Khazanah
Beranda » Berita » Bahaya Ghibah dan Fitnah Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Bahaya Ghibah dan Fitnah Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Ilustrasi filosofis tentang bahaya ghibah dan fitnah menurut ajaran Islam
Lukisan digital realistik menggambarkan seorang manusia dengan bayangan berupa lidah api yang menyala di tengah kegelapan, melambangkan bahaya ucapan yang tidak terkendali.

Surau.co. Setiap manusia memiliki lisan yang mampu membawa kebaikan sekaligus keburukan. Lisan dapat menjadi sarana menyebar cahaya, tetapi juga bisa menjadi sebab kegelapan hati. Di antara bentuk penyimpangan lisan yang paling berbahaya adalah ghibah (menggunjing) dan fitnah (menyebarkan kebohongan). Dua hal ini bukan hanya merusak kehormatan seseorang, tetapi juga menghancurkan persaudaraan dan mengundang murka Allah.

Dalam kitab klasik Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi, dua penyakit sosial ini dibahas dengan sangat dalam dan menohok. Beliau menjelaskan bahwa menjaga lisan adalah bagian dari menjaga kehormatan diri dan keimanan. Orang yang tidak mampu menahan lisannya akan sulit menjaga ketenangan batin.

Makna Ghibah dan Fitnah dalam Islam

Secara bahasa, ghibah berarti menyebut sesuatu tentang seseorang di belakangnya yang tidak ia sukai. Sedangkan fitnah berarti menebar kabar yang tidak benar, atau membesar-besarkan berita hingga menimbulkan permusuhan.

Dalam Al-Qur’an, Allah memberi perumpamaan keras bagi pelaku ghibah.

وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentu kamu jijik kepadanya.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ayat ini menggambarkan betapa menjijikkannya perbuatan ghibah, seolah-olah pelakunya memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Itulah bentuk simbolik yang menggugah kesadaran moral kita.

Sementara fitnah mendapat kecaman lebih keras. Allah berfirman:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 191)

Fitnah dianggap lebih kejam dari pembunuhan karena dampaknya tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga membunuh kehormatan, persaudaraan, bahkan keimanan manusia.

Ghibah: Luka Halus yang Menggerogoti Persaudaraan

Ghibah sering kali bermula dari obrolan ringan, dari rasa ingin tahu, atau keinginan untuk tampak tahu segalanya. Namun, di balik candaan dan tawa itu, sesungguhnya ada kehormatan orang lain yang terluka.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ.
“Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.”
(HR. Muslim)

Ketika sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa yang aku katakan benar adanya?”, Rasulullah menjawab:

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.
“Jika memang benar adanya, engkau telah menggunjingnya. Tetapi jika tidak benar, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Artinya, bahkan kebenaran yang disampaikan tanpa izin atau untuk menjatuhkan orang lain tetap termasuk ghibah.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Syekh Utsman Al-Khubawi mengingatkan dalam Ad-Durratun Nashihin:

الغيبة تفسد العمل كما يفسد الخل العسل.
Ghibah merusak amal sebagaimana cuka merusak madu.

Kata-kata itu menggambarkan betapa cepatnya ghibah menghancurkan kebaikan yang telah dikumpulkan dengan susah payah. Amal yang murni menjadi sia-sia karena lisan yang tidak terjaga.

Fitnah: Api yang Membakar Tanpa Asap

Fitnah sering kali tampak kecil pada awalnya. Ia berawal dari bisikan, kemudian menjadi kabar, lalu menjelma menjadi keyakinan yang salah. Fitnah bisa menghancurkan kehidupan seseorang tanpa bekas darah, namun meninggalkan luka batin yang mendalam.

Syekh Utsman Al-Khubawi mengingatkan:

الفتنة نائمة، لعن الله من أيقظها.
“Fitnah itu sedang tidur, maka celakalah siapa pun yang membangunkannya.”

Fitnah bukan hanya ucapan yang tidak benar, tetapi juga setiap tindakan yang menimbulkan kesalahpahaman dan kebencian. Dalam konteks sosial hari ini, fitnah sering lahir dari jari-jari yang terlalu cepat mengetik di media sosial. Satu unggahan yang tidak diverifikasi bisa memicu kegaduhan luas.

