Surau.co. Ilmu yang nggak diniatkan karena Allah adalah ilmu yang kehilangan arah dan makna. Hari ini, banyak orang yang berpengetahuan tinggi, tapi hatinya justru kering dari kebijaksanaan. Kita hidup di masa ketika ilmu dipakai untuk mengalahkan, bukan memahami. Di dunia akademik, gelar kadang lebih dihargai daripada akhlak, dan kecerdasan sering lebih diagungkan daripada kejujuran. Padahal, menurut Burhān al-Dīn al-Zarnūjī dalam kitab legendarisnya Ta‘lim al-Muta‘allim, inti dari belajar bukan sekadar menguasai pengetahuan, melainkan menata hati agar ilmu menjadi cahaya, bukan api.
Zarnūjī menulis dengan nada yang menenangkan namun menohok:
“ينبغي لطالب العلم أن يُخلِص نيّتَه لله تعالى في طلب العلم.”
“Seorang penuntut ilmu seharusnya memurnikan niatnya hanya untuk Allah dalam menuntut ilmu.”
Kalimat ini menjadi pondasi seluruh sistem pendidikan Islam klasik. Bahwa sebelum seseorang menuntut ilmu, ia harus memastikan: untuk siapa ia belajar?
Sebab ilmu yang tak diniatkan karena Allah, menurut Zarnūjī, hanya akan melahirkan kesombongan, perselisihan, bahkan kehancuran moral.
Ketika Gelar Tidak Lagi Menjamin Kearifan
Mari kita jujur: berapa banyak orang berilmu tinggi, tapi mudah marah? Berapa banyak lulusan terbaik yang justru kehilangan arah hidup?
Di tengah dunia yang serba kompetitif, ilmu sering dijadikan alat untuk menaikkan gengsi. Orang berdebat bukan untuk menemukan kebenaran, tapi untuk membuktikan siapa yang lebih pintar.
Zarnūjī menulis peringatan keras:
“من طلب العلم لغير الله فليتبوأ مقعده من النار.”
“Barang siapa mencari ilmu bukan karena Allah, maka bersiaplah mengambil tempatnya di neraka.”
Ia tak sedang menakut-nakuti, tapi mengingatkan bahwa niat adalah ruh dari ilmu.
Tanpa niat yang lurus, ilmu justru akan menyesatkan pemiliknya.
Dan bukankah itu yang kita lihat hari ini? Orang pandai menggunakan kecerdasannya untuk menipu, merancang propaganda, atau memperalat agama demi kepentingan pribadi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن تَعَلَّمَ العِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ العُلَمَاءَ، أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَهُوَ فِي النَّارِ.
“Barang siapa menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan ulama, atau berdebat dengan orang bodoh, atau mencari perhatian manusia, maka tempatnya di neraka.”
(HR. Ibnu Mājah)
Hadis ini terasa sangat aktual di era digital. Banyak yang belajar bukan untuk menambah pemahaman, melainkan demi citra. Ada yang belajar agama hanya agar terlihat saleh di media sosial. Ada yang menulis panjang lebar, tapi tujuannya bukan berbagi, melainkan mencari tepuk tangan.
Ilmu yang Lahir dari Ego Akan Membusuk
Zarnūjī kembali mengingatkan dengan kiasan yang indah dan menusuk:
“العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر.”
“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”
Kita bisa menambahkan satu lapisan makna: ilmu tanpa niat yang ikhlas adalah buah busuk yang jatuh sebelum matang. Ia terlihat besar dari luar, tapi di dalamnya kosong.
Di masa sekarang, ada banyak orang yang bisa berbicara soal kebenaran, tapi tak mau menjalankannya. Banyak “intelektual” yang tajam dalam logika, tapi tumpul dalam empati. Mereka tahu banyak teori, tapi kehilangan rasa kemanusiaan.
Zarnūjī tidak menolak kecerdasan. Ia justru ingin menegaskan bahwa ilmu harus berbuah dalam amal dan kasih. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi beban — semacam sampah intelektual yang menumpuk di kepala tapi tak menyentuh hati.
