Surau.co. Guru bukan malaikat, tapi jalannya cahaya ilmu. Kalimat ini terasa sederhana, namun mengandung kedalaman yang jarang disadari. Di zaman sekarang, banyak orang yang menilai guru hanya dari seberapa banyak pengetahuan yang ia miliki, bukan dari seberapa dalam ia menyalakan hati muridnya. Padahal, menurut Burhān al-Dīn al-Zarnūjī dalam kitab klasiknya Ta‘lim al-Muta‘allim, guru bukan sekadar pengajar, tetapi jalan tempat cahaya ilmu menembus kegelapan hati.
Zarnūjī menulis dengan lembut tapi tegas:
“العلم لا يُنالُ إلاّ بالأدبِ مع الأستاذِ.”
“Ilmu tidak akan diraih kecuali dengan menjaga adab terhadap guru.”
Kalimat ini bukan sekadar nasihat moral, tapi pondasi dari seluruh bangunan ilmu. Karena adab adalah ruh dari belajar, dan guru adalah jembatan tempat ruh itu berjalan. Tanpa penghormatan kepada guru, ilmu menjadi kering, kehilangan maknanya, bahkan bisa berubah menjadi kesombongan intelektual.
Cahaya Ilmu dan Bayang-Bayang Ego
Hari ini, ketika informasi berhamburan di media sosial, banyak yang merasa bisa belajar sendiri tanpa guru. Orang membaca potongan ayat, lalu menafsirkan sesukanya. Ada yang menonton video dakwah dua menit, lalu merasa lebih tahu dari ustaz yang bertahun-tahun mengaji. Zarnūjī sudah mengingatkan jauh-jauh hari tentang bahaya ini:
“من لم يتأدّب في صغره لم ينتفع بعلمه في كبره.”
“Barang siapa tidak beradab ketika muda, maka ilmunya tidak akan bermanfaat ketika tua.”
Betapa banyak orang berilmu yang akhirnya tersesat karena belajar tanpa bimbingan. Bukan karena kurang pintar, tetapi karena kurang adab. Ilmu tanpa bimbingan guru ibarat obor di tangan anak kecil — bisa menerangi, tapi juga bisa membakar dirinya sendiri.
Rasulullah ﷺ pun memberi teladan luar biasa dalam hal ini. Beliau bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengenal hak ulama (guru).”
(HR. Ahmad)
Maka, menghormati guru bukanlah formalitas. Ia adalah bagian dari spiritualitas — kesadaran bahwa ilmu tidak datang dari kecerdasan, tetapi dari keberkahan.
Guru Sebagai Jalan, Bukan Tujuan
Zarnūjī mengingatkan bahwa guru bukanlah tujuan dari perjalanan belajar, tapi jalan menuju cahaya kebenaran. Guru tidak sempurna, bisa salah, bisa keliru. Namun, dalam kekurangannya, ia menunjukkan kesungguhan, dan dari situ kita belajar arti kemanusiaan.
“ينبغي للمتعلّم أن لا يزهد في أستاذه، فإنّ الزهد فيه يقطع نفعه.”
“Seorang murid tidak sepatutnya meremehkan gurunya, karena meremehkannya akan memutus manfaat ilmu darinya.”
Di sini, Zarnūjī tidak sedang mengkultuskan guru. Ia hanya menegaskan bahwa sikap meremehkan membuat pintu manfaat tertutup. Betapa sering kita gagal belajar bukan karena gurunya kurang pandai, tapi karena hati kita sudah menutup diri.
Guru adalah perantara — ia bukan sumber cahaya, tapi refleksi dari cahaya Tuhan yang mengalir lewat dirinya. Ia bisa lelah, bisa salah, tapi tetap menjadi jalur yang mengantarkan manusia kepada pengertian yang lebih dalam tentang hidup dan Tuhan.
Ketulusan Belajar: Rahasia di Balik Keberkahan
Zarnūjī mengajarkan bahwa keberkahan ilmu tidak lahir dari banyaknya bacaan, tapi dari niat dan ketulusan hati.
“ينبغي لطالب العلم أن يُخلِص نيّتَه لله تعالى في طلب العلم.”
“Seorang pelajar seharusnya memurnikan niatnya hanya karena Allah dalam menuntut ilmu.”
Berapa banyak orang belajar agar terlihat pandai, bukan agar lebih memahami makna kehidupan? Berapa banyak yang ingin dipanggil “ustaz” atau “doktor”, bukan agar lebih dekat dengan Allah?
Padahal, ilmu sejati tidak menjauhkan kita dari kerendahan hati, melainkan menumbuhkannya. Ilmu yang benar membuat kita merasa kecil di hadapan semesta, bukan sebaliknya.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.”
(QS. Fāṭir: 28)
Artinya, tanda orang berilmu bukan pada seberapa banyak ia berbicara, tapi seberapa dalam ia tunduk dan bersyukur.
Belajar Menjadi Murid Seumur Hidup
Kita hidup di zaman yang haus gelar, tapi lapar budi. Banyak yang mengejar kepandaian, tapi melupakan kearifan. Padahal, Zarnūjī mengingatkan bahwa belajar sejati tidak pernah berhenti.
“من لم يطلب العلم في الصغر فاته في الكبر.”
“Barang siapa tidak menuntut ilmu sejak muda, maka ia akan kehilangan kesempatan ketika tua.”
Namun maknanya tidak sebatas usia. “Muda” di sini adalah kondisi hati — selama hati kita masih ingin tahu, masih mau mendengar, maka kita selalu muda untuk belajar.
Guru datang dalam banyak bentuk: bisa guru di kelas, bisa orang tua, bahkan bisa anak kecil yang menegur kita lewat keluguannya. Yang penting bukan siapa gurunya, tapi bagaimana kita membuka diri pada pelajaran yang datang dari Tuhan melalui siapa pun.
Menjadi Cahaya Setelah Menerima Cahaya
Belajar kepada guru yang benar melahirkan dua hal: pemahaman dan tanggung jawab. Ketika cahaya ilmu menyentuh hati, ia menuntut kita untuk menjadi penerus cahaya itu bagi orang lain.
Guru yang sejati tidak ingin disembah, tapi ingin muridnya menjadi manusia yang lebih berguna. Ia tidak ingin dikagumi, tapi ingin muridnya memahami.
Sebab pada akhirnya, belajar bukan hanya soal menerima cahaya, tapi juga tentang bagaimana kita menjadi sumber cahaya itu bagi sesama.
Penutup: Cahaya yang Menyala dari Hati ke Hati
Zarnūjī mengajarkan bahwa ilmu sejati berjalan dari hati guru ke hati murid. Itulah sebabnya, guru tidak harus sempurna untuk menjadi pelita. Karena pelita bukan soal bentuknya, tapi soal nyalanya.
Guru bukan malaikat, tapi lewat dirinya Allah menyalakan cahaya ilmu yang menuntun manusia dari gelap menuju terang. Maka, hormatilah guru, bukan karena ia sempurna, tapi karena lewat dirinya kita belajar arti kemanusiaan dan ketundukan.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
