
Kisah ini bermula di kota Sadum, sebuah negeri yang makmur tapi kehilangan arah. Di sana, dosa bukan lagi sesuatu yang tersembunyi, tetapi mereka dengan bangga memamerkannya. Penduduknya melakukan perbuatan keji yang mana manusia sebelumnya belum pernah melakukan. Mereka melakukan hubungan sesama jenis secara terang-terangan.
Allah Swt mengutus Nabi Luth untuk memperbaiki akhlak penduduk Sadum. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berdiri di tengah arus yang ganas dan menyeru pada kebaikan.
Allah berfirman, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. Al-A‘raf: 80)
Namun, kebenaran sering kali terdengar mengganggu di telinga mereka yang nyaman dalam dosa. Kaumnya justru mengejek Nabi Luth dengan menuduh sok suci dan mengusirnya. Al-Qur’an menceritakan kisah kaum nabi Luth dalam banyak surat.
“Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih”.(QS. An-Naml: 56)
Di tengah masyarakat seperti inilah Nabi Luth hidup, berdakwah, dan tragisnya berumah tangga. Istri Nabi Luth dikenal dengan nama Wailah (atau Mahlah dalam beberapa riwayat). Ia berasal dari kalangan terpandang, cantik, kaya, dan terhormat. Tapi di balik itu, hatinya rapuh. Ia mencintai dunia yang glamor, pesta, dan gengsi sosial lebih dari kebenaran yang dibawa suaminya.
Wailah tahu suaminya seorang nabi. Ia menyaksikan mukjizat, mendengar ayat-ayat Allah langsung dari lisan suaminya. Tapi hidayah bukan soal tahu, namun soal mau. Dan sayangnya, Wailah tidak mau.
Yang lebih parah, ia berpihak pada kaum pendosa. Ketika malaikat datang ke rumah Nabi Luth dalam rupa pemuda tampan, Wailah justru membocorkan rahasia itu kepada penduduk Sadum. Ia berlari memberi tahu para lelaki bejat, “Datang tamu-tamu tampan di rumah Luth!”. Itulah bentuk pengkhianatannya. Ia menjual kehormatan suaminya demi solidaritas pada kaum yang sesat.
Tragedi dari Rumah Kenabian
Malam itu, kaum luth (penduduk Sadum) mengepung rumah Nabi Luth. Mereka berteriak di depan pintu, menuntut agar Luth menyerahkan tamu-tamunya. Nabi Luth putus asa. Ia tahu mereka tidak akan berhenti sampai kehinaan itu terjadi.
Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan kepedihan itu, “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit”. (QS. Hud: 77)
Di tengah keputusasaan itu, para tamu membuka identitas mereka. “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. …” (QS. Hud: 81)
Azab pun turun. Tanah berguncang, langit menurunkan hujan batu, dan kota Sadum dibalikkan dari dasar ke atas. Semua pendosa binasa. Dan di antara mereka, ada satu sosok yang seharusnya selamat, tapi memilih celaka, yaitu istri Nabi Luth.
Allah berfirman, “Kami selamatkan dia (Luth) dan pengikutnya, kecuali istrinya. Ia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS. Al-A‘raf: 83)
Istri Nabi Luth bukan hanya durhaka, tapi juga pengkhianat. Ia mengkhianati cinta, amanah, dan risalah. Padahal Allah memberinya kesempatan langka untuk hidup bersama seorang nabi. Namun, kedekatan fisik tak berarti apa-apa jika hati menolak iman.
Al-Qur’an bahkan menjadikannya simbol untuk semua manusia yang kufur, tak peduli siapakah suaminya. “Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir: istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu keduanya berkhianat kepada suaminya; maka suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah…” (QS. At-Tahrim: 10)
Sungguh tragis nasib istri Nabi Luth, tapi sangat manusiawi. Ia bukan kafir karena tak kenal nabi, melainkan karena tak mau berpisah dari lingkaran dosa yang sudah menjadi dunianya.
Pelajaran untuk Zaman Modern
Kita hidup di masa ketika banyak orang tahu kebenaran, tapi enggan membelanya. Banyak yang lebih nyaman berada di lingkaran salah, karena takut kehilangan pergaulan, pekerjaan, atau penerimaan.
Persis seperti istri Luth, yang tahu siapa suaminya, tapi takut dunia meninggalkannya. Kisah istri Nabi Luth adalah cermin besar bagi zaman ini.
Padahal Allah mengingatkan, “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka (orang-orang yang memperolok ayat Allah) sampai mereka beralih ke pembicaraan lain.” (QS. Al-An‘am: 68)
Di dunia modern, “kaum Sadum” bisa muncul dalam berbagai bentuk. Kadang bukan berupa dosa fisik, tapi budaya yang menormalisasi maksiat. Seperti, pornografi, seks bebas, materialisme, hedonisme. Dan setiap kali kita diam, atau berpihak pada arus itu, kita sedang berjalan di jejak yang sama dengan jalan istri Luth.
Kedekatan dengan orang saleh tidak otomatis menyelamatkan kita. Kita bisa saja lahir di keluarga alim, menikah dengan orang taat, atau bahkan rutin mendengar ceramah. Tapi kalau hati tidak bergerak, iman tetap takkan tumbuh. Dekat dengan cahaya tidak menjamin kau akan bercahaya.
Karena yang membuatmu bersinar, bukan tempatmu berdiri, tapi arah hatimu berpaling
Begitulah pesan besar dari kisah ini, bahwa iman adalah pilihan pribadi. Ia tak bisa diwariskan, tak bisa dibeli, dan tak bisa dititipkan. Ketika azab menimpa, istri Nabi Luth mungkin sempat menyesal. Tapi penyesalan tanpa iman hanyalah sia-sia. Ia memilih dunianya, dan dunia itu tenggelam bersama dirinya.
Kisahnya menjadi peringatan abadi dari Allah, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Yusuf: 111)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