Belajar Itu Ibadah, Bukan Kompetisi
Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, Zarnūjī menyebutkan bahwa belajar sejati adalah bentuk ibadah. Ia menulis:
“العلم عبادةٌ لا تُقبل إلاّ بنيةٍ صادقةٍ وإخلاصٍ تامّ.”
“Ilmu adalah ibadah yang tidak diterima kecuali dengan niat yang jujur dan keikhlasan yang sempurna.”
Ketika belajar menjadi ibadah, maka membaca buku sama mulianya dengan berdzikir. Menulis bisa menjadi amal saleh, asalkan niatnya untuk kebaikan, bukan untuk pamer.
Namun jika niatnya duniawi, maka ilmu akan kehilangan kemuliaannya.
Allah ﷻ berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan etaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menegaskan bahwa semua amal, termasuk belajar, harus berangkat dari keikhlasan. Karena tanpa niat yang bersih, amal sehebat apa pun akan gugur di hadapan Allah.
Belajar untuk Menjadi Manfaat, Bukan Menjadi Hebat
Bagi Zarnūjī, keberhasilan seorang murid tidak diukur dari banyaknya ilmu yang dikuasai, tapi dari seberapa besar manfaat yang ia berikan.
Ilmu yang diniatkan karena Allah akan membuat seseorang lembut hati, penuh kasih, dan rendah diri. Sebaliknya, ilmu yang diniatkan karena ego akan menjadikan seseorang congkak dan kering batin.
Zarnūjī menulis lagi:
“من تعلّم العلم ليُصيب به الدنيا فقد خسر.”
“Barang siapa belajar ilmu untuk mengejar dunia, maka ia telah rugi.”
Kalimat itu tak berarti menolak dunia, tetapi mengingatkan agar dunia tidak menjadi tujuan utama. Karena ilmu sejati adalah jembatan menuju kebaikan, bukan tangga menuju kehormatan palsu.
Seorang alim sejati bukan yang selalu benar dalam debat, tapi yang bisa menenangkan hati orang lain dengan kebijaksanaannya.
Membersihkan Hati Sebelum Mengisi Kepala
Zarnūjī seperti sedang berbicara langsung kepada kita yang hidup di tengah derasnya arus informasi. Ia seolah berkata: “Jangan isi kepalamu dengan ilmu sebelum membersihkan hatimu dari kesombongan.”
Karena hati yang kotor tak akan mampu menampung cahaya ilmu.
Belajar tanpa membersihkan hati hanya akan membuat seseorang tahu banyak hal, tapi tidak mengerti apa-apa.
Kita bisa tahu teori cinta, tapi tak bisa mencintai. Kita bisa tahu ayat-ayat tentang sabar, tapi tetap mudah marah. Itulah tanda bahwa ilmu belum menjadi cahaya, masih sekadar informasi.
Ilmu yang diniatkan karena Allah akan menumbuhkan kepekaan. Ia membuat kita sadar bahwa semakin tahu, semakin kita butuh bimbingan. Ilmu seperti itu tidak membuat sombong, tapi menumbuhkan kasih.
Refleksi: Kembalilah pada Niat Pertama
Setiap kita pasti pernah salah niat. Ada masa di mana kita belajar karena ingin dihormati, atau menulis karena ingin dipuji. Tapi kitab Ta‘lim al-Muta‘allim mengajarkan jalan pulang: luruskan niat, dan ilmu akan kembali bernilai.
Zarnūjī mengajarkan agar kita selalu menata hati di awal setiap langkah. Sebab belajar yang tidak diniatkan karena Allah hanya akan menambah kebingungan, bukan ketenangan.
Ilmu sejati menuntun manusia untuk semakin mengenal Tuhan, bukan menjauh dari-Nya.
Dan pada akhirnya, ilmu yang benar bukan yang membuatmu terlihat pintar, tapi yang membuatmu lebih manusia.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