Allah memperingatkan:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“Ketika kamu menyebarkan berita itu dengan mulutmu dan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui kebenarannya, kamu menganggapnya remeh padahal di sisi Allah itu besar (dosanya).”
(QS. An-Nur [24]: 15)

Ayat ini menjadi peringatan keras agar manusia tidak gegabah menyebarkan berita, meskipun niatnya tampak ringan.

Menjaga Lisan Adalah Menjaga Kehormatan

Dalam Islam, kehormatan seseorang memiliki kedudukan suci. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram (untuk dilanggar).”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ghibah dan fitnah sama-sama melanggar kehormatan. Bila darah manusia dijaga agar tidak tumpah, maka lidah juga harus dijaga agar tidak melukai.

Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menulis bahwa salah satu tanda orang bertakwa adalah mampu mengendalikan lisannya. Beliau berkata:

من أكثر الكلام أكثر خطؤه، ومن أكثر خطؤه قل حياؤه، ومن قل حياؤه قل ورعه، ومن قل ورعه مات قلبه.
“Barang siapa banyak berbicara, maka banyak pula kesalahannya. Siapa yang banyak salahnya, sedikit rasa malunya. Siapa yang sedikit malunya, sedikit pula wara’-nya (kehati-hatiannya). Dan siapa yang sedikit wara’-nya, matilah hatinya.”

Pesan ini menunjukkan hubungan erat antara lisan dan hati. Lisan yang tidak dijaga menjadi cermin hati yang lalai.

Dampak Sosial dan Spiritual dari Ghibah dan Fitnah

Dari sisi sosial, ghibah dan fitnah adalah akar dari permusuhan. Ia menciptakan jurang di antara sahabat, keluarga, bahkan jamaah. Tidak sedikit hubungan yang hancur karena kabar yang tidak benar.

Dari sisi spiritual, ghibah dan fitnah menghapus nilai amal saleh. Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada para sahabat:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang tidak memiliki dirham atau harta.” Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا…
“Orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa, dan zakat, namun ia juga datang setelah mencaci, menuduh, dan memakan hak orang lain.” (HR. Muslim)

Ghibah dan fitnah menjadikan amal kebaikan berpindah kepada orang yang dirugikan. Maka, setiap ucapan buruk adalah hutang moral yang akan ditagih di akhirat.

Langkah-Langkah Menghindari Ghibah dan Fitnah

Pertama, tabayyun (klarifikasi). Allah memerintahkan agar setiap berita diverifikasi sebelum disebarkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya…….” (QS. Al-Hujurat [49]: 6)

Kedua, husnuzan (berbaik sangka). Dengan berbaik sangka, hati menjadi tenang dan tidak mudah menilai buruk orang lain.

Ketiga, mengalihkan pembicaraan kepada hal yang baik.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diam adalah ibadah ketika ucapan bisa membawa dosa.

Menjadikan Lisan Sebagai Sumber Cahaya

Lisan bukan hanya alat berbicara, melainkan jendela hati. Bila hati bersih, maka lisan akan membawa keteduhan. Namun bila hati kotor, lisan akan menebar racun.

Syekh Utsman menasihati:

اجعل لسانك وراء قلبك، فإن كان الكلام لله فتكلم، وإلا فاسكت.
“Letakkan lisanmu di belakang hatimu. Jika ucapan itu karena Allah, maka katakanlah; jika tidak, maka diamlah.”

Nasihat ini mengajarkan kesadaran spiritual dalam berbicara. Setiap kata seharusnya lahir dari niat yang tulus dan membawa manfaat.

Penutup

Ghibah dan fitnah adalah dua api yang mudah menyala di tengah manusia. Ia bisa bermula dari niat kecil, namun berakhir dengan kehancuran besar. Oleh karena itu, menjaga lisan berarti menjaga kedamaian dunia dan keselamatan akhirat.

Mari kita renungkan sabda Nabi ﷺ:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ.
“Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya.” (HR. Ahmad)

Lisan adalah cermin iman. Ia bisa menjadi sumber pahala yang mengalir, atau menjadi jalan kehancuran. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang menjaga ucapan, menebar kedamaian, dan menjauh dari ghibah serta fitnah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement