Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu Itu Cahaya, Tapi Kalau Hatimu Kotor, Lampunya Mati

Ilmu Itu Cahaya, Tapi Kalau Hatimu Kotor, Lampunya Mati

Santri membaca kitab di bawah lentera, simbol ilmu sebagai cahaya bagi hati.
Ilustrasi filosofis tentang hati yang bersih menjadi tempat turunnya cahaya ilmu.

Surau.co. Ilmu itu cahaya, tapi kalau hatimu kotor, lampunya mati. Kalimat ini terdengar seperti petuah seorang kiai di surau kampung. Sederhana, tapi tajam seperti pisau yang mengupas kulit keangkuhan manusia berilmu. Di zaman sekarang, ilmu sudah begitu melimpah — dari internet, buku, hingga kampus. Tapi anehnya, semakin banyak orang pintar, semakin banyak pula kebingungan. Karena ternyata ilmu tanpa kebersihan hati hanyalah lampu tanpa listrik.

Burhān al-Dīn al-Zarnūjī, dalam kitab klasik Ta‘lim al-Muta‘allim, menyebutkan bahwa ilmu sejati tidak mungkin masuk ke hati yang kotor. Ia menulis:

“العلم نور، ونور الله لا يُعطى للعاصي.”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”

Cahaya ilmu bukan sekadar informasi, bukan tumpukan teori di kepala, tapi nur ilahi yang hanya bisa menyala di hati yang jernih. Kalau hati penuh dengki, sombong, dan niat buruk, maka ilmu yang masuk pun jadi gelap, tidak membimbing, bahkan bisa menyesatkan.

Ketika Ilmu Jadi Alat Kesombongan

Fenomena sehari-hari mudah sekali menunjukkan kebenaran kata Zarnūjī ini. Banyak orang yang merasa semakin tahu, justru semakin keras kepala. Orang yang sedikit belajar agama, langsung menghakimi. Yang baru hafal sedikit hadis, langsung menuduh orang lain bid‘ah. Mereka membawa ilmu bukan sebagai pelita, tapi sebagai senjata.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Zarnūjī menulis lagi dalam kitabnya:

“من لم يُهذّب أخلاقه لم ينتفع بعلمه.”
“Barang siapa tidak memperbaiki akhlaknya, maka ilmunya tidak akan bermanfaat.”

Ilmu yang benar tidak membuat manusia tinggi hati, tapi menundukkan kepala. Karena semakin ia berilmu, semakin ia sadar bahwa lautan pengetahuan tidak akan pernah habis. Tapi kalau hati rusak, ilmu justru jadi racun. Orang seperti itu mungkin tahu banyak, tapi kehilangan rasa; paham hukum, tapi tak mengenal kasih; menguasai ayat, tapi kehilangan cinta.

Cahaya Ilmu Hanya Menyala di Hati yang Bersih

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Belajar juga amal. Artinya, niat menentukan kualitas ilmu yang kita dapat. Jika niatnya karena Allah, maka setiap langkah menuju majelis ilmu akan menjadi cahaya. Tapi kalau niatnya untuk pujian, maka ilmu hanya akan menambah beban ego.

Zarnūjī menulis pula dalam Ta‘lim al-Muta‘allim:

“ينبغي لطالب العلم أن يُخلِص نيّتَه لله تعالى.”
“Seorang penuntut ilmu seharusnya memurnikan niatnya hanya untuk Allah Ta‘ala.”

Niat yang lurus adalah pintu bagi cahaya ilmu. Sebaliknya, niat yang rusak menutup jalan bagi keberkahan. Maka jangan heran kalau seseorang yang banyak tahu tetap gelisah, tidak tenang, dan sulit menemukan makna. Sebab ilmu yang tak disinari keikhlasan hanyalah kumpulan huruf tanpa ruh.

Ilmu Tanpa Adab, Seperti Lampu Tanpa Minyak

Salah satu pesan paling indah dari Zarnūjī adalah tentang adab. Ia menulis:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“العلم لا يُنال إلاّ بالأدب.”
“Ilmu tidak akan diraih kecuali dengan adab.”

Adab adalah minyak yang membuat lampu ilmu menyala. Banyak orang pandai, tapi tidak punya adab. Ia tahu banyak ayat, tapi lisannya tajam. Ia paham fikih, tapi hatinya kering dari kasih. Akibatnya, ilmunya tidak memberi cahaya, justru membakar sekitarnya.

Belajar yang benar bukan hanya soal membaca buku, tapi juga mendidik hati untuk menghormati guru, menghargai perbedaan, dan menahan ego. Itulah sebabnya para ulama dulu menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk mempelajari adab sebelum masuk ke ilmu.

Kita mungkin bisa cepat jadi pintar, tapi untuk menjadi bijak, dibutuhkan hati yang sabar dan bersih.

Ketika Dunia Lebih Terang daripada Hati

Hari ini dunia sudah terang benderang oleh teknologi, tapi hati manusia banyak yang gelap. Kita punya jutaan sumber ilmu, tapi sedikit yang benar-benar membawa cahaya. Ilmu dipakai untuk memperkaya diri, bukan memperkaya makna hidup. Orang berlomba menumpuk gelar, tapi tidak menumpuk kebaikan.

Zarnūjī mengingatkan bahwa ilmu sejati itu bukan di kepala, tapi di hati. Ilmu di kepala bisa dihapus waktu, tapi ilmu di hati akan menerangi jalan hidup. Itulah ilmu yang disebut ‘ilm an-nafi‘ — ilmu yang bermanfaat. Rasulullah ﷺ sering berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
(HR. Muslim)

Ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak menumbuhkan kebaikan, tidak membuat hati lembut, tidak menambah kedekatan dengan Allah. Dan ilmu itu biasanya datang dari hati yang kotor—tempat di mana lampu cahaya ilmu tidak bisa menyala.

Membersihkan Hati, Menyalakan Lampu Ilmu

Membersihkan hati bukan hal sepele. Ia dimulai dari niat, terus dipupuk dengan amal, dan dijaga dengan kejujuran. Saat niatmu lurus, Allah akan menurunkan cahaya ilmu yang tidak bisa kamu dapat dari buku mana pun.

Ilmu sejati akan menuntunmu untuk semakin rendah hati. Ia membuatmu mengakui bahwa kamu tidak tahu banyak, dan dari pengakuan itulah lahir kebijaksanaan.

Zarnūjī seakan ingin berkata kepada kita semua: “Jangan kejar cahaya ilmu sebelum kamu membersihkan jendela hatimu.” Karena ilmu sejati adalah cermin; ia hanya bisa memantulkan cahaya kalau permukaannya bersih.

Refleksi: Jangan Matikan Lampu Ilmu dengan Hati yang Kotor

Kalau kamu merasa ilmu yang kamu pelajari tidak membawa ketenangan, barangkali masalahnya bukan di bukunya, tapi di hatimu.
>Kalau kamu sudah tahu banyak, tapi mudah marah, mungkin lampu ilmu di hatimu sedang mati.
>Kalau kamu hafal ayat tapi tidak bisa memaafkan, mungkin kabel ruhanimu terputus dari sumber cahaya.

Zarnūjī mengajarkan, bersihkan hati dulu, baru isi dengan ilmu. Karena ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak akan turun ke tempat yang kotor.

Maka, sebelum membuka buku, bacalah hatimu. Sebelum menuntut ilmu, tuntut dulu dirimu sendiri.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement