Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Belajar Cuma Mau Gaji, Ya Dapatnya Cuma Itu

Kalau Belajar Cuma Mau Gaji, Ya Dapatnya Cuma Itu

Pemuda belajar dengan cahaya pagi, simbol niat tulus dalam menuntut ilmu.
Ilustrasi pelajar yang menyadari bahwa niat adalah ruh ilmu; menggambarkan kesederhanaan dan kedamaian batin.

Surau.co. Kalau belajar cuma mau gaji, ya hasilnya cuma itu—gaji. Ungkapan ini terdengar kasar, tapi sesungguhnya sedang menggugah kesadaran yang makin langka di dunia modern. Kita hidup di zaman di mana sekolah dan kuliah sering dianggap investasi ekonomi, bukan perjalanan spiritual. Orang belajar supaya dapat pekerjaan, naik jabatan, atau sekadar punya gengsi sosial. Tapi sedikit yang menata niat agar ilmu menjadi jalan menuju keberkahan hidup.

Burhān al-Dīn al-Zarnūjī, dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim, menegur cara pandang semacam ini dengan halus tapi tajam. Ia menulis:

“من تعلّم العلم ليُصيب به الدنيا فقد خسر.”
“Barang siapa menuntut ilmu untuk mengejar dunia, maka ia telah rugi.”

Kalimat itu bukan larangan mencari rezeki lewat ilmu, tapi peringatan agar jangan menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Sebab ketika belajar hanya diarahkan untuk materi, maka manfaatnya berhenti di dunia. Ilmu yang mestinya memuliakan hati, justru berubah menjadi alat tawar-menawar di pasar kerja.

Ketika Sekolah Jadi Ladang Kompetisi, Bukan Ladang Pengabdian

Coba kita tengok fenomena sehari-hari. Banyak anak muda yang belajar hanya karena takut miskin, bukan karena cinta pengetahuan. Banyak orang tua yang memaksa anaknya kuliah di jurusan tertentu bukan karena bakat, tapi karena “peluang kerjanya bagus”. Akibatnya, belajar kehilangan ruhnya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Padahal, Zarnūjī mengajarkan bahwa niat belajar menentukan nasib ilmu itu sendiri. Ia menulis:

“ينبغي لطالب العلم أن يُخلِص نيّتَه لله تعالى في طلب العلم.”
“Seorang penuntut ilmu seharusnya memurnikan niatnya hanya untuk Allah dalam menuntut ilmu.”

Ketika niat belajar karena Allah, maka setiap huruf yang dibaca menjadi dzikir. Setiap langkah menuju sekolah menjadi ibadah. Bahkan kesulitan belajar menjadi ladang pahala. Tapi kalau niatnya hanya uang, maka selesai ketika slip gaji diterima—tidak ada keberkahan yang tertinggal.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَن تَعَلَّمَ العِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّارِ.
“Barang siapa menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan ulama, atau untuk berdebat dengan orang bodoh, atau untuk menarik perhatian manusia, maka tempatnya di neraka.”
(HR. Ibnu Mājah)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Belajar bukan ajang kompetisi popularitas atau alat cari nafkah semata. Ia adalah perjalanan penyucian hati.

Ilmu Tanpa Niat yang Bersih Akan Kehilangan Barokah

Zarnūjī juga menulis dengan tegas:

“العلم عبادةٌ لا تُقبل إلاّ بنيةٍ صادقةٍ وإخلاصٍ تامّ.”
“Ilmu adalah ibadah yang tidak diterima kecuali dengan niat yang jujur dan keikhlasan yang sempurna.”

Ini menunjukkan bahwa belajar sejatinya bagian dari ibadah.
Bedanya dengan salat atau puasa, ibadah belajar tidak berhenti di masjid, tapi berlanjut di ruang kelas, laboratorium, kantor, bahkan dapur rumah. Namun, jika ibadah ini kehilangan keikhlasan, maka nilainya jatuh.

Berapa banyak orang yang pandai tapi tidak bahagia?
Berapa banyak yang bergelar tinggi tapi hidupnya tidak tenang?
Mungkin karena ilmunya hanya sampai di kepala, tidak turun ke hati. Ilmu tanpa niat yang lurus akan kehilangan barokah—yaitu nilai kebaikan yang membuat hidup terasa cukup meski sederhana.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ketika Ilmu Dipakai untuk Meninggikan Diri

Fenomena lain yang sering muncul adalah keinginan untuk terlihat lebih pintar daripada orang lain. Orang belajar bukan untuk memberi manfaat, tapi untuk membuktikan superioritas.
Padahal, Zarnūjī sudah memperingatkan:

“من طلب العلم ليُباهي به العلماء أو ليماري به السفهاء، فهو في النار.”
“Barang siapa menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan ulama atau berdebat dengan orang bodoh, maka tempatnya di neraka.”

Ilmu sejati melahirkan kerendahan hati. Semakin seseorang berilmu, semakin ia sadar bahwa yang ia tahu hanyalah setitik dari lautan.
Sebaliknya, ilmu yang diniatkan untuk sombong justru menutup pintu pemahaman. Karena hati yang sombong tidak akan sanggup menerima cahaya kebenaran.

Ilmu yang Bermanfaat, Bukan Ilmu yang Menghebatkan

Tujuan ilmu dalam pandangan Zarnūjī bukan untuk membuat manusia hebat, tapi bermanfaat.
Sebab ilmu yang tidak melahirkan amal adalah ilmu yang gagal tumbuh. Ia seperti pohon rindang tanpa buah, indah tapi tak memberi manfaat.

Zarnūjī menulis:

“العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر.”
“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”

Hari ini, banyak orang berilmu yang kehilangan arah. Mereka cerdas menghitung, tapi lupa menghitung makna. Mereka hafal teori, tapi lupa rasa.
Padahal, jika ilmu benar-benar diniatkan karena Allah, maka ia akan melahirkan tindakan yang menyejukkan, menumbuhkan kasih, dan membawa manfaat bagi sesama.

Belajar untuk Kehidupan, Bukan Sekadar Penghidupan

Islam tidak melarang kita mencari rezeki melalui ilmu. Justru Islam mendorong umatnya untuk unggul dan berdaya. Tetapi tujuan utama belajar harus tetap spiritual: untuk menjadi hamba yang lebih bermanfaat dan sadar akan Tuhannya.

Ketika seseorang belajar karena Allah, rezeki akan mengikuti dengan sendirinya. Tapi kalau belajar karena gaji, maka gaji itu saja yang dia dapat—tanpa kedamaian, tanpa keberkahan, tanpa cinta pada pekerjaan.

Allah ﷻ berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa semua amal, termasuk belajar dan bekerja, hanya bernilai jika diniatkan karena Allah.

Refleksi: Luruskan Niat, Maka Hidup Akan Tenang

Kalau belajar cuma mau gaji, ya dapatnya cuma itu. Tapi kalau belajar diniatkan karena Allah, maka yang didapat bukan hanya gaji, tapi juga ketenangan batin, keberkahan waktu, dan kelapangan rezeki.

Zarnūjī tidak mengajarkan kita untuk meninggalkan dunia, melainkan untuk menemukan Allah di dalam kesibukan dunia.
Belajar, bekerja, menulis, berdagang—semuanya bisa menjadi ibadah jika niatnya lurus.

Jadi sebelum membuka buku, sebelum mendaftar kuliah, atau sebelum menempuh profesi apa pun, mari kita tanya diri sendiri:
“Aku belajar ini karena siapa?”

Kalau jawabannya karena Allah, maka langkah sekecil apa pun akan menjadi cahaya yang menerangi jalan hidup.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement